Sabtu, 12 April 2014

ILMU MANTIQ

 Minda adalah satu keta'juban Illahiyat, yang sekiranya tersingkap hijab, maka minda insan seolah terapung tanpa jasad. Bagaimana 'terhakisnya ilmu2 'manusia dibandingkan dengan 'gelombang kesaksian' dilapangan 'Al-Wadi Al-Muqaddas'/Alam Zat semata.
'Alam Barzah' adalah sebahgian dari ilmu Al-Malakut yang 'tidak dapat disaksikan olih mata jsim dan juga matahati'. 

IMAM AL-GHAZALI DAN ILMU MANTIK

Apa itu mantik ?
saya tidak usah berpanjang lebar membahas defenisi mantik , karena defenisi mantik oleh kalangan filosof dan para pemikir berbeda-beda, tapi mereka sepakat dengan satu defenisi yaitu: Al-Mantiq huwa alatun Qanuniyyatun tu’shimu anil-khata’ fil-fikri,artinya alat atau undang-undang yang menjaga dari kesalahan berfikir. Jadi mantiq itu hanyalah berisi undang-undang atau kaidah-kaidah berpikir, bedanya dengan undang-undang nahu adalah menjaga kita dari kesalahan berbicara.


Bagaimana posisi anda diantara dua kubu yang berbeda argumen terhadap mantik?
Singkat cerita bahwa Penegasan Al Ghazali yang menyatakan bahwa hukum mempelajari mantik fardhu kifayah mengundang kontraversi dari berbagai ulama hingga berabad-abad kemudian.  Abu Bakar Ibn Al ‘Arabi, murid Al Ghazali sendiri, mengomentari, “Al Ghazali, guru kita, menelan filsafat lalu mencoba memuntahkannya kembali, namun ia tidak bisa.” Lalu datang Ibn Shalah menolak pendapat Al Ghazali dan mengatakan bahwa setiap orang yang otaknya cerdas otomatis berpikirnya logis tanpa mesti belajar mantik. Lalu datang lagi Ibn Taimiah berkomentar dalam  kitabnya Ar-Radd ‘Alal-Mantiqiyyin bahwa, “Pendapat Al Ghazali ini salah besar, baik dilihat dari segi nalar maupun agama. Dari segi rasional, terbukti bahwa manusia-manusia cerdas yang berbicara tentang ilmu bisa menguraikan pengetahuan mereka tanpa mantik Yunani. Secara agama, siapapun tahu bahwa agama tidak pernah mewajibkan kita untuk mempelajari mantik.”

Pada poin ini saya juga tidak mau berkomentar panjang , saya hanya ingin menyelipkan perkataan DR ali jum’ah rahimahullah bahwa golongan ulama memiliki mustalahat atau istilah dan rumus masing-masing,  filosof  mempunyai mustalahat lewat pemahaman mantiknya , ulama kalam juga memeiliki mustalahat,  ulama fuqaha juga memiliki istilah lewat pengkajiannya terhadap usul fikhinya,  ahli tasawuf juga memiliki istilah-istilah dan rumus tersendiri, begitu pula ulama-ulama yang lainnya.

Al-Mantiq Wal-Mawazin Al-Quraniyyah
Saya membaca mantiknya Imam Al-ghazali dari buku “ Al-mantiq Wal-Mawazin Al-Qur’aniyyah yang dikarang oleh Muhammad Mahran, singkatnya, Imam Al-ghazali memadukan antara mantik yunani dan mawazin qur’aniyyah atau neraca quran, dari sinilah Imam Ghazali membuat istilah-istilah mantik baru dari al-qur’an, walaupun fungsi istilah itu sama dengan istilah mantik yunani yang disusun oleh aristo.



Menariknya dalam kitab itu bahwa Imam Al Ghazali mengatakan bahwa Al Qur’an menggunakan tiga cara penyimpulan logis  (ta’adul, talazum dan ta’anud) dalam menjawab argumentasi penentangnya. Sang Hujjatul Islam menamakan ketiganya dengan ‘Neraca Al Qur’an’ (mawazin qur’aniyyah), serta menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang menyebut mizan dengan model pembuktian logis ini. Untuk neraca ta’anud, Al Ghazali mengajukan tiga ayat yang sekaligus menandai tiga bentuk skemanya. Ayat pertama, ucapan Ibrahim As ketika berdebat dengan Namruz, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka (jika kau tuhan) terbitkanlah dari barat!” (Qs Al Baqarah [2]: 258). Al Ghazali kemudian merangkainya dalam bentuk dalil burhan, ia berkata:


Setiap yang mampu menerbitkan matahari adalah tuhan (premis I)

Allah mampu menerbitkan matahari (premis II)

Kesimpulan: Allah tuhan

Al Ghazali menamakan skema pertama dari neraca ta’adul ini dengan mizan akbar atau neraca besar.

Berikutnya adalah Al-mizan Al-Ausath atau neraca pertengahan, yaitu terdapat dalam ayat (masih tentang Ibrahim As, kali ini ketika ia mencari tuhan lalu kebetulan melihat bulan), “Ketika bulan itu terbenam, ia berkata aku tak suka sesuatu yang tenggelam.” (Qs Al An’am [6]: 7) Uraiannya sebagai berikut:

Bulan tenggelam

Tuhan tidak mungkin tenggelam

Kesimpulan: Bulan bukan tuhan

Skema terakhir dari neraca ta’adul adalah mizan asghar atau neraca kecil, yaitu terdapat dalam firman Allah, “Mereka tidak menghargai Allah dengan seharusnya ketika mereka berkata Allah tidak menurunkan (wahyu) apapun kepada manusia. Katakanlah, ‘Lalu siapa yang menurunkan Kitab kepada Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia?’” Uraian logisnya sebagai berikut:
Musa As manusia
Musa As menerima wahyu (Al Kitab) dari Allah
Kesimpulan: Sebagian manusia ada yang menerima wahyu

Mizan talazum terdapat dalam ayat, “Jika ada tuhan selain Allah, niscaya langit dan bumi akan hancur.” (Qs Al Anbiya [21]: 22). Rinciannya:
Jika di dunia ini ada tuhan lain, maka dunia akan hancur
Nyatanya dunia tidak hancur
Kesimpulan: Tidak ada tuhan lain

Terakhir, neraca ta’anud (saya tidak tahu bahasa indonesianya hehe) terdapat dalam ayat, “Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Siapa yang memberi rizki kepada kalian dari langit dan bumi?’ katakanlah, ‘Allah, dan kami atau kalian yang mendapat petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’” (Qs Saba [34]: 24). Uraiannya adalah:
Kami atau kalian (salah satu dari kita) berada di dalam kesesatan
Kami tidak dalam kesesatan
Kesimpulan: Kalian berada dalam kesesatan

Hebatnya imam al-ghazali menempatkan kaidah-kaidah mantiq dari al-qur’an. Maka jangan heran jika kemudian hari Hujjatul Islam ini memfatwakan bahwa mempelajari ilmu mantik sebuah fardhu kifayah, dan selanjutnya beliau mengatakan “barangsiapa tidak menguasai ilmu ini pengetahuannya patut diragukan”

Bantahan Ibnu Taimiyyah terhadap mantik Imam Ghazali
Ibn Taimiah membantah penafsiran kata Al Mizan dalam Al Qur’an dengan mantik Yunani dengan beberapa alasan. Pertama, Allah telah menurunkan Mizan Qur’ani jauh sebelum Aristoteles menemukan mantik. Kedua, umat Islam telah menggunakan Mizan Qur’ani ini sebelum buku-buku mantik diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ketiga, sejak masa penerjemahan buku-buku ini hingga sekarang, tokoh-tokoh Islam selalu mengajukan keberatannya terhadap mantik dan menulis bantahan-bantahannya. Neraca yang Allah turunkan bersama Al Kitab itu, menurut Ibn Taimiah Neraca keseimbangan (mizan ‘adilah) yang memuat aktualisasi fitrah manusia yang menyamakan dua hal yang mirip satu sama lain (mutamatsilain) dan memisahkan dua hal yang berbeda (mukhtalifain).

Ibnu taimiyyah juga membantah muqaddimah-muqaddimah atau premis-premis yang digunakan ahli mantik dalam menemukan natijah, Menurut Ibn Taimiah, silogisme tidak menghasilkan apa-apa selain kerumitan dan kepusingan. Tapi disatu sisi Ibn Taimiah mengakui bahwa sebuah silogisme yang terdiri dari premis-premis meyakinkan menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Sebenarnya Kritik Ibn Taimiah hanya ditujukan kepada pernyataan mereka bahwa silogisme satu-satunya cara mencapai kesimpulan yang meyakinkan dengan menafikan cara-cara lainnya.

Oleh karena itu, para tokoh muslim tidak menggunakan dalil silogisme ini. Sebab menurut mereka, dalil adalah sarana yang membawa kepada tujuan. Yakni mengetahui dalil harus membawa kepada ma’rifah dan hakikat. Mereka lebih menyukai pembuktian dengan dalil tamsil, sebab pembuktian ini lebih meyakinkan dan lebih dekat dengan metode Al Qur’an. Pembuktian ini bertumpu kepada dalil sesuatu me-lazim-kan sesuatu yang lain, atau keduanya saling me-lazim-kan. Contoh: adanya alam semesta dalil adanya pencipta. Selain itu, pembuktian ini juga bertumpu kepada kemungkinan yang benar-benar nyata (imkan khariji), bukan kemungkinan rasional semata (imkan dzihni) yang belum tentu ada kenyataannya. 

Kemungkinan nyata dapat diketahui dengan melihat terjadinya sesuatu yang mirip dengannya atau yang lebih sulit darinya. Ini cara Al Qur’an dalam membuktikan adanya hari kebangkitan. Yakni dengan menguraikan fakta historis terjadinya kebangkitan orang yang telah mati sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Musa, penghuni gua (ashhabul kahfi), dan mukjizat Nabi Isa. Atau dengan menjelaskan proses penciptaan manusia, sebab menghidupkan kembali lebih mudah daripada menciptakannya pertama kali.

Penutup
Sebenarnya masih banyak poin pembahasan Mantik Al-Ghazali yang tidak bisa dimuat dalam tulisan ini dan juga bantahan ibnu taimiah terhadap ahli mantiq yang terangkum dalam kitabnya Ar-Radd ‘Alal-Mantiqiyyin, bagi saya, 2 ilmuwan inilah yang saya kagumi , imam ghazali yang dijuluki hujjatul-islam karena hebatnya menemukan sebuah hakikat dan sementara ibnu taimiyyah sebagai syaikhul islam, juga menampakkan hebatnya membantah mantik dengan mantik sehingga saya hanya bisa terdiam  ketika mereka berbeda  pandangan, untungnya mereka tidak bertemu dalam satu masa, entah apa yang akan terjadi. Untuk sementara , saya belum bisa berkomentar , apalagi mau menghakimi keduanya tapi tunggu beberapa tahun mendatang semoga kelak bisa menjadi ilmuwan besar, amin. 

Dan terakhir, saya menukil mauqif Dr Said Ramadhan Al Buthi mengatakan bahwa Kami tidak mau mengatakan bahwa filsafat Yunani dan Mantik Aristoteles semuanya salah. Tidak ada alasan sama sekali untuk menutup mata dari kaidah-kaidah mantiknya.  Di dalamnya banyak hal yang bermanfaat, namun banyak pula yang menyulut kritikan dari para ulama dan filosof muslim. Orang yang selalu hendak membangun pemikirannya dengan dasar-dasar ilmiah harus mampu memilih yang baik dari orang lain, dari pada menolaknya sama sekali.”. kawan, Anggap saja ini sebuah hipotesa


Pengertian, Pembagian, Sejarah, dan Manfaat Ilmu Mantiq



PENDAHULUAN

Keistimewaan manusia dari segala sesuatu adalah manusia karena punya akal fikiran. Maka manusia dengan fikirannya merupakan isi dari alam ini, yang mana tidak ada yang mulia di dunia ini, kecuali manusia yang berakalnya. Salah satu fungsi akal dalam kehidupan manusia tiada lain sebagai petunjuk jalan guna memilih yang bermanfaat dan meninggalkan yang mudharat.
Berbagai kenyataan di lapangan yang ditemukan penulis seputar berpikir kritis, analitik, dan logic, jauh dari harapan penulis bagi sebuah masyarakat modern yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan sebagai salah satu kebutuhan dalam kehidupannya.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi akal pikiran benar-benar menganjurkan ummatnya untuk melakukan apapun dengan landasan ilmiah yang memiliki akurasi data yang baik, dan benar.Sehingga ditemukan pemahaman “BAL” dalam bertindak; Benar-Akurat-Lengkap. Filsafat melalui salah satu cabangnya, memberikan jalan keluarnya dengan istilah logika yang juga banyak dikenal di dunia Islam dengan istilah mantiq, yang juga memiliki cabang alat berfikir runtut yang dikenal dengan silogisme.



PEMBAHASAN

A.  Pengertian Ilmu Mantiq
Sebelum kita memahami lebih dalam tentang ilmu mantiq hendaknya kita kupas satu persatu secara tuntas definisi ilmu dan definisi mantiq.
Ilmu merupakan satu kata yang memiliki banyak arti. Ilmu dapat diartikan sebagai sesuatu yang diketahui dan yang dipercayai secara pasti dan sesuai dengan kenyataan yang muncul dari satu alasan argumentasi dalil. Selain itu ilmu juga berarti gambaran yang ada pada akal tentang sesuatu. Seperti kambing, kuda dan lain-lain. Jika kambing disebut maka muncullah gambaran pada akal dengan sendirinya. Ilmu seperti ini disebut ilmu tashawwur. Diantara fungsi ilmu ialah untuk menelusuri segala sesuatu itu sesuai dengan kenyataannya atau tidak.
Pada dasarnya pengertian ilmu mantik telah banyak didefinisikan oleh para Ulama’, dan pakar ilmu mantik dengan pengertian yang beragam, meskipun pada hakikat dan tujuannya adalah sama yaitu mengungkapkan makna mantik sebagai suatu kata yang dibakukan untuk sebuah disiplin ilmu. Ilmu mantik meruakan bahasa arab dan meruakan terjemahan dari kata logika, oleh sebab itu ilmu mantik juga bisa disebut sebagai ilmu logika. Dalam kaitaannya dengan pengertian ilmu mantik, seperti yang telah penulis kutip dari bukunya Prof. Dr. H. Baihaqi A.K, yang berjudul “Ilmu Mantik”: Teknik berfikir logik”, dalam bukunya tersebut, Baihaqi mengungkapkan bahwasannya ilmu mantik adalah merupakan suatu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah yang dapat membimbing manusia dalam berfikir, supaya dapat menghasilkan kesimpulan yang benar, sehingga dia terhindar dari kesalahan berfikir, yang akhirnya menghasilkan kesimpulan yang salah dan keliru.
Sedangkan mantiq secara etimologis atau bahasa berasal dari dua bahasa, yaitu bahasa arab nataqa yang berarti berkata atau berucap dan bahasa latin logos yang berartiperkataan atau sabda.
Pengertian mantiq menurut istilah ialah:
ü  Alat atau dasar yang gunanya untuk menjaga dari kesalahan berpikir.
ü  Sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berfikir sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari berfikir yang salah.
Ilmu mantiq sering disebut bapak segala ilmu atau dikatakan ilmu dari segala yang benar karena ilmu mantiq ialah sebagai alat untuk menuju ilmu yang benar, atau karena ilmu yang benar perlu pengarahan mantiq.

B.  Pembagian Ilmu
Telah kita bahas di awal bahwa yang dimaksud tashwur ialah gambaran yang ada pada akal manusia secara langsung dengan sendirinya tanpa membebani dengan sifat atau hukum lain. Tashwur ada dua macam:
ü  Tashwur yang tampak penisbahan hukum yang berdiri sendiri atau tunggal/mufrad. Tasawwur ini disebut ashawur asli (sadz).
Tashawur ashli meliputi tiga bentuk:
a.   Bentuk makna mufrad. Seperti manusia, kayu, batu, besi, dan lain-lain.
b.   Bentuk murakkab, idhafah, seperti kebun binatang, sepatu gajah dan lain-lain.
c.        Bentuk sifat-sifat murakkab, seperti manusia yang berfikir, hewan yang berakal dan lain-lain.
ü  Tashwur yang mempunyai nisbah hukum yang demikian, disebut tashdiq. Contohnya seperti manusia itu penulis, baunga itu bagus. Yang dimaksud hukum disini ialah tersandarnya sesuatu pada yang lain. bisa berbentuk ijab atau mujabah atau berbentuk salibah.
ü  Al-nisbah al-Hukumiyah, yakni, hubungan antara Mahkum alaih dengan mahkum bih.
Mahkum Alaih:
ü  Al-Hukmu, yakni adanya penisbahan atau tercabutnya )tidak adanya).[1]



C.  Sejarah Singkat Ilmu Mantiq
Logika (mantiq) sebagai ilmu di Yunani pada abad ke 5 SM oleh para ahli filsafat kuno. Dalam sejarah, telah tercataat bahwa pencetus logika ialah Socrates yang kemudian dilanjutkan oleh Plato dan sdisusun dengan rapisebagai dasar falsafat oleh Aristoteles. Oleh sebab itu beliau dinyatakan sebagai guru pertama dari ilmu pengetahuan.
Pada masa selanjutnya, terdapat perubahan-perubahan seperti yang dilakukan oleh Al-Farabi, salah satu filsuf mislim yang sering dinyatakan sebagai maha guru keua dalam ilmu pengetahuan. Pada masa Al-Farabi ilmu mantik dipelajari lebih rinci dan dipraktekkan, termasuk dalam pentasdiqan qadhiyah.
Tokoh-tokoh lagika/ilmu mantiq kaum muslim yang tercatat oleh para pakar-pakar diantaranya: Abdullah Ibn Al-Muqaffa, Ya’kub Ibnu Ishak Al-Kindi, Ibnu Sina, Abu Hamid Al-Ghazali, Ibnu Rusyd Al-Qurtubi, Abu Ali Al-Haitsam, Abu Abdillah Al-Khawarizmi, Al-Tibrisi, Ibnu Bajah, Al-Asmawi, As-Samarqandi, dan lain sebagainya.
Ilmu mantiq banyak membantu dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Seperti yang dilakukan Immanuel kant, Descartes, dan yang lainnya.

D.  Manfaat Ilmu Mantiq
Setelah kita membahas panjang lebar mengenai pengertian dan sejrah ilmu mantiq, harusnya kita juga mengetahui manfaat mempelaari Ilmu Mantiq. Kegunaan yang sangat Nampak pada ilmu mantiq ini ialah untuk dapat berfikir dengan benar hingga sampainya seseorang pada kesimpulan yang benar tanpa mempertimbangkan kondisi dan situasi yang kemungkinan dapat mempengaruhi seseorang.[2]
Jika demikian, kesimpulannya ialah setiap orang harus mempelajari ilmu mantiq agar dalam mengambil kesimpulan seseorang tak lagi salah. Ilmu mantiq yang menuntun mereka untuk sampai pada kesimpulan yang benar. Karena bisa saja seseorang melakukan kesimpulan yang benar tanpa melalui ilmu mantiq. Itu mungkin saja kebetulan, karena yang dapat menghasilkan kesimpulan atau hasil akhir yang benar adalah ilmu mantiq. Oleh sebab itulah ilu mantiq disebut sebagai jembatan dari segala ilmu.



PENUTUP
Kesimpulan
Ilmu mantik adalah merupakan suatu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah yang dapat membimbing manusia dalam berfikir, supaya dapat menghasilkan kesimpulan yang benar, sehingga dia terhindar dari kesalahan berfikir, yang akhirnya menghasilkan kesimpulan yang salah dan keliru Urgensi mempelajari ilmu mantik, tidak lepas dari pengertian ilmu mantik itu sendiri, dimana ilmu mantik bertujuan melatih kerja otak supaya dapat berfikir logis, artinya melatih, mendidik, serta mengembangkan potensi akal dalam mengkaji objek pikir dalam menggunakan metodologi berfikir, serta menempatkan persoalan dan menunaikan sesuatu tugas pada suatu kondisi dan waktu yang tepat. dan agar dapat membedakan antara proses berfikir yang benar (hak), dari yang salah(batil). Faidah yang didapat dari belajar ilmu mantik salah satunya adalah membuat daya pikir tidak saja menjadi lebih tajam, akan tetapi juga menjadikan pikiran kita jadi lebih berkembang, melalui latihan-latihan berfikir dan mengenalisis serta mengugkap suatu permasalahan secara runtun/ilmiyah



DAFTAR PUSTAKA

H. Basiq Djalil. A, Drs. 2010. Logika (Ilmu Mantiq). Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
H. Baihaqi A. K . 2002. Ilmu Mantik Teknik Dasar Berpikir Logika. Jakarta: Darul Ulum Press.

MANTIQ Tentang Pembahasan Dilalah dan Lafadz



PENDAHULUAN

Sesungguhnya Ilmu Mantiq membahas tentang fikiran-fikiran dan persesuaiannya dengan undang-undang berfikir, dari itulah maka hubungan ilmu mantiq ialah dengan fikiran-fikiran. Tidak ada sangkut pautnya dengan lafadh; tetapi dikarenakan lafadh itu sebagai tanda yang menunjukkan kepada maksud dan pengertian, maka untuk mengambil faidah makna-makna itu, tidak terlepas dari hubungannya dengan lafadh-lafadh itu menunjukkan atas nama dan petunjuk lafadh itu, dengan arti memahami makna dari lafah. Dari sinilah akan dibahas tentang petunjuk-petunjuk atas makna-makna secara umum. Jadi pengertian dilalah (petunjuk), memahami sesuatu dari sesuatu yang lain (fahmu amrin min amrin), amrin pertama dinamakan mad-lul sedangkan amrin yang kedua merupakan dalal. Untuk memahami lebih jauh tentang Dilalah dan Lafadz, sedikit hanya penulis menguraikan yang menyangkut Konsep Dilalah dan Lafadz.



PEMBAHASAN

A.   DILALAH
1.    Pengertian Dilalah
Dilalah dari segi bahasa berasal dari bahasa arab, yakni daala-yadulu-dilalah yang artinya petunjuk atau yang menunjukan.
Dalam logika (ilmu mantiq) berarti, satu pemahaman yang dihasilkan dari sesuatu atau hal yang lain, seperti adanya asap di balik bukit, berarti ada api dibawahnya. Dalam hal ini api disebut madlul (yang ditunjuk atau yang diterangkan), sedangkan asap disebut dal atau dalil (yang menunjukan atau petunjuk).[[1]]
Dilalah adalah memahami sesuatu dari sesuatu yang lain, sesuatu yang pertama disebut Al-madhul. dan segala sesuatu yang kedua disebut Al-dall(petunjuk, penerang atau yang memberi dalil).[[2]]
Contoh: Terdengar raungan harimau di suatu semak adalah dilalah bagi adanya harimau di dalam semak tersebut.
2.    Dilalah terbagi atas 3 bagian:
a.    Dilalah Lafzhiyah
Dilalah lafzhiyah adalah Petunjuk yang berupa kata atau suara. Dilalah ini terbagi menjadi tiga:
Ø  Dilalah Lafzhiyah Thab’iyah, yaitu dilalah (petunjuk yang berbentuk alami
Contoh:
(a)  Tertawa terbahak-bahak menjadi dilalah untuk gembira.
(b)  Menangis terisak-isak menjadi dilalah bagi sedih.
Ø  Dilalah Lafzhiyah ‘Aqliyah, yaitu dilalah (petunjuk) yang dibentuk akal pikiran.
Contoh:
(a)  Suara teriakan di tengah hutan menjadi dilalah bagi adanya manusia di sana.
(b)  Suara teriakan ‘Maling’ di sebuah rumah menjadi dilalah bagi adanya maling yang sedang melakukan pencurian.
Ø  Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah, yaitu dilalah (petunjuk) yang dengan sengaja dibuat oleh manusia untuk suatu isyarat atau tanda (apa saja) berdasarkan kesepakatan.
Contoh:
(a)  Petunjuk lafadz (kata) kepada makna (benda) yang disepakati:
(b)  Orang Sunda, misalnya sepakat menetapkan kata Cau menjadi dilalah bagi Pisang.
(c)  Orang Jawa, misalnya sepakat menetapkan kata Gedang menjadi dilalah bagi Pisang.
(d)  Orang Inggris, misalnya sepakat menetapkan kata Banana menjadi dilalah bagi Pisang.
b.    Dilalah Ghairu Lafzhiyah
Dilalah ghairu lafzhiyah adalah petunjuk yang tidak berbentuk kata atau suara. Dilalah ini terbagi tiga:
Ø  Dilalah Ghairu Lafzhiyah Thabi’iyah, yaitu dilalah (petunjuk) yang bukan kata atau suara yang berupa sifat alami.[[3]]
Contoh:
(a)  Wajah cerah menjadi dilalah bagi hati yang senang.
(b)  Menutup hidung menjadi dilalah bagi menghindarkan bau kentut dan sebagainya.
Maksudnya, yang menentukan demikian itu adalah bukan akal tetapi tabiat memang demikian.
Ø  Dilalah Ghairu Lafzhiyah ‘Aqliyah, yaitu dilalah (petunjuk) yang bukan kata atau suara yang berupa pemahaman melalui akal pikiran.
Contoh:
(a)  Hilangnya barang-barang di rumah menjadi dilalah adanya pencuri yang mengambil.
(b)  Terjadinya kebakaran di gunung menjadi dilalah bagi adanya orang yang membawa api ke sana.
Ø  Dilalah Ghairu Lafzhiyah Wadh’iyah, yaitu dilalah (petunjuk) bukan berupa kata atau suara yang dengan sengaja dibuat oleh manusia untuk suatu isyarat atau tanda (apa saja) berdasarkan kesepakatan.

Contoh:
(a)  Secarik kain hitam yang diletakkan di lengan kiri orang Cina adalah dilalah bagi kesedihan/duka cita, karena ada anggota keluarganya yang meninggal.
(b)  Bendera kuning dipasang di depan rumah orang Indonesia pada umumnya, menggambarkan adanya keluarga yang meninggal.
c.    Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah
Adapun Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah menjadi ajang pembahasan para pakar mantiq. Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah dibagi menjadi tiga:
Ø  Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah Muthabaqiyah, yaitu dilalah lafadz (petunjuk kata) pada makna selengkapnya.
Contoh:
Kata rumah memberi petunjuk (Dilalah) kepada bangunan lengkap yang terdiri dari dinding, jendela, pintu, atap dan lainnya, sehingga bisa dijadikan tempat tinggal yang nyaman. Jika anda menyuruh seorang tukang membuat rumah, maka yang dimaksudkan adalah rumah selengkapnya, bukan hanya dindingnya atau atapnya saja.
Ø  Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah Tadhammuniyah, yaitu dilalah lafadz (petunjuk kata) kepada bagian-bagian maknanya.
Contoh:
(a)  Jika anda, misalnya menyuruh tukang memperbaiki rumah maka yang anda maksudkan bukanlah seluruh rumah, tetapi bagian-bagiannya yang rusak saja.
(b)  Jika anda meminta dokter mengobati badan anda, maka yang dimaksudkan adalah bagian yang sakit saja.
Ø  Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah Iltizamiyah, yaitu dilalah lafadz (petunjuk kata) kepada sesuatu yang di luar makna lafadz yang disebutkan, tetapi terikat amat erat terhadap makna yang dikandungnya.[[4]]
Contoh:
Jika anda menyuruh tukang memperbaiki asbes rumah anda yang runtuh, maka yang anda maksudkan bukan asbes-asbesnya saja, tetapi juga kayu-kayu tempat asbes itu melekat yang kebetulan sudah patah-patah. asbes dan kayu yang menjadi tulangnya terkait amat erat (Iltizam). Jika kerusakan asbes itu disebabkan kebocoran di atap maka perbaikan atap iltizam (menjadi keharusan yang terkandung dan terikat) kepada perintah memperbaiki asbes loteng itu.

                LAFADZ
1.    Pengertian Lafadz
Lafadz adalah susunan beberapa huruf yang mengandung arti. Istilah lafadz berasal dari bahasa Arab dan diartikan sebagai 'kata' dalam bahasa Indonesia seperti kayu, batu, air dan lain-lain. Lafadz ada dua macam: pertama, lafadz mufrod, ke dua,lafadz murokkab.
Lafadz mufrod ialah lafadz yang bermakna tunggal. Terdapat perbedaan pendapat antara Ahli Mantiq dan Ahli Nahwu tentang pengertian ini. Ahli mantiq melihat lafadzpada maknanya, bukan pada jumlah lafadz-nya. Artinya, susunan lafadz yang jumlahnya lebih dari satu kata tetapi menunjukkan makna satu tetap disebut sebagailafadz mufrod. Meja, kursi, rumah, Amir Syarifuddin, Muhammad Ali adalah contoh lafadz mufrod.
Ahli nahwu lebih melihat pada bentuk dan jumlah susunan kata, sehingga lafadzseperti Muhammad Abdullah Syafi'i tidak dapat disebut lafadz mufrod.
2.    Pembagian Lafadz
a.    Lafadz Taqabul’
Dalam ilmu Mantiq, lafadz-lafadz yang berlawanan dinamakan dengan“Taqobulul Al Fazh”. Dan yang dimaksud dengan kata-kata yang bertentangan adalah 2 lafadz yang tidak mungkin berkumpul dalam satu benda(tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, dll), dan dalam sau waktu.[[5]]
Contoh:
·     Hitam Putih.
·     Bapak ibuk.
·     Baik buruk.
Hitam dan putih tidak mungkin berkumpul dalam satu benda, dalam satu waktu. begitupun juga dengan bapak dan ibuk, baik dan buruk dll.
Ø  Macam-macam Taqobulul Al Fazh.
“Taqobulul Al Fazh” dalam Ilmu Mantik terbagi menjadi 3 yaitu:
Ø  Pertentangan Kontradiktif(Taqobul Naqidhain).
Adalah 2 lafadz yang tidak mungkin dapat berkumpul pada suatu benda dalam suatu waktu, dan tidak mungkin pula untuk dapat dipisahkan antara keduanya itu, hal ini sangat bertentangan.
Contoh:
 “Hidup dan Mati”. Tidak mungkin pada waktu sekarang, dan tidak mungkin bisa terjadi pada suatu benda yaitu tidak hidup dan tidak mati, atau kita katakanan dia hidup dan dia mati.
Ø  Pertentangan Kontrari(Taqabul Dhidhain).
Adalah 2 lafadz yang tidak mungkin dapat berkumpul keduanya dalam satu benda dan dalam satu waktu, tetapi ke2 lafadz tersebut bisa saja dilepaskan dari benda itu.[[6]]
Contoh:
“Hitam dan Putih” term ini tidak bisa kita katakan dalam satu benda dan satu waktu, namun kedua term tersebut bisa tidak ada dalam benda tersebut. Misalnya saja benda tersebut warnanya hijau. Dll.
Ø  Pertentangan Korelasi(Taqabul Muthadhanifain).
           Adalah 2 term bila disebutkan salah satunya, maka yang lainnya akan terikut dalam akal pikran, karena keduanya sudah saling bersandar.
Contoh:
“Ayah dan Anak” 2 lafadz yang bertentangan dan tidak mungkin untuk dikumpulkan pada satu benda dalam satu waktu sekaligus, tetapi yang satu tidak akan diterima keberadaannya tanpa adanya yang lain. Misalnya kata “ayah dan anak” diatas, seorang anak tidak akan mungkin ada tanpa adanya seoranga ayah, dan begitupun juga, seorang ayah tidak akan bisa disebut ayah apabila tidak ada seorang anak. [[7]]
b.    Lafadz Kulli
Ø  Pengertian Lafadz Kulli
Lafadz kulli adalah suatu lafadz yang mengandung beberapa afrad. Seperti lafadz rumah artinya mencakup segala/semua macam-macam rumah. Lafadz ini terbagi pada beberapa bagian. Ada lafadz kulli yang afradnya wujud/nyata, dan ada yang tidak wujud/nyata atau tidak ada dalam kenyataan atau mustahil (menurut akal atau adat).
Contohnya adalah: seperti lafadz sekutu tuan lafadz tersebut kulli, tetapi tidak ada wujudnya menurut akal. Dan adapun yang tidak ada menurut kebiasaan seperti lautan madu. Dan bisa jadi kulli yang ada wujudnya hanya ada satu seperti tuhan, karena menurut akal mustahil ada selain tuhan.
Afrad bisa jadi terbatas karena menurut penelitian demikian. Dan bisa jadi tidak terbatas seperti soal-soal gaib, karena yang demikian bukan wilayah ilmu pengetahuan.
Jadi lafadz kulli memiliki dua pengertian:
    Sisi pengertian (mafhum)
    Sisi kenyataan (masadaq).
Contoh:
    Manusia dari sisi pengertian adalah binatang yang berfikir,
    Manusia dari sisi kenyataan adalah Ali, Umar, Hasan dll.
Jadi pembahasan mengenai kulliyah sebenarnya adalah pembahasan mengenai penyesuaian pengertian (mafhum) dan kenyataan (masadaq).

Ø  Macam-macam kulli
(a)  Kulli Dzatiah
Lafadz kulli dzatiah adalah lafadz yang menunjukkan kepada mahiyah (hakekat) sepenuhnya, dan kepadanya diajukan pertanyaan ”apa dia”.
Kulli dzatiah ini dibagi menjadi tiga, yakni:
1.    Jins, adalah kulli yang sesuai dengan afraddari bermacam-macam hakekat yang berlawanan. Jins adalah bagian dari mahiyah yang sama antara satu mahiyah dengan mahiyah yang menjadi tempat bernaungdari macam-macam kulliyah yang lebih khusus.
Contoh:
Lafadz hewan menandung makna manusia, hewan-hewan lainnya seperti kerbau, kancil, kudn dll. Sedangkan manusia, kerbau, kancil, kuda, dll adalah hakekat makna yang lebih khusus dari hewan.
2.    Nau’, kata nau’ berasal dari bahasa arab yang berarti ragam, jenis, macam dan sebagainya. Maksudnya adalah, ragamnya suatu hakekat, yang berkumpul pada yang lebih umum, tetapi dibawah kulli, seperti: manusia/insan, hakekatnya Ali, Muhammad, Umar dan lain-lain.
Nau’ sendiri dibagi menjadi dua:
a.    Nau’ haqiqi, adalah lafadz kulli yang berada dibawah jins, sedang masadaqnya merupakan hakekat yang sama, nau’ haqiqi tidak ada lagi dibawahnya kecuali afrad-afrad saja.
b.    Nau’ Idhafi atau nau’ tambahan, adalah nau’ yang jenisnya dibagi sama, seperti: tinggi, rendah pertengahan atau nau’ yang memiliki sifat tambahanyang tida pasti yang membedakan dengan nau’ haqiqi. Dapat pula dikatakan sebagai lafadz kulli dibawah jins.

Nau’ idhafi ada tiga macam
1.    Safil, berasal dari bahasa arab, artinya bawah. Maksudnya lafadz safil adalah lafadz kulli yang tidak ada dibawahnya kecuali juz’inya, yakni Muhammad, Ali dll.
2.    Mutawasith, berasal dari bahasa arab yang berarti pertengahan. Maksudnya nau’ mutasith adalah lafadz kulli yang diatas dan dibawahnya terdapat nau’. Seperti: hewan, diatasnya ada nau’ al-nami’ sedang dibawahnya ada nau’ yaitu manusia. Demikian pula di atas nami’ ada nau’ jisim dan dibawahnya manusia.
3.    ’Ali, berasal dari bahasa arab yang artinya tinggi. Maksudnya disini lafadz ’ali adalah nau’ yang tertinggi, tidak ada lagi nau’ diatasnya, contoh: jisim. Lafadz jisim tidak ada lagi diatasnya ia jins Ali yakni Jauhar.
3.    Fashal, berasal dari bahasa arab yang artinya beda, pisah atau isolasi. Maksudnya adalah dengan fashal kita dapat membedakan hakekat sesuatu dengan hakekat lainnya yang terdapat dalam satu jenis (jins). Dalam ilmu mantiq fashal adalah suatu sifat dari beberapa sifat kulliyah, dimana suatu hakekat bersatu dalam satu jenis.
Fashal terbagi menjadi dua, yakni:
a.    Fashal gharib, adalah satu ciri yang membedakandari sesuatu yang menyamainyadalam jenisnya yag dekat.
Contoh:
    Lafadz berfikir, karena ia membedakan dari yang menyamainya dalam satu jenis, yakni hewan.
b.    Fashal baid, adalah ciri yang membedakan dari sesuatu yang menyamainya dalam jenisnya yang jauh.
Contoh:
• Lafadz merasa, adalah lafadz baid bagi manusia yang membedakan dengan hewan.
(b)  Kulli Irdhiyah.
Lafadz kulli irdhiyah adalah lafadz abstrak yang menyifati benda. Lafadz irdhiyah dibagi menjadi dua, yakni:
1.    Irdhiyah Khashah, adalah sifat tambahan yang hanya berlaku satu dzat tertentu atau term yang menyamakan sifat hakikat dari suatu spesia sebagai akibat dari sifat pembeda yang dimilikinya.
Contoh:
Sifat pembeda yang dimiliki manusia adalah berfikir.dari sifat berfikir ini timbul sifat khusus, seperti: kawin, membentuk pemerintah, adanya peradaban, pakaian, dan mengembangkan kebudayaan. Irdhi khas (sifat khusus) adalah sifat atau sejumlah sifat yang dimiliki secra khusus oleh hakekat-hakekat (mahiyah)yang sama.bariyah, bakar, usman, mustafa adalah hakekat-hakekat mahiyah yang sama.contoh:mampu berbahasa/belajar satu bahasa/beberapa bahasa.adalah irdhi khas (sifat khusus) bagi manusia.
2.    Irdhiyah Ammah, adalah sifat tambahan yang dapat ditemukan pada beberapa zat atau golongan.
Contoh:
Sifat melihat pada manusia.meliahat ini juga dimiliki oleh hewan yang lain.

  
PENUTUP

Kesimpulan
1)    Dilalah
Dilalah adalah memahami sesuatu dari sesuatu yang lain. Pembagian Dilalah sebagai berikut:
a.    Dilalah Lafzhiyah adalah Petunjuk yang berupa kata atau suara. Dilalah ini terbagi menjadi tiga:
1)    Dilalah Lafzhiyah Thab’iyah, yaitu dilalah yang berbentuk alami.
2)    Dilalah Lafzhiyah ‘Aqliyah, yaitu dilalah  yang dibentuk akal pikiran.
3)    Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah, yaitu dilalah yang dengan sengaja dibuat oleh manusia untuk suatu isyarah atau tanda berdasar kesepakatan.
b.    Dilalah Ghairu Lafzhiyah adalah petunjuk yang tidak berbentuk kata atau suara. Dilalah ini terbagi tiga:
1)    Dilalah Ghairu Lafzhiyah Thab’iyah, yaitu dilalah yang berupa sifat alami.
2)    Dilalah Ghairu Lafzhiyah ‘Aqliyah, yaitu dilalah yang dibentuk akal pikiran.
3)    Dilalah Ghairu Lafzhiyah Wadh’iyah, yaitu dilalah yang dengan sengaja dibuat oleh manusia untuk suatu isyarah atau tanda berdasar kesepakatan.
c.    Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah dibagi menjadi tiga:
1)    Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah Muthabaqiyah.
2)    Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah Tadhammuniyah.
3)    Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah Iltizamiya
2)    Lafadz
Lafadz adalah susunan beberapa huruf yang mengandung arti. Istilah lafadzberasal dari bahasa Arab dan diartikan sebagai 'kata' dalam bahasa Indonesia seperti kayu, batu, air dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA

Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Logika. Jakarta:Kencana
A, Baihaqi.  Ilmu Mantiq Teknik Dasar Berpikir Logika. Darul Ulum Press






[1] Basiq Djalil, Logika, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 5
[2] Baihaqi, Ilmu Mantik, Darul Ulum Press, h. 12
[3] Ibid, hal.14
[4] Ibid hal.15
[5] Baihaqi “Ilmu Mantiq Teknik dasar berfikir logic” hal 29.
[6] Basiq Djalil “Logika Ilmu Mantik” hal 17
[7] Basiq Djalil “Logika Ilmu Mantik” hal 32.

Pengantar Pembahasan Ilmu Mantiq


1. Asal Usul
Logika ada semenjak manusia ada di dunia, walaupun dalam tingkat yang sederhana, dalam kehidupan manusia pasti mempraktikkan hukum berpikir, persoalannya..  Manusia itu tidak menyadari ia telah melakukan kegiatan berpikir.
Hal yang seperti itu disebut sebagai logika naturalis atau logika alamiah.
Manusia berkembang semakin kompleks. Sejalan dengan itu manusia seringkali mengalami kesulitan dalam melakukan olah pikir untuk menyelesaikan maslahnya.
Masalah yang konpleks itu terpecahkan secara benar, maka manusia membuat aturan-aturan  berpikir, hal inilah yang biasa dikenal dengan sebutan logika artificialis / logika buatan

2. Zaman Yunani
Sebagaimana ilmu lainnya, pemikiran ttg logikapun berawal dari Yunani, semenjak zaman Kuno Yunani orangnya pun telah mengusahakan tentang logika artificialis
a. Zaman Sophistika (abad ke 5 SM) telah tercatat dan menalarkan hukum berpikir yang bertujuan awalnya hanya untuk mencari kebenaran, tetapi bergeser diplesetkan dalam pengertian politis, yaitu ingin mencari kemenangan dalam sebuah perselisihan.
Contoh:
Bentuk pemikiran yang diusahakan masa lalu hanyalah pada permainan kata-kata demi kemenangan dalam perselisihan
-         Barangsiapa yang lupa itu bodoh
-         Barangsiapa yang banyak belajar, banyaklah   tahunya dan banyaklah lupanya
-         Maka orang yang banyak belajar akan makin bodoh
b. Socrates, Plato dan Aristoteles
Permainan kata kaum shopistika menimbulkan reaksi dikalangan filsuf, dengan diawali Socrates (469 – 399 sm) membangun logika dalam arti yang benar sebagai kritik terhadap kaum shopistika.
Usaha Socrates dilanjutkan oleh muridnya Plato (427 – 347 sm) berlanjut ke Aristoteles dan berhasil menyusun logika yang hingga saat ini dipakai dalam ilmu pengetahuan. Selanjutnya disebut Logika Aristoteles yang buah pikirannya disebut Organon yang berarti alat untuk mencapai pengetahuan yang benar.
      Posisi Aristoteles sebagai guru Alexander (putra raja Macedonia, Philip) dan guru filsafat di sekolah yang didirikannya di Athena, the Lyceum, menjadikan pemikirannya banyak dikenal di tengah-tengah masyarakat Yunani.
      Logika Aristoteles mendapatkan tempat yang sangat prestis khususnya dalam dunia pengetahuan. Logika Aristoteles telah mampu merapikan ‘muntahan ide’ Plato yang terabadikan dalam “dialog”nya. Pemikirannya mampu menghegemoni rasionalitas bangsa Yunani, bahkan seolah-olah menutup bayang-banyang dua filsuf besar sebelumya, Socrates dan Plato.
      Masyarakat Yunani menganggap Aristoteles sebagai Tuhan dan Dewa rasionalitas. Jargon rasionalitasnya mampu meluluhkan ilmuwan pada zamannya demi mengungkap hakekat sebuah kebenaran. Rasionalitas dalam ilmu akan selalu diagungkan seperti halnya demokrasi dalam politik.
Logika Aristoteles
      Perumusan logika oleh Aristoteles sebagai dasar ilmu pengetahuan secara epistemologi bertujuan untuk mengetahui dan mengenal cara manusia mencapai pengetahuan tentang kenyataan alam semesta -baik sepenuhnya atau tidak- serta mengungkap kebenaran. Akal menjadi sebuah neraca, karena akallah yang paling relevan untuk membedakan antara manusia dengan segala potensi yang dimilikinya dari makhluk lain.
      Wa Ja’ala Lakum al-Sam’a wa al-Abshâr wa al-Af`idah” ( QS: 67 Ayat 23). Oleh Ibnu Khaldun kata “af`idah” bermakna akal untuk berfikir yang terbagi dalam tiga tingkatan.


Tingkatan Akal Menurut Ibn Khaldun
      Pertama, akal yang memahami esensi di luar diri manusia secara alami. Mayoritas aktifitas akal di sini adalah konsepsi (tashawwur), yaitu yang membedakan apa yang bermanfaat dan apa yang membawa petaka.
      Kedua, akal yang menelorkan gagasan dan karya dalam konteks interaksi sosial. Aktvitas akal di sini adalah sebagai legalitas (tashdiq) yang dihasilkan dari eksperimen. Sehingga akal di sini disebut sebagai akal empirik.
      Ketiga, akal yang menelorkan ilmu dan asumsi di luar indera, lepas dari eksperimen empirik atau yang biasa disebut “akal nazhari”. Di sini konsepsi (tashawwur) dan legalitas (tashdiq) berkolaborasi untuk menghasilkan konklusi.
            Aristoteles mengenalkan logika sebagai ilmu (logica scientica), logika disebutanalitica, yang meneliti berbagai argumentasi berdasarkan proposisi yang benar sedangkandialektika meneliti argumen yang proposisinya masih diragukan kebenarannya. Inti logika Aristotels adalah silogisme.                                      
       Buku Aristotels to Oraganon (alat):
  1. Categoriae tentang pengertian.
  2. De interpretatiae tentang keputusan.
  3. Analytica Posteriora tentang pembuktian
  4. Analytica Priora tentang silogisma
  5. Topica tentang argumentasi dan metode berdebat
  6. De sophisticis elenchis tentang kesesatan
Pelopor Logika
§      Plato (427SM – 347SM).
§      Theophrastus (370SM – 288SM), mengembangkan logika Aristoteles
§      Zeno (334SM – 226SM) mengenalkan istilah logika.
§      Galenus (130 – 210) dan Sextus Empiricus (200) dua orang dokter medis mengembangkan logika menggunakan metode geometri dan mengenalkan sistematisasi logika.
§      Porohyus (232 – 305) membuat pengantar pada Categoriae.
§      Boethius (480 – 524) menerjemahkan Eisagoge Porphyrius dalam bahasa Latin dan mengomentari.
§      Johanes Damascenus (674 – 749) menerbitkan Fons Scienteae.
c. Abad Pertengahan (800 – 1600 m)
Masa ini logika dikembangkan dan dihargai, orang Erofa belajar dengan orang Islam. Diantaranya dinasti Abasiyah dikenal Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dengan mengajarkan logika yang berasal dari Aristoteles, namun karena ajaran mereka sudah tidak murni lagi, maka orang Erofa pada abad ke 13 mencari sumber aslinya.
Aristoteles dianugrahkan sebagai bapak Logika, di abad pertengahan dikembangkan logika modern, hingga dewasa ini logika dikembangkan menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang luas.
      Perkembangan ilmu berawal dari penerjemahan gede”an masa Al-Ma’mun (dimulai masa al-Mansur) dari Dinasti Abbasiyah. Ketika itu, Al-Ma’mun bermimpi bertemu dg Aristoteles. Perbincangan mereka mengarah pd sumber kebenaran adlh akal. Al-Ma’mun mengirim delegasi ke Roma guna mempelajari bbrp ilmu kemudian diterjemahkan ke dlm bhs Arab. Yahya bin Khalid bin Barmak ‘Sang Hero’ pd masa itu, karena dia telah berhasil membujuk bahkan membebaskan karya para intelektual Yunani dari genggaman Romawi. Hal yg ditakutkan oleh Raja Romawi dari karya para intelektual Yunani adah ketika buku” tersebut dikonsumsi rakyatnya dan mulai tersebar maka agama Nasrani kemungkinan akan ditinggalkan, dan kembali pd agama Yunani.
      Ilmu asing yang diadopsi Arab diklasifikasikan oleh Khawarizmi berjumlah sembilan cabang ilmu, dan mantik adalah salah satu di antaranya. Ayyub bin al-Qasim al-Raqi yang menerjemahkan Isagog dari bhs Suryani ke Arab yang awalnya telah diadopsi dari Madrasah Iskandariah.
      Pindahnya Madrasah Alexandria ke Syria membawa banyak pengaruh dalam dunia pengetahuan. Penertiban dan penyusunan ketika itu menjadikan logika sebagai pedoman dan ilmu dasar dalam bidang astronomi, kedokteran dan kalam yang berkembang pesat di Arab sekitar abad IX-XI M. Sarjana Islam mulai proaktif dalam mengembangkan ilmu yang bernafaskan sains, termasuk Ibnu Sina (1037 M.), seorang filsuf muslim yang juga dokter dan Abu Bakar al-Razi yang mengawali pembukuan ilmu kedokteran dan farmasi. Ibnu Rusyd (1198 M.) kemudian ikut andil dalam mengkolaborasikan logika Aristoteles dengan ilmu Islam termasuk filsafat dan nahwu. Al-Ghazali juga mulai mengkolaborasikan mantik dengan ilmu kalam pada periode selanjutnya.
      Dalam riwayat al-Qadli al-Sha’id al-Andalusi (1070 M./462 H.) dijelaskan, bahwa Ibnu Muqaffa’ (760 M./142 H.) diyakini sebagai penerjemah awal ilmu mantik. Ia telah menerjemahkan tiga buku karya Aristoteles yaitu, Categorias, Pario Hermenais, Analytica, serta Eisagoge karya Porphyry.
      Hunain bin Ishaq, salah satu ahli bhs, jg berpartisipasi menerjemahkn berbagai disiplin ilmu Yunani ke dlm bhs Arab. Bahkan Ishaq jg ikut menerjemahkan dari bhs Suryani. Dalam buku Thatawwur Mantiq al-Araby dijelaskan, sekitar tahun 800 M. adlh awal penerjemahan buku” Yunani.
      Organon adlh kitab pertama yg diterjemahkan ke Arab. Orang-orang Nasrani ketika itu jg banyak membantu dalam proses penerjemahan, yg secara tidak langsung pemikiran Aristoteles berkembang biak tidak hanya dlm kedokteran, astronomi dan matematika melainkan mulai menyentuh wilayah teologi Kristen.
      Sejak saat itu, mantik menjadi pemeran utama dlm ilmu kedokteran dan mulai berkembang dalam bahasa Arab sekitar abad ke-9 hingga abad ke-11 M. yg diprakarsai oleh Yahya bin Musawiyah, spesialis penerjemah ilmu kedokteran dari Yunani ke Arab.
      Hadirnya madrasah di Jundisapur (Persia) yg mengawali pelatihan penerjemahan dari teks Yunani pd awal abad pertama yg akhirnya berpindah ke Bagdad. Dari sinilah lahir sarjana muslim yang berkompetensi tinggi untuk mengenalkan mantik dalam ilmu keislaman, sebut saja Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Razi, Al-Ghazali dst.
      Stoicisme mengklasifikasikan ilmu menjadi 3, yaitu metafisika, dialektika dan etika. Dialektika adlh logika. Mereka cenderung memasukkan logika bagian dari Filsafat.
      Berbeda dg Ibnu Sina (1037 M.) dlm bukunya al-Isyârât wa al-Tanbîhât yg memisahkan logika sbgai ilmu independen sekaligus sbgai pengantar.
      Al-Farabi (950 M.) berpendapat bahwa mantik adalah Ra’îs al-‘Ulum yg independen. Keterpengaruhan mantik arab dengan neo-platonisme dan Aristoteles sangat jelas jika dilihat dlm hal ini, krn essensi logika itu sendiri adlh ketetapan hukum untk mengetahui sst yg belum diketahui.
Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu ada dua;
         pertama ilmu murni-independen (‘ulûm maqshûdah bi al-dzât) seperti ilmu syari’at yang mencakup ilmu tafsir, hadits, fikih dan kalam, dan ilmu filsafat yg mencakup fisika dan ketuhanan.
         Kedua, ilmu pengantar (âliyah-wasîlah) bagi ilmu-ilmu murni-independen, seperti bhs Arab dan ilmu hitung sebagai pengantar ilmu syari’ah, dan mantik sbg pengantar filsafat.
       Pengkajian ilmu pengantar hendaknya hanya sebatas kapasitasnya sebagai sebuah alat bagi ilmu independen. Jika tidak, ilmu alat atau pengantar akan keluar dari arah dan tujuan awal, dan bisa mengaburkan pengkajian ilmu-ilmu independen.
      Perjalanan mantik Arab mengalami sedikit goncangan dari ulama klasik. Bantahan dan sanggahan terhadap al-Kindi tak dapat dihindari. Menurut mereka belajar filsafat sama halnya belajar sesuatu yang menyesatkan. Parahnya, mereka mengklaim bahwa mempelajari filsafat dan mantik adalah bagian dari perbuatan setan.
      Imam al-Syafi’i banyak mengeluarkan hadist-hadist larangan terhadap pembacaan logika dan filsafat. Salah satunya berbunyi “akan dianggap bodoh lagi diperdebatkan bagi mereka yang mulai meninggalkan bahasa Arab dan berganti mempelajari filsafat Aristoteles”.
      Padahal Imam Syafi’i banyak menggunakan metode eksplorasi (istiqrâ`) untuk mengambil istinbath hukum. Ada pula riwayat yang berbunyi “barang siapa yang mempelajari logika, maka disamakan dengan kaum zindiq”. Intinya, menyatakan pelarangan terhadap mantik dan filsafat, seperti yang sudah dikemas oleh Syeikh Islam Ismail Harawi dalam periwayatannya.
      Kecaman dan penolakan terhadap mantik berawal ketika Al-Mutawakkil mulai menduduki kekhalifahan Abbasiyah (846 M/232 H). Penentang terbesar terhadap pemikiran Yunani adalah golongan teolog Asy’ariyah terutama Al-Ghazali (1059-1111 M).
      Mantik dan filsafat terus dikecam oleh doktrin ke-salafan, sampai pada akhirnya muncul Ibnu Rusyd pemikir besar Islam yang berani melawan mainstream tersebut dengan bukunya Tahâfut al-Tahâfut. Yang juga menjadi komentator atas aliran Aristoteles –selain Ibnu Sina dan Ibn Rusyd- adalah Suhrawardi dengan magnum opusnya “Hikmat al-Isyraq”, yang berisikan kritikan terhadap aliran Paripatetik dan filsafat materialisme yang dianut oleh aliran Stoicisme.
      Perlawanan terus berlanjut bahkan sampai puncaknya pada abad ke-13 dan ke-14 M. Apalagi setelah terbunuhnya filsuf muslim Sahruwardi pada akhir abad ke-12 M., muncul dua penentang papan atas yaitu, Ibnu Sholah (1244 M.) dan Ibnu Taimiyah (1328 M.). Adapun Ibnu Taimiyah melakukan pemboikotan terhadap buku-buku filsafat dan mantik, serta melontarkan predikat ‘kafir’ terhadap Ibnu Sina dalam bukunya “Majmu’ah Rasâ`il al-Kubrâ” (terbitan Kairo, hal 138).
      Pada masa inilah, pengikisan mantik mulai terlihat. Muncul setelahnya, abad ke-14 M. Imam Al-Dzahabi yang juga melakukan perlawanan terhadap perjalanan filsafat dan mantik Yunani. Hal-hal seperti itulah yang dilakukan ulama salaf guna membendung fitnah dalam pentakwilan teks-teks suci al-Qur’an dan Hadist.
      Al-Ghazali menyatakan bahwa teologi retoris sangat kering jika hanya berkutat dgn logika tanpa menyentuh epistem demonstratif, shg butuh sebuah upaya harmonisasi demi mencapai teologi yang mampu menghilangkan skeptisisme.
      Mantik dalam pandangan al-Ghazali terbagi dua, yaitu mantik Aristoteles yang mencakup segala pengetahuan kecuali teologis, dan mantik “kasyfi” yang hanya mencakup masalah ketuhanan.
      Menurut Ibnu Khaldun, logika empirik (mantiq hissi) juga dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari mantik, yang mendasari problematika kemasyarakatan.
      Dalam ilmu kalam, al-Ghazali lebih mengunggulkan metode analogi (qiyâs) dari pd eksplorasi (istiqrâ’) karena dianggap tidak dapat membenarkan teori ketuhanan, terwujud dari ketidakseragaman antara dunia metafisis dan realita.
Perkembangan di Barat
      Pengaruh rasionalitas Aristoteles terhdp peradaban Eropa secara periodik terbagi 3, yaitu permulaan abad Masehi (abad ke-2 dan ke-3 M.) ; pertengahan abad (sekitar abad ke-13 - abad ke-16 M.)  ;  akhir abad ke-19 M.
      Otoritas gereja pd abadvpertengahan menghegemoni hampir semua wilayah Eropa dgmengusung etika rasional sbg titik tolak pemikiran, shg wahyu Tuhan seakan dipaksakan untuk memasuki wilayah akal. Inilah yg menimbulkan perpecahan dlm gereja.
      Abad ke-12 M, gereja mulai menerjemahkan karya sarjana Muslim yang berpusat di Spanyol dan Napoli. Orang Yahudi ketika itu banyak mempelopori penerjemahan kitab kedokteran, logika, matematika, astronomi dan filsafat. Buku filsafat pertama yang diterjemahkan adalah al-Syifa’ karya Ibnu Sina (1037 M.) yang sangat melegenda kemudian mulai melebarkan sayap terhadap karya Al-Farabi dan Al- Kindi.
      Adopsi karya” tersebut didukung dg hadirnya Madrasah Paris yg sedang naik daun dan dpt ‘restu’ dari Raja Philip dan Agustus. adopsi karya sarjana muslim tidak berjalan mulus bahkan mendapatkan penyangkalan dan pembantahan dari pihak gereja yang masih fundamentalis yg dianggp berlawanan dg hasil konsensus gereja, maka secara resmi gereja mengeluarkan pelarangan dan pemboikotan terhadap karya Aristoteles pada tahun 1210 M.
      Kemudian menerjemahkan karya Aristoteles langsung dari buku Yunani, inilah yg banyak membantu Thomas Aquinas dlm pembaruan gereja. Di sinilah awal permulaan terbaginya madrasah Eropa menjadi empat pusat keilmuwan, yaitu madrasah Agustine, Dominika, Rasional Latin dan Oxford.
Logika Modern
q      Buku-buku Aristotels masih digunakan
q      Thomas Aquinas (1224-1274) mengadakan sistematisasi logika
q      Tokoh-tokoh Logika Modern
q     Petrus Hispanus (1210-1278)
q     Roger Bacon (1214-1292)
q     Raymundus Lullus (1232-1315) menemukan Ars Magna sejenis aljabar pengertian.
q     William Ocham (1295-1349)
q     Thomas Hobbes (1588-1626) menulis Leviatan dan John Locke (1632-1704)menulis An Essay Concerning Human Understanding.
q     Francis Bacon (1561-1626) mengembangkan logika induktif dengan bukunyaNovum Organum Scientarium.
q     J.s. Mills (1806-1873) menekankan pada pemikiran induksi dalam bukunya System of Logic.
q     Tokoh-tokoh Logika Simbolik
q     G.W. Leibniz (1646-1716)
q     George Boole (1815-1864)
q     John Venn (1834-1923)
q     Gottlob Frege (1848-1925)
q     Chares Sandres Peirce (1839-1914) filsuf USA memperkenalkan dalil Peirce.
q     Alfred North Whitehead (1861-1914) dan Bertrand Arthur William Russel (1872-1970) puncak kejayaan logika simbolik dengan terbitnya Principia Mathematica.
q     Ludwig Wittgenstain (1889-1951), Rudolf Carnap (1891-1970), Kurt Godel (1906-1978), dll

q     Logika sebagai matematika murni, matematika adalah logika yang tersistimatisasi, matematika adalah pendekatan logika kepada metode ilmu ukur menggunakan simbol-simbol matematik (logika simbolik). Logika tersistimatisasi dikenalkan olehGalenus dan Sextus Empiricus.
      Pada hakekatnya relasi mantik dan filsafat tidak akan terpisahkan, karena ‘berfilsafat’ harus menggunakan akal sehat dg melepas subjektifitas. Sedangkan agama dasar utamannya adalah kekuatan iman, bukan akal.
      Pergolakan iman Kristiani banyak tercabik-cabik dalam pertengahan abad pertama, yaitu dg munculnya asumsi gereja yg menyatakan tidak adanya filsafat dlm agama krn itu sangat mustahil. Melihat tujuan utama agama nasrani adalah “fikratul khallash”, yg menurut sebagian tokoh gereja tidak ada sangkut-pautnya dengan filsafat.
      Berbeda dg pemikiran Agustine yang banyak menghubungkan wilayah agama dan rasionalitas. Dalam bukunya “De Civitate Dei” dikatakan bahwa filsafat Kristen adalah cinta akan kebenaran, dan kebenaran merupakan ‘kalimah’ yg menyatu dlm tubuh al-Masih. Argumen selanjutnya, Agustine tidak mengakui otoritas wahyu, karena nasrani adalah agama yang rasional.
      Agustine menjelaskan korelasi antara rasionalitas dan iman, bahwa fungsi akal mendahului iman (Ratio antecedit fidem) guna menjelaskan nilai-nilai kebenaran dalam akidah, sedangkan tujuan iman mendahului akal (Credo ut intelligam) hukumnya wajib agar akal digunakan untuk memikirkan akidah.
      Dan dari sini dapat ditarik benang merah bahwa tujuan hakiki filsafat adalah bukan berpikir untuk berakidah, melainkan berakidah untuk berpikir. Hal ini sangat berlawanan dengan pernyataan Thomas Aquinas (1274 M.), bahwa berpikir merupakan titik pemberangkatan untuk berakidah.
      Pemisahan rasionalitas dengan agama juga menjadi bahasan utama oleh Dr. Zaki Najib Mahmud, sejatinya agama berangkat dari wahyu disertai nash-nash ilahiyah yang terjaga, maka ketika membahas ‘rasionalitas agama’ lebih ditujukan kepada proses penalaran yang berangkat dari agama. Nash agama selalu bersifat tunggal, tetapi nash yang berangkat dari penalaran agama akan bervarian selaras dengan perbedaan segi pandangan akal terhadap agama.
      Zaman Renaissance adalah yang menjembatani perkembangan rasionalitas dari abad pertengahan ke era modern sekitar tahun 1400-1600 M. dengan tokoh utama Francis Bacon (1562-1626 M.), Nicollo Machiavelli (1469-1527 M.). Mereka mulai menguak kebudayaan klasik Yunani-Romawi kuno yang dihidupkan kembali dalam kesusastraan, seni dan filsafat. Jargon utamanya adalah “Antroposentris” ala mereka, pusat perhatian pemikiran tidak lagi wilayah kosmos, melainkan manusia. Mulai sekarang manusialah yang dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan.


SISTEMATIKA LOGIKA
  1. Logika Formal dan Logika Material
Untuk mempermudahkan dalam mempelajari Logika, maka yang pertama dalah membaginya menjadi dua bagian, yaitu logika formal dan logika material.
Logika Formal: bidang pengetahuan yang mempelajari dan mengajarkan formal (sesuai dengan aturan yang sah), yaitu bentuk pekerjaan akal, asas berpikir, hukum berpikir dan patokan berpikir yang memberikan pedoman agar dapat berpikir secara runtut dan benar sehingga hasil pemikiran terhindar dari keliru. Yang selanjutnya disebut Logika Minor
Logika Material: Bidang kajian yang membicarakan materialnya/bahannya di dalam kenyataannya yang berhubangan dengan pekerjaan berpikir. Di sini terlihat seakan logika material mencocokkan apakah hasil logika formal itu sesuai dengan kenyataan. Yang selanjutnya di sebut Logika Minor
Logika material melahirkan filsapat pengetahuan

Logika formal menitik beratkan pada pekerjaan akal
Logika Material menitik beratkan pada hasil pekerjaan akal
BAGIAN LOGIKA
Ada tiga pekerjaan akal yang biasa disebut dengan Mengerti, Berpendapat dan Bernalar. Kesemuanya tercakup dalam aktivitas akal kita
Sepanjang manusia dalam kesadaran, maka akalnya terus berjalan, akal bekerja tiada lain melakukan kegiatan menimbang, membanding dan berkeputusan. Untuk dapat melakukan hal itu ia harus berpendapat terlebih dahulu, dan akal baru bisa berpendapat apabila ia sudah mempunyai pengetian dan Tahu tentang sesuatu.
Maka jelas: orang tidak dapat berpikir atau menalar apabila ia tidak mempunyai pengertian.

Ilmu dan Dilalah
Nur Mukhlish Zakariya
KONSEP ILMU
      Ilmu sering disebut science  dan dibedakan dengan pengetahuan.
      Ilmu merupakan pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu
      Menurut Prof. KH. M Taib Thahir Abd. Mu’in, ilmu adalah mengenal sesuatu yang belum dikenal.
      Menurut Muhammad Nur Al-Ibrahim mengemukakan pengertian ilmu menurut ahli mantik sb : Pencapaian objek yang belum diketahui dengan cara meyakini atau menduga keadaannya bisa sesuai dengan realita atau sebaliknya.
      Ilmu pengetahuan merupakan cara untuk menghasilkan dan menguji kebenaran pernyataan mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di dunia pengalaman manusia.
      Pengetahuan (knowledge) adalah hasil dari aktifitas mengetahui, yakni tersingkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa hingga tidak ada keraguan terhadapnya.
      “Ketidakraguan” merupakan syarat mutlak bagi jiwa unt dpt dikatakan “mengetahui”. Contoh : Bilangan 3, lebih kecil dari 5 dan lebih banyak dari 1.
      Pengetahuan (knowledge) sudah puas dengan “menangkap tanpa ragu” kenyataan sst, sedang ilmu (science) mengehendaki penjelasan lebh lanjut dari sekedar apa yang dituntut pengetahuan (knowledge). Contoh : Ban pelampung yg terapung di air
Cara untuk menghasilkan dan menguji kebenaran pernyataan empiris
      Otoriter, pencapai pengetahuan yang berbobot (ketua adat, uskup, raja, dll).
      Mistik, sebagian dihubungkan dengan cara otoriter seperti para wali, pelantara, dewa-dewa, dll. Otoriter lebih berorientasi bagaimana sosial sedangkan mistik bersumber dari bribadi pemakai.
      Logika Rasional, sejalan dengan pemikiran sosial.
      Cara Ilmiah, menggabungkan suatu kepercayaan terhadap akibat yang diamati.
      Ilmu menurut para pakar Mantiq, adalah mengerti dengan yakin atau mendekati yakin (zhan) mengenai sesuatu yang belum diketahui, baik paham itu sesuai dengan realita maupun tidak
Contoh: Ketika sinar cahaya bulan yg samar”, kebetulan melihat bayang” hitam setinggi manusia.
         Pemahaman bahwa bayang” itu adlah bayangan manusia dan anda yakin akan paham anda itu. Kebetulan, ternyata bahwa bayang” itu adalah benar bayangan manusia. Pemahaman anda itu merupakan lmu yg yakin dan sesuai dg realitas (ilmu yaqini muthabiq lil-waqi’)
         Jika anda mempunyai pengertian yang mendekati yakin (zhan) bahwa bayang” itu adlah bayangan manusia. Kebetulan, ternyata bahwa bayang-bayang itu adalah benar bayangan manusia, maka pengertian anda itu merupakan ilmu yg mendekati yakin (zhan) dan sesuai dg realitas (ilmun zhanni muthabiq lil-waqi’).
Pembagian Ilmu Menurut Pakar Mantiq
1.Tashawwur, yaitu memahami sst tanpa meletakkan sesuatu (sifat) yg lain kpdnya, seperti memahami kata Husein, manusia, kerbau, rumah, gunung dsb. Tashawwur juga bisa diartikan dengan mengetahui hakikat-hakikat objek tunggal dengan tidak menyertakan penetapan kpdanya atau meniadakan penetapan drinya

2.Tasdhiq, yaitu memahami hubungan antara dua kata, atau menempatkan sesuatu (kata) atas sesuatu (kata) yang lain.
            Ketika memahami Husein tanpa menetapkan sesuatu yang lain kepadanya maka ilmu anda mengenai Husein itu Tashawwur. Tetapi, ketika anda mengatakan Husein sakit, berarti anda memahaminya dengan menetapkan (meletakkan) sakit kepada Husein. Pemahaman anda pada waktu itu sudah berpindah dari Tashawwur kepada Tashdiq.
Pembagian Ilmu Tashawwur dan Tashdiq
1.   Badihi
Pemahaman tentang sst yg tidak memerlukan pikiran atau penalaran (sst yg unt mencapainya tanpa memerlukan susah payah), seperti mengetahui diri merasa lapar karena terlambat makan; mangetahui diri merasa dingin karena tidak memakai jaket, mengetahui satu adlh setengah dari dua, dan semacamnya.
2.    Nazhari
Pemahaman (Ilmu) yg memerlukan pemikiran, penalaran atau pembahasan (diperoleh pemahaman dg susah payah), seperti bumi berputar, tapi air di atasnya tdk tumpah, teknologi radio, televisi, komputer dll. Demikian juga halnya dengan ilmu pengetahuan tentang alam sebagai sst yg baharu yg harus ada penciptanya, termasuk ilmu pngetahuan tentang alam kubur dan kebangkitan di hari akhirat.
LANDASAN DAN TOLOK UKUR KLASSIFIKASI ILMU
      Para filosof mengklassifikasikan ilmu seperti halnya klassifikasi filsafat yaitu: ilmu” teoritis dan ilmu” praktis. Al-Farabi dlm ihsa al-ulum telah melakukan klassifikasi ilmu sbb :
      Ilmu ketuhanan yg terdiri dari 3  : yg membahas semua wujud dan yg terkait dgnya, yg membahas tentang prinsip” argumentasi (seperti ilmu mantik dan matematika), yg membahas semua wujud yg tidak berupa benda” ataupun berada dlm benda”.
      Ilmu” praktis seperti ilmu politik yg meneliti berbagai bentuk tindakan dan cara hidup, ilmu fiqih yaitu ilmu yang membahas tentang penyimpulan syariat dan pelaksanaanya, ilmu kalam yang menkaji tentang dasar” agama dlm hal teoritis maupun praktisnya (Al-Farabi, Perincian Ilmu Pengetahuan, dalam Nurcholish Madjid. Ed. Khazanah Intelektual Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h.121-133.
 Ibnu Khaldun membagi ilmu scr umum menjadi dua bagian yaitu :
      Ilmu-ilmu naqli (al-ulum al-naqliyah). ilmu-ilmu naqli diantaranya ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ushul fiqh, fiqih, ilmu kalam, ilmu-ilmu bahasa (linguistic, gramatika, retorika, sastra).
      Ilmu-ilmu aqli (al-ulum al-aqliyah). Ilmu-ilmu aqli adalah ilmu hikmah dan filsafat, yang terdiri dari tujuh yaitu : ilmu mantik (logika), ilmu alam, ilmu ketuhanan (metafisika), matematika (arimatika, geometri, astronomi, dan musik). (Ibnu Khaldun,“Tentang Ilmu Pengetahuan dan Berbagai Jenisnya, dalam Nurcholish Madjid (ed.)Khazanah Intelektual Islam. (Jakarta: BB, 1984), h. 310-326.
Klassifikasi Ilmu berdasarkan konsepsi
1.   Tashawwur (konsepsi) yaitu ilmu yg bebas dari penilaian benar-salah. Tashawwur itu sendiri dibagi 4 bagian :
        Konsepsi yang tidak memiliki relasi dan bersifat independen, seperti konsepsi tentang manusia, hewan, dll.
        Konsepsi yang memiliki diferensia (fashl), seperti : hewan rasional.
        Konsep yang memiliki relasi perintah, seperti: pukullah, pergilah.
        Konsepsi yang memiliki relasi berita, seperti : Zaid berdiri.
2.   Tashdiqi adalah ilmu yang didasarkan pada penilaian benar-salah. Contohnya : Ahmad adalah anak pintar.
Pembagian Ilmu Tashawwur dan Tashdiq
1.   Dharuri (keharusan) atau badihi. Dharuri/badihi yaitu ilmu yang didapat tanpa proses berpikir dan mengkonsepsi, melainkan langsung hadir pada mental. Selanjutnya, ilmu dharuri terdiri dari enam bagian :
        al-Awwaliah (permulaan) yaitu aksioma yang diperoleh akal dengan selintas pikiran saja tanpa bentuan sesuatu yang eksternal darinya, seperti : satu lebih kecil dari dua, ayah lebih tua dari anaknya.
        al-Musyahadah batiniah (penyaksian batin) yaitu aksioma yang didapat tanpa penilaian akal, melainkan dapat dirasakan batin. Contohnya: lapar, haus, sedih, takut.
        al-Mahsusat (empirisme) yaitu aksioma yang didapat berdasarkan penilaian akal dengan bantuan indera. Contohnya: api itu panas; madu itu manis.
        al-Tajribiah (eksperimental) yaitu aksioma yg didapat karena telah dieksperimen melalui percobaan dan pengalaman. Contohnya: air menguap jika dipanaskan, bodrek dapat menyenbuhkan sakit kepala.
        al-Hadsiah (dugaan; speculation) yaitu aksioma yg didpt berdasarkan perkiraan-perkiraan yg cermat, seperti : cahaya rembulan berasal dari cahaya matahari; bumi ini bulat.
        al-Fitriah (fitrah) yaitu aksioma yg didapat melalui kehadiran proposisinya dlm mental. Artinya, proposisi yg deduksinya terikut bersamanya atau yg had ausath (middle term) selalu hadir di dalam benak. Hal ini merupakan sejenis proposisi ‘spontan’ yg penelarannya terjadi secara sangat cepat dan setengah sadar. Contohnya: dua setengah dari empat.[4]
        Selain enam hal di atas ada juga yg menambahkan mutawatirah yakni sesuatu yg diyakini karena adanya berita yg berulang-ulang dan laporan yg banyak. Contoh: di Mekah ada Ka’bah; Nabi Muhammad itu ada.
2.   Iktisabi (proses) atau nazhari (teoritis) adalah ilmu yang didapat melalui proses berpikir, seperti : rotasi bumi mengelilingi matahari. Iktisabi ini terbagi pada dua bagian, yaitu :
        al-tashawwur al-kasbi (konsepsi proses) yaitu konsepsi yang didasarkan pada dua unsur utama yaitu had (batasan substansial) dan rasm (batasan aksidental).
        al-Tashdiq al-kasbi yaitu penilaian terhadap konsepsi yang didasarkan padaqiyas (silogisme), intiqra (induktif), dan tamsil (analogi).
Klassifikasi ilmu berdasarkan eksistensi
§      Ilmu hudhuri (kehadiran) yaitu ilmu yang objeknya langsung hadir pada diri subjek. Pada ilmu hudhuri ini tidak ada keterpisahan antara subjek dan objek ilmu pengetahuan, melainkan terjadi kesatuan eksistensial antara keduanya.
§      Ilmu hushuli (korespondensi) yaitu ilmu yang didapat melalui proses korespondensi yang terjadi antara subjek dengan objek eksternal yang mana yang hadir adalah gambaran objeknya tersebut, bukan objeknya langsung.(Khalid al-Walid, Tasawuf Mulla Sadra.(Bandung: Muthahhari Press, tt), h. 105-109.
Klassifikasi berdasarkan metode dan prosedur penelitian
§      Ilmu-ilmu rasional yang diselidiki lewat bukti-bukti rasional dalam penyimpulan mental seperti logika dan filsafat ketuhanan.
§      Ilmu-ilmu empiris yang diverifikasi lewat metode-metode empiris dan eksperimentasi seperti fisika, kimia, dan biologi
§      Ilmu-ilmu nukilan (narrative science) yang ditilik lewat dokumentasi naratif atau historis seperti sejarah, biografi, dan fiqih.
DILALAH
PENGERTIAN DILALAH
§      Dilalah adalah memahami sst dari sst yg lain. Sesuatu yg pertama disebut al-madhul (yg ditunjuk, diterangkan atau diberi dalil) dan sesuatu yg kedua disebut al-dall (penunjuk, penerag, atau yg memberi dalil).
§      Dilalah, yaitu satu pemahaman yg dihasilkan dari sst atau hal yg lain. Contoh : Terdengar suara di dalam danau di tengah ladang adlh dilalah (indikator) bagi adanya orang di dalam danau itu.
PEMBAGIAN DILALAH
1.      Dilalah Lafzhiyyah adalah petunjuk berupa kata atau suara. Dilalah ini terbagi tiga bagian yaitu :
      Thabi’iyyah (dilalah lafzhiyyah thabi’iyyah) yaitu dilalah (petunjuk) yg berbentuk alami (‘aradh thabi’i). Contoh : 1. Ketawa terbahak-bahak menjadi dilalah bagi gembira. 2. Menangis terisk-isak menjadi dilalah ............. 3. Suara mengerang dilalah.............
      ‘Aqliyah (dilalah lafzhiyah aqliyah) yaitu dilalah yg berbentuk akal- pikir. Contoh : 1. Suara teriakan ditengah hutan menjadi dilalah bagi adanya manusia di sana. 2. Suara teriakan maling dari sebuah rumah menjadi dilalah ................
      Wadh’iyyah (dilalah lafzhiyah wadh’iyyah) yaitu dilalah yg dengan sengaja dibuat manusia untuk suatu isyarah atau tanda apa saja berdasar kesepakatan.
            Contoh lafadz (kata) kepada makna yg tlh disepakati :
Orang Sunda sepakat menetapkan kata cau menjadi dilalah bagi pisang
Orang Jawa sepakat kata gedang menjadi dilalah bagi pisang
Orang Inggris sepakat kata Benana menjadi dilalah bagi pisang
2. Dilalah Ghairu Lafzhiyyah  adalah dilalah yang tidak berbentuk kata atau suara. Dilalah ini terbagi tiga bagian:
      Thabi’iyyah (dilalah ghairu lafzhiyyah thabi’iyyah) yaitu dilalah (petunjuk) yang bukan kata atau suara yang bersifat alami. Contoh : 1. Wajah cerah menjadi dilalah bagi orang yang senang ; 2. Menutup hidung menjadi dilalah ........3. wajah merah menjadi dilalah........
       ‘Aqliyah (dilalah ghairu lafzhiyah ‘aqliyah) yaitu dilalah bukan kata atau suara yang berbentuk akal- pikir. Contoh : 1. Hilangnya barang-barang di rumah menjadi dilalah bagi adanya orang yang mencuri ; 2. Terjadinya kebakaran di hutan menjadi dilalah ..........
      Wadh’iyyah (dilalah ghairu lafzhiyah wadh’iyyah) yaitu dilalah bukan kata atau suara yg dengan sengaja dibuat manusia untuk suatu isyarah atau tanda apa saja berdasar kesepakatan. Conth : petunjuk bagi lafadz (kata) kpd makna yg telah disepakati : 1. Secarik kain hitam yg dipakai orang Cina di tangan kirinya menjadi dilalah bagi kesedihan. 2. Merahnya lampu perempatan  .............
Pembagian Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah
1.      Muthabaqiyyah (dilalah lafzhiyah wadhiyyah muthabaqiyyah) yaitu dilalah lafazh (petunjuk kata) kepeda makna selengkapnya. Contoh : Kata rumah memberi dilalah bangunan yg lengkap terdiri dari, dinding , jendela, pintu, atap dll. Jika kita menyuruh membuat rumah, adlh rumah yg lengkap, bukan hanya satu bgn saja (dinding atau atapnya) saja.
2.      Tadhammuniyyah (dilalah lafzhiyyah wadh’iyyah tadhammuniyah) yaitu dilalah lafazh (petunjuk kata) kepada bagian” maknanya.Contoh : Ketika kita bermaksud untuk memperbaiki rumah, maka hanya bagian” tertentu saja yg diperbaiki. Jika kita meminta dokter mengobati badan, maka bagian badan yg sakit saja yang diobati.
3.      Iltizamiyyah (dilalah lafzhiyyah wadh’yyah iltizamiyya), yaitu dilalah lafazh kpd sst yg ada di luar makna lafazh yg disebutkan, tetapi terikat amat erat dg makna yg dikandungnya. Contoh : Jika kita menyuruh tukang memperbaiki asbes atap rumah yg runtuh, maka yg dimaksud bukan hanya asbes saja, tetapi kayu-kayu asbes yg melekat dan kebetulan sudah patah pun harus diganti. Asbes dengan kayu yang menjadi tulangnya terkait amat erat (iltizam)
PENGERTIAN BERFIKIR
            Pada hakikatnya manusia adalah makhluk berfikir, bernalar, beremosi, bersikap, dan beramal. Sikap dan pengalaman manusia berasal dari pengetahuannya melalui aktivitas berpikir. Berpikir merupakan tanggapan atas realitas atau fakta yg dialami manusia melalui panca inderanya. Aktivitas berfikir manusia berguna untuk menghasilkan pengetahuan yg benar, ilmiah, dan tepat sebagai landasan penemuan kebenaran.

PENGERTIAN BERFIKIR
§      Berfikir adalah kegiatan akal untuk “mengolah” pengetahuan yg telah kita terima melalui indra, dan ditunjukkan unt mencapai kebenaran.
§      Menurut Plato dan Aristoteles, berfikir adalah “bicara dengan dirinya sendiri didalam batin” yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunukkan alasan”, menarik kesimpulan, meneliti suatu jaln pikiran, mencari berbagai hal yang berhubungan satu dengan yg lain, mengapa atau untuk apa sesuatu terjadi, serta membahas suatu realitas. ( Poespoprodjo&Gilarso, 1999:13)
§      Berpikir adalah suatu proses mental dalam membuat reaksi, baik terhadap benda, tempat, orang, maupun peristiwa. ( Burhanuddin Salam, 1997:141 )
§      Berfikir adalah aksi ( act ) yang menyebabkan fikiran mendapatkan pengertian baru dg perantaraan hal yg sudah diketahui. Yg beraksi disini bukan hanya budi atau akal,namun seluruh manusia (The Whole Man ) yaitu dorongan” yg ada pd manusia yg sering kali mempengaruhi jalan fikiran manusia atau isi fikiran. ( Poespoprodjo, 1999:178 )
§      Menurut M. Ngalim, MP, berfikir adalah suatu keaktifan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan.
§      Menurut Psikologi Gestalt, berfikir adalah keaktifan psikis yang abstrak, yang prosesnya tidak dapat kita amati dengan alat indra.
§      Berfikir merupakan pembentukan ide, pembentukan semua pengalaman dan penyusunan maklumat dalam bentuk tertentu.
§      Berfikir adalah gejala jiwa yang dapat menetapkan hubungan-hubungan antara pengetahuan-pengetahuan kita. Berfikir merupakan suatu proses dialektis, artinya selam kita berfikir, fikiran kita mengadakan tanya jawab pikiran kita. Untuk dapat meletakkan hubungan-hubungan antara pengetahuan kita dengan tepat.( no.4-8 Evi Yuni Imaroh,www.google.co.id )
Proses Berfikir
1.      Pembentukan pengertian. Artinya dari suatu masalah,fikiran kita membuang ciri” tambahan, sehingga tinggal ciri-ciri yang tipis (yg tidak boleh tidak ada ) pada masalah itu. Misalnya, aku menangkap apa arti 'aku','mobil','membeli' dsb. Mengerti kenyataan (misalnya aku menangkap apa itu mobil ) dan membentuk pengertian” atas dasar pengetahuan keindraan dg melihat fisik mobil dll.
2.      Pembentukan pendapat dan keputusan. Artinya fikiran kita menggabungkan atau menceraikan beberapa pengertian, yg menjadi tanda khas dari masalah itu. Menyatakan hubungan yg ada antara pengertian” yg telah ditangkap itu, dengan mengatakan bahwa masalah itu 'demikian‘ (S=P) atau memisahkan / memungkiri dg mengatakan 'ini tidaklah demikian' (S#P). Misalnya, mobil itu mahal, mobil itu tidak murah. Pernyataan ini disebut putusan, dan biasanya dlm bentuk kalimat berita.
3.      Pembentukan kesimpulan. Artinya fikiran kita menarik keputusan dari keputusan-keputusan yg lain. Menghubungkan berbgai hal yg diketahui sedemikian rupa sehingga kita sampai pd kesimpulan. Jalan fikiran seperti ini tidak perlu diucapkan dg kata-kata, namun dipikirkan dalam batin. Tetapi dalam berfikir itu, kita mesti mempergunakan kata-kata ( pengertian-pengertian atau konsep ). dan apabila ingin disampaikan dg orang lain (komunikasi), isi pikiran itu harus dikatakan atau dilahirkan dlm kata” (bahasa), istilah (term) atau yang lain.
Aspek-aspek Proses Berfikir
         Pengetahuan (apa yang anda tahu tentang objek itu )
         Kemahiran kognitif (menyoal diri sendiri tentang objek itu)
         Sikap dan nilai (keinginan untuk mengetahui objek itu )
Komponen Berfikir Manusia
         Adanya fakta (waqi')
         Adanya panca indera (hawas)
         Adanya otak (ad-dimagh)
         Adanya pemahaman (ma'lumat as sabiqah)
Tingkatan Proses Berfikir
         Suthi (dangkal), adalah proses berfikir yg hanya melihat fakta saja.
         'Amiq (mendalam), adalah proses berfikir yang mendalami secara detail tentang fakta yg sedang terjadi.
         Mustaniir (mendalam), adalah proses berfikir yg bisa membahas sesuatu yg terjadi di balik fakta.
Asas-Asas Berfikir
            Asas berfikir adalah pengetahuan dari mana pengetahuan yang lain tergantung dan dimengerti. Juga bisa dikatakan pengetahuan yang menunjukkan mengapa pada umumnya kita dapat menarik kesimpulan.Asas-asas berfikir dibagi menjadi dua :
            1. Asas-asas primer
         Asas identitas (principium identitatis = qanun zatiyah) atau law of identity, yaitu kaidah berfikir yg menyatakan bahwa sesuatu hanya sama dengan sesuatu itu sendiri. Jika sesuatu itu p maka p itu identik dengan p atau p adalah p. Dapat dikatakan ,”jika p maka p dan tetap p”.A
         Asas kontradiksi (principium contradictionis = qanun tanaqud) atau law of contradiction, yaitu kaidah berfikir yang menyatakan bahwa tidak mungkin sesuatu pada waktu yang sama adalah “sesuatu itu dan bukan sesuatu itu”. Artinya mustahil ada sesuatu hal yang bersamaan saling bertentangan. Sir William Hamilton menyebutnya “hukum tanpa pertentangan”. Tidak mungkin p dalam waktu yang bersamaan adalah p dan bukan p.
         Asas penyisihan kemungkinan yng ketiga (principium exclusi tertii = qanun imtina')atau law of excluded middle, yaitu kaidah yg menjelaskan bahwa kemungkinan yg ketiga itu tidak ada. Apabila terdapat dua proposisi yg kontradiksionis yg satu merobohkan yg lain, pastilah salah satu diantaranya itu salah.
         Asas alasan yg mencukupi (principium rationis sufficientis) atau law of sufficient reason
Menyatakan bahwa jika perubahan terjadi pada sst, maka perubahan itu perubahan itu haruslah memiliki alasan yg cukup. Jadi tidak ada perubahan yang terjadi begitu saja tanpa alasan yg memadai sebagai penyebab perubahan itu.
  1. Asas-asas sekunder
           
            Dari sudut isinya
         Asas kesesuaian (principium convenientiae), menyatakan bahwa ada dua hal yang sama, hal yang lain itu sama dengan hal yang ketiga. Contohnya, jika S=M dan M=P maka S=P (dengan catatan bahwa S dan P disini dihubungkan satu sama lain dengan satu M )
         Asas ketidaksesuaian (principium inconvenientiae), menyatakan bahwa ada dua hal yg sama tetapi salah satu diantaranya tidak sama dg hal yg ketiga. Dengan demikian hal yg lain itu juga tidak sama dg yg ketiga tadi. Contohnya, jika A=B tetapi B#C maka A#C
            Dari sudut luasnya
         Asas dikatakan tentang semua (principium dictum de omni). Apa yg secara universal diterapakan pd seluruh lingkungan suatu pengertian (subyek) juga tidak boleh diterapkan pada bawahannya.
         Asas tidak dikatakan tentang manapun juga (principium dictum de nullo). Apa yang secara universal tidak dapat diterapkan pada suatu pengertian (subyek) juga tidak dapat diterapkan pada semua bawahannya.
Syarat Berfikir Benar dan Ilmiah
  1. Pemikiran harus berpangkal dari kenyataan atau titik pangkalnya hrs benar. Suatu pemikiran, meskipun jalan pikirannya “logis”, bila tidak berpangkal dari kenyataan yg benar, tentu tidak akan menghasilkan kesimpulan yg benar. Conth : Kalau hujan lebat, memang bisa benar bahwa saya tidak akan masuk kuliah. Ini memang hubungan yg logis, tapi jk dlm kenyataan tidak terjadi hujan lebat, maka saya tidak akan masuk kuliah, jelas tidak disebabkan oleh hujan lebat. Kalau titik pangkal suatu pemikiran tidak pasti, maka kesimpulan yg ditarik juga tidak akan pasti, bahkan salah.
  2. Alasan-alasan yg diajukan harus tepat dan kuat. Sering kali, ssorang mengajukan pernyataan tidak didukung oleh alasan”, bahkan merasa yakin dlm menarik kesimpulan, padahal ia tidak memiliki cukup alasan atau alasannya tidak kuat serta tidak membuktikan apa”. Memang ada bbrp hal yg dpt dibuktikan dgn menunjukkan fakata. Tapi banyak hal yg hanya dpt dibuktikan dgn pemikiran secara logis, sehingga perlunya dimasukannya alasan.
  1. Jalan pikiran harus logis atau lurus. Jalan pikiran itu mengenai pertalian atau hubungan antara titik pangkal atau alasan / premis dan kesimpulan yang ditarik darinya. Jika hubungan tersebut tepat dan logis maka kesimpulannya disebut “sah”(valid). Contoh : Kesimpulan salah, jalan pikirannya logis,titik pangkalnya salah.Semua orang berambut gondrong itu penjahat.Nah para penjahat harus dihukumJadi semua orang yang berambut bergondrong harus dihukum. (Poespoprodjo & Gilarso, 1999:20)

LAFAZH
Oleh : Nur Mukhlish Z. M.Ag.
Pengertian
            Lafadz dalam bahasa arab, adalah kata-kata dalam bahasa Indonesia. Lafadz adalah satu nama yang diberikan pada rangkaian huruf abjad atau susunan beberapa huruf yg mempunyai arti. Jika lafadz tidak mempunyai arti maka rangkaian huruf itu tidak dapat disebut sebagai lafadz.
Pembagian Lafazh
1. lafazh Mufrad (مفرد )
            Lafazh mufrad terdiri dari dua kata yaitu, lafazh dan Mufrad. lafazh artinya kata-kata, sedangkan Mufrad artinya satu kata. Dlam istilah ilmu mantiq, lafazh adalah kata-kata yang tidak mempunyai bagian yang masing-masing bagian itu menunjuk kepada makna yang dikandungnya sendiri.      
Berdasarkan bagian-bagian katanya lafazh mufrad terbagi :
  1. Lafazh yang tidak mempunyai suku kata sama sekali, misalnya lafazh yang terdiri dari satu huruf.  Contoh Wa artinya dan (bahasa Arab). U artinya kelapa (bahasa Aceh). I artinya air (bahasa Aceh). Wa artinya dan (bahasa Arab)
  2. Lafazh yang mempunyai bagian kata (huruf), tetapi jika dipisahkan, bagian itu tidak mempunyai arti sama sekali. Contoh : Huruf Sho pada lafazh Shomadun (bahasa Arab). Huruf Ba pada lafazh Baabun (bahasa Arab)
  1. Lafazh yang mempunyai bagian kata dan masing-masing bagian itu mempunyai arti sendiri. Rangkaian kata seperti ini dalam bahasa Arab disebut Mudhaf dan Mudhaf ilaih. Contohnya : عبد الله (Abdullah), هرير  ابو (Abu Hurairah) tidak diartikan bapak kucing, tetapi nama seseorang bernama Abu Hurairah. 
  2. Lafazh yang mempunyai bagian-bagianó yang masing masing mempunyai arti sendiri. Contoh : نَاطِق حَيَوَانٌ  masing – masing kata ini mengandung arti sendiri yaitu, tetapi yang dimaksudkan adalah satu yaitu Insan.
Pembagian Lafazh Mufrad
1.      Isim ; adalah lafazh (kata-kata) yang mempunyai arti sendiri tanpa terikat dengan waktu, seperti: masjid, madrasah, rumah, gunung dan sebagainya.
2.      Fi’il adalah lafazh (kata-kata) yang mempunyai artis sendiri yang terikat dengan waktu. Seperti : dzahaba =sudah pergi, Yadzhabu = sedang pergi dll.
3.      Adat adalah (menurut ilmu Nahwu) = harf seperti Bi, Min, wa, ila dll.
Pembagian Isim
            Dilihat dari segi Mafhum (konsep yang dikandungnya), isim terbagi ;
1.      Kulli (isim kulli) adalah lafazh mufrad yg ketika disebutkan lantas menunjukkan kepada semua arti atau maknanya. Contoh : Ketika menyebutkan Nahr (sungai), maka semua sungai terkena Nahr. Ketika menyebut rumah, maka semua rumah terkena oleh kata rumah tersebut.
2.      Juz’i (isim juz’i) adalah lafazh mufrad yg ketika disebutkan lantas menunjukkan kpd satu bagian saja dari kesluruhan makna yg terkandung oleh lafzh kulli. Contoh ketika menyebut Nahr maka semua sungai akan terkena nahr di dalamnya. tetapi ketika menyebut Nahr Nil, maka kata ini akan berubah menjadi Juz’i, karena yg terkena hanya satu bagian saja.


Pembagian Kulli dan Juz’i
            Kulli dan Juz’i dilihat dari pengertiannya : 
§      Kulli artinya menetapkan suatu ketentuan (hukum) atas sesuatu secara menyeluruh. Contoh : Orang kampung itu memindahkan sebuah rumah. maksudnya bahwa smua orang kampung itu secara masing-masing memindahkan seluruh isi rumah. Ada yang membawa piring, lemari dan lain-lain.
§      Kulliyat artinya menetapkan suatu ketentuan atas sesuatu secara satu persatu. Contoh : Orang kampung itu memindahkan sebuah rumah. Maksudnya semua orang kampung itu (kulli) secara bersam-sama memindahkan sebuah rumah, bukan bagian-bagiannya.
Juz’i dan Juz’iyat
§      Juz’i artinya menetapkan sesuatu ketentuan (hukum) atas sebagian secara keseluruhan dari yg sebagian itu. Contoh : sebagian orang kampung itu mengangkat lemari besar dari sebuah gedung. Maksudnya sebagian orang kampung secar bersama-sama mengangkat sebuah lemari besar dari sebuah gedung.
§      Juz’iyat artinya menetapkan sesuatu ketentuan (hukum) atas sebagian secara masing-masing dari yg sebagian itu. Contoh : sebagian orang kampung itu masing-masing memindahkan isi lemari besar dari sebuah gedung. Maksudnya sebagian orang kampung secara bersama-sama mengangkat sebuah lemari besar dari sebuah gedung.
Bagian Isim
§      Muhashal adalah lafazh mufrad yang menunjuk kepada suatu benda yang ada atau suatu sifat yang ada. Contoh :  1) Kota, sungai, neraka, surga. (suatu yang ada) 2) Alot, dermawan, sombong. (sifat yang ada)
§      Ma’dul adalah Lafazh mufrad yang menunjuk kepada ketidakadaan sesuatu atau ketidakadaan sifat (kebalikan Muhashal). Contoh : 1) Bukan kota, bukan Jakarta, tidak neraka (ketidakadaan benda) ; 2) Tidak pelit, tidak sombong, tidak jujur (ketidakadaan sifat)
§      ‘Adami adalah lafazh mufrad yang menunjuk kepada ketidakadaan sifat yang lazimnya ada. Contoh : 1) Buta menunjuk kepada pengertian tidak melihat, padahal melihat adalah suatu sifat yang lazimnya ada pada manusia ataupun hewan ; 2) Tuli menunjuk kepada pengertian tidak mendengar, padahal mendengar adalah salah satu sifat yang lazimnya ada pada hewan dan manusia.
2. Lafazh Murakkab (مركب)
            Lafazh murakkab terdiri dari dua kata yaitu Lafazh dan Murakkab. Lafzah artinya kata-kata dan murakkab artinya disusun atau dirangkai. Jadi, lafazh murakkab artinya kata-kata yang disusun atau dirangkai baik dari 2, 3, 4, ataupun lebih dari itu.
Pembagian Lafazh Murakkab
1.      Lafazh Murakkab Tam, adalah kata-kata yang dirangkai atau disusun sedemikian rupa sehingga memberi pengertian yang lengkap. Dalam bahasa Indonesia, murakkab tam disebut kalimat efektif atau kalimat sempurna. Contoh :
         Drs. H. Humam adalah Bapak Dosen Ilmu Pendidikan Islam STIT al-Muslihuun Tlogo Blitar.
         Ahmad adalah Bapak Guru MI Safinatun Najah
Gedung MAN Tlogo
2.  Lafazh Murakkab Naqish, adalah rangkaian kata yang belum memberikan pengertian efektif atau sempurna (kalimat gantung). Contoh :
        Orang sombong itu
        Seorang pemulung
        Pujaan hati
Pembagian Murakab Tam
1. Murakkab Khabari, adalah murakkab tam yang isinya mungkin benar dan mungkin juga salah (mengandung keraguan). Contoh :
        Nanas itu sejenis buah-buahan
        Presiden AS datang ke Indonesia
2. Murakkab Insya’i, adalah murakkab tam yang tidak mungkin benar dan tidak mungkin pula salah. Contoh :
        Pergilah ke luar negeri untuk menambah pengalaman (amr).
        Jangan lekas putus asa dalam menghadapi lenyataan (nahyi).
        Apakah anda telah melaksanakan kewajiban dengan baik (istifham).
Mafhum dan Mashadaq
§      Pengertian lafazh kulli selalu memberi dua dilalah (petunjuk). Dilalah pertama menunjuk kepada konsep atau pengertian dan dilalah kedua menunjuk kepada yang terkena atau yg dikenai konsep atau pengertian tadi.
Lafazh insan, misalnya, memberi dua dilalah. Pertama, adalah dilalah konsep atau pengertiannya, yaitu bahwa insan adlh hayawanun natiq. Dilalah yg pertama ini dlm ilmu mantiq disebut mafhum. Kedua dilalah kpd diri insan atau yg terkena oleh lafazh insan, yaitu manusia yg sudah milyaran di permukaan bumi. Dilalah yg kedua ini dlm ilmu mantik disebut al mashadaq (benda yg ada dlm realita yg dikenai lafadz).
§      Semakin betambah mafhum (konsep) lafazh kulli semakin sedikit memberi al-mashadaqnya. Sebaliknya, semakin sedikit penambahan mafhum kepada lafazh kulli semakin banyak mashadaq-nya.
Perbandingan Antara Lafadz Kulli dengan Artinya
1.  Lafazh Mutawathi’. adalah lafazh kulli yg mempunyai makna banyak atau mafhum-nya satu mashadaq-nya banyak. Contoh : Insan, Hewan, tumbuh-tumbuhan
            Lafazh insan mempunyai makna : Hindun, Fathimah,Maimun, Malin, Agung, Karsum, Iyan, dan lain-lainnya. Hakikat dari nama-nama itu sama dalam hal manusia. Mereka hanya berada dalam jenis dan sifat-sifat saja. Demikian juga lafazh hewan, dapat mengandung arti kambing, unta, sapi, burung, dan lain-lain. Lafazh tumbuh-tumbuhan dapat berupa sawi, kurma, anggur, wortel, kacang, dan lain-lain.
2.  Lafazh Musyakkik, adalah lafazh kuli yang kualitas artinya berbeda. Artinya, lafazh musyakkik itu satu, tetapi kualitasnya berbeda. Contoh : Putih, tinggi, besar.
            Lafazh putih mempunyai arti bisa sangat putih, kurang putih, sedikit putih, atau putih sedang. Lafazh tinggi bisa sangat tinggi, kurang tinggi, dan seterusnya. Demikian juga halnya dengan lafazh besar, bisa sangat besar, kurang besar, dan seterusnya.
3.  Lafazh Mutabayyin (sama dengan perbandingan tabayun) adalah dua lafazh yang bacaanya berbeda dan artinya berlainan. Contoh :
        Insan, Ardh, sama’ (bahasa Arab : manusia, binatang, langit)
        Kuda, kambing, rambutan, kelapa, (bahasa Indonesia)
Lafazh-lafazh itu memperlihatkan perbedaan dari segi mafhum dan mashadaq-nya. 
Dengan kata lain lafazhnya berbeda dan artinya pun berlainan. Lafazh jenis ini adalah yang terbanyak
4.  Lafazh Muradif (sama dengan perbandingan taraduf) adalah dua kata atau lebih lafazh yang berbeda, tetapi mengandung arti sama. Contoh :
        Nar dengan Sa’ir (neraka)
        Jannah dengan ‘Addn (surga)
        Arloji dengan Jam Tangan
5. Lafazh Musytarak, adalah lafazh kulli yang mempunyai lebih dari satu arti. Contoh :
        ‘Ain, nar, jannah (bahasa Arab)
        Lagu, saran, ribut (bahasa Indonesia )
            ‘Ain (bahasa Arab) bisa mengandung arti mata dan mata air. Nar bisa mengandung arti api dan neraka. Jannah bisa mengandung arti kebun dan syurga.
            Lagu (bahasa Indonesia) bisa mengandung arti ragam suara, nyanyi, tigkah laku.
            Saran (bahasa Indonesia)bisa mengandung arti pendapat, anjuran, propaganda.
            Ribut (bahasa Indonesia) bisa mengandung arti sibuk, gaduh, kencang.
TA’RIF
Pengertian
§      secara lughawi berarti memperkenalkan, memberitahukan sampai jelas dan terang mengenai sesuatu.
§      Dlm ilmu mantiq, ta’rif adalah teknik menerangkan baik dengan tulisan maupun lisan, yang dengannya diperoleh pemahaman yang jelas tentang sesuatu yang diterangkan/diperkenalkan.
§      Dalam bahasa Indonesia, ta’rif tersebut dapat diungkapkan dengan perbatasan atau difinisi.
§      Dalam ilmi mantiq, ta’rif berperan amat besar, karena istidlal (penarikan kesimpulan) yang merupakan tujuannya yang paling fundamental, tergantung amat erat kepada jelasnya ta’rif lafazh yang dipakai untuk menyusun qadhiyah-qadhiyah (kalimat-kalimat) yang darinya ditarik natijah (kesimpulan). Jika ta’rif lafaz tidak jelas, maka kesimpulan yang dihasilkan mungkin sekali keliru atau salah.
Pembagian Ta’rif
1.      Ta’rif Had, adalah ta’rif yang menggunakan rangkaian lafazh kulli jins dan fashl. Contoh :
Insan adalah hewan yang berfikir.
Hewan adalah jins dan berpikir adalah fashl bagi manusia.

Ta’rif had terbagi ke dalam dua bagian :
a.    Ta’rif had tam adalah ta’rif dengan menggunakan lafazh jins qarib dan fashl. Contoh : Insan adalah hewan yang dapat berpikir. Hewan adalah jins qarib (dekat) kepada insan karena tidak ada lagi jins di bawahnya. Artinya, di bawah hewan tidak ada lagi lafazh kulli yang terkategori jins, kecuali insan yang terkategori nau’. sedang dapat berpikir adalh fashl.
b.   Ta’rif had naqish adalah ta’rif yang : (1) menggunakan jins ba’id dan fashl, atau (2) menggunakan fashl qarib saja. Contoh (1) : Insan adalah jism (tubuh) yang dapat berfikir. jism adalah jins ba’id bagi insan dan dapat berfikir adalah fashl baginya.
            Contoh (2) : Insan adalah yang dapat berpikir (tanpa menyebutkan jins).
2.      Ta’rif Rasmadalah ta’rif yang menggunakan jins dan ‘irdhi khas. Contoh : Insan adalah hewan yang bisa tertawa. Hewan adalah jins dan tertawa adalah ‘irdhi khas (sifat khusus) manusia.

            Ta’rif rasm terbagi ke dalam dua bagian
a.    Ta’rif rasm tam adalah ta’rif definisi yang menggunakan lafazh jins qarib dan fashl. Contoh : Insan adalah insan yang dapat tertawa. Hewan adalah jins qarib bagi insan. Sedangkan tertawa adalah ‘irdhi khas baginya.
b.   Ta’rif rasm naqish adalah ta’rif yang menggunakan (1) lafazh jins ba’id dengan ‘irdhi khas, atau (2) menggunakan lafazh ‘irdhi khas saja.
        Contoh (1): Insan adalah jisim yang bisa ketawa.
        Contoh (2): Insan adalah yang ketawa
3.      Ta’rif dengan Lafadz, adalah ta’rif yang menggunakan lafazh lain yang sama artinya saja. Contoh : Tepung adalah terigu  Insan adalah manusia
4.      Ta’rif dengan Mitsal, adalah ta’rif dengan memberikan contoh (mitsal). Contoh : Lafazh kulli adalah insan. Lafazh juz’i adalah seperti Muhammad, Karsum, Agung, Kosraman
Syarat-syarat Ta’rif
            Ta’rif menjadi benar dan dapat diterima, jika syarat-syaratnya terpenuhi :
         Ta’rif harus jami’ mani’ : ta’rif tidak boleh lebih umum atau lebih khusus dari yang dita’rifkan. Contoh : manusia adalah hewan yg dapat membaca
         Ta’rif harus lebih jelas dan mudah diterima akal. Jadi ta’rif tidak boleh sama samarnya atau lebih samar dari yang dita’rifkan. Contoh : Mertua adalah nenek dari anak isteri
         Ta’rif harus sama pengertiannya dengan yang dita’rifkan.
         Ta’rif tidak boleh berputar-putar (daur)
         Ta’rif tidak boleh memakai kata-kata majaz (kiasan atau metaforik). Contoh : Pahlawan adalah singa yang gugur. Menta’rifi ulama dengan samudra.
         Tidak boleh mengandung lafadz yang ghaib
         Tidak boleh menyalahi aturan bahasa
         Ta’rif tidak boleh menggunakan kata-kata musytarak (mempunyai lebih dari satu arti). Contoh : Arloji adalah pukul yang dipakai di tangan . Pukul dalam ta’rif tersebut mempunyai dua arti, yaitu jam dan pukulan. Oleh karenanya, ta’rif itu tidak benar. Ia akan menjadi benar jika disempurnakan dengan qarinah, yang memberi petunjuk kepada makna yang dimaksudkan. Contoh : Arloji adalah pukul yang dipakai di tangan untuk mengetahui waktu (pukul berapa sekarang ?).
ISTIDLAL DAN QIYAS
Nur Mukhlish Zakariya
PENGERTIAN ISTIDLAL
         Istidlal scr lughawi : mencari dalil (petunjuk), keterangan, indikator atau petunjuk sehingga dpt diperoleh suatu pengertian atau kesimpulan
         Scr terminologi : berpindahnya pikiran, dg teknik tertentu, dari sst yg sudah diketahui kpd sst yg belum dketahui sehingga yg blm diketahui itu dpt diketahui. Atau dg kata lain sst yg dpt dipakai unt membangun argumentasi unt menyampaikan satu kesimpulan
Contoh :
         Bahwa adanya api dibalik tembok adalah adanya dalil adanya asap yg mengepul di atasnya.
         A = B, B = C, kesimpilannya A = C
         Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar, maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan menghasilkan qadhiyyah yang lain (baru).
         Manusia disaat ingin mengetahui hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk mengetahuinya :
        Pengetahuan dari juz'i ke juz'i yang lain. Argumenatsi ini sifatnya horisontal, dari sebuah titik yang parsial ke titik parsial lainnya. Argumentasi ini disebut tamtsil(analogi).
        Pengetahuan dari juz'i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari khusus ke umum (menggeneralisasi yang parsial) Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut istiqra'(induksi).
        Pengetahuan dari kulli ke juz'i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus. Argumentasi ini disebut qiyas (silogisme).
Qiyas atau Silogisme
            Silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme disusun dari dua proposisi (pernyataan) dan sebuah konklusi (kesimpulan).
Pembagian Istidlal
         Istidlal Qiyasi : upaya akal pikir unt memahami sst yg belum diketahui melalui yg sudah diketahui dg menggunakan kaidah-kaidah berfikir yg telah diterima kbenarannya
         Istidlal istiqra’i : penarikan kesimpulan scr induktif
Macam-macam Qiyas
            Qiyas dibagi menjadi dua; iqtirani (silogisme kategoris) dan istitsna'i (silogisme hipotesis). Sesuai dengan definisi qiyas, satu qadhiyyah atau beberapa qadhiyyah yang tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhiyyah baru. Jadi untuk memberikan hasil (konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling berkaitan. Dan itulah yang namanya qiyas.
1. Qiyas Iqtirani
            Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu' dan mahmul natijahnya berada secara terpisah pada dua muqaddimah. Contoh: "Kunci itu besi" dan "setiap besi akan memuai jika dipanaskan", maka "kunci itu akan memuai jika dipanaskan". Qiyas ini terdiri dari tigaqadhiyyah; [1] Kunci itu besi, [2] setiap besi akan memuai jika dipanaskan dan [3] kunci itu akan memuai jika dipanaskan.
            Qadhiyyah pertama disebut muqaddimah shugra (premis minor), qadhiyyah kedua disebut muqaddimah kubra (premis mayor) dan yg ketiga adalah natijah (konklusi).
Natijah merupakan gabungan dari mawdhu' dan mahmul yg sudah tercantum pd duamuqaddimah, yakni, "kunci" (mawdhu') dan "akan memuai jika dipanaskan" (mahmul). Sedangkan "besi" sebagai had awshat.
Yg paling berperan dlm qiyas adlh penghubung antara mawdhu' muqadimah shugra dgmahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu disebut had awsath. Had awsath harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak tecantum dalam natijah.
Empat Bentuk Qiyas Iqtirani
            Qiyas iqtirani kalau dilihat dari letak kedudukan had awsath-nya pada muqaddimah shugra dan kubra mempunyai empat bentuk :
1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra. Misalnya, "Setiap Nabi itu makshum", dan "setiap orang makshum adalah teladan yang baik", maka "setiap nabi adalah teladan yang baik". "Makshum" adalah had awsath, yang menjadi mahmul pada muqaddimah shugradan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra.
Syarat-syarat syakl awwal.
Syakl awwal akan menghasilkan natijah yang badihi (jelas dan pasti) jika memenuhi dua syarat berikut ini:
        Muqaddimah shugra harus mujabah.
        Muqaddimah kubra harus kulliyah.
2. Syakl Kedua adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mahmul pada keduamuqaddimah-nya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "tidak satupun pendosa itu makshum", maka "tidak satupun dari nabi itu pendosa".
Syarat-syarat syakl kedua.
        Kedua muqaddimah harus berbeda dalam kualitasnya (kaif, yakni mujabah dan salibah).
        Muqaddimah kubra harus kulliyyah.
3. Syakl Ketiga adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mawdhu' pada keduamuqaddimahnya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "sebagian nabi adalah imam", maka "sebagian orang makshum adalah imam". Syarat-syarat Syakl ketiga.
        Muqaddimah sughra harus mujabah.
        Salah satu dari kedua muqaddimah harus kulliyyah.
4. Syakal Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi mawdhu' pada muqaddimah shugra dan menjadi mahmul pada muqaddimah kubra (kebalikan dari syakl awwal.)
Syarat-syarat Syakl keempat.
        Kedua muqaddimahnya harus mujabah.
        Muqaddimah shugra harus kulliyyah. Atau
        Kedua muqaddimahnya harus berbeda kualitasnya (kaif)
        Salah satu dari keduanya harus kulliyyah.
Contoh – Contoh
            Semua Tanaman membutuhkan air (premis mayor)
...................M.................P
Akasia adalah Tanaman (premis minor)
....S..........................M
Akasia membutuhkan air (konklusi)
....S.................P
(S = Subjek, P = Predikat, dan M = Middle term)

Hukum-hukum Silogisme Katagoris
            Apabila dalam satu premis partikular, kesimpulan harus partikular juga, seperti:
Semua yang halal dimakan menyehatkan
Sebagian makanan tidak menyehatkan,
Jadi Sebagian makanan tidak halal dimakan
(Kesimpulan tidak boleh : Semua makanan tidak halal
dimakan).
         Apabila salah satu premis negatif, kesimpulan harus juga negatif, seperti:
Semua koruptor tidak disenangi.
Sebagian pejabat adalah koruptor, jadi
Sebagian pejabat tidak disenangi.
(Kesimpulan tidak boleh : Sebagian pejabat disenangi)
         Dari dua premis yang sama-sama partikular tidak sah diambil kesimpulan, seperti :
            Beberapa politikus tidak jujur.
Banyak cendekiawan adalah politikus, jadi:
Banyak cendekiawan tidak jujur.
Kesimpulan yang diturunkan dari premis partikular tidak pernah menghasilkan kebenaran yang pasti, oleh karena itu kesimpulan seperti :
Sebagian besar pelaut dapat menganyam tali secara baik.
Hasan adalah pelaut, jadi : kemungkinan besar Hasan dapat menganyam tali secara baik adalah tidak sah.
Sembilan puluh persen pedagang pasar Johar jujur. Qomar adalah pedagang pasar Johar, jadi: Sembilan puluh persen Qumar adalah jujur
Ketentuan
1) Dari dua premis yang sama-sama negatit, lidak menp kesimpulan apa pun, karena tidak ada mata rantai ya hubungkan kedua proposisi premisnya. Kesimpul diambil bila sedikitnya salah satu premisnya positif. Kesimpulan yang ditarik dari dua premis negatif adalah tidak sah.
Kerbau bukan bunga mawar. Kucing bukan bunga mawar.
..... (Tidak ada kesimpulan) Tidak satu pun drama yang baik mudah dipertunjukk Tidak satu pun drama Shakespeare mudah dipertunjukn Jadi: Semua drama Shakespeare adalah baik. (Kesimpulan tidak sah)
2) Paling tidak salah satu dari term penengah harus : (mencakup). Dari dua premis yang term penengahnya tidak ten menghasilkan kesimpulan yang salah, seperti:
            Semua ikan berdarah dingin. Binatang ini berdarah dingin. Jadi: Binatang ini adalah ikan. (Padahal bisa juga binatang melata)
3) Term-predikat dlm kesimpulan harus konsisten dg term predikat yg ada pada premisnya. Bila tidak, kesimpulan menjadi salah, seperti : Kerbau adalah binatang. Kambing bukan kerbau. Jadi: Kambing bukan binatang.
('Binatang' pd konklusi merupakan term negatif sedangkan pd premis adlh positif)
4) Term penengah harus bermakna sama, baik dlm premis mayor maupun premis minor. Bila term penengah bermakna mka kesimpulan menjadi lain, seperti :
Bulan itu bersinar di langit. Januari adalah bulan. Jadi : Januari bersinar di langit.
(Bulan pada premis minor adalah nama dari ukuran waktu
yang panjangnya 31 hari, sedangkan pada premis mayor
berarti planet yang mengelilingi bumi).
5) Silogisme harus terdiri tiga term, yaitu term subjek, predkat, dan term menengah (middle term), begitu juga jika terdiri dari dua atau lebih dari tiga term tidak bisa diturunkan konklusinya.
Absah dan Benar
         Dalam membicarakan silogisme mengenal dua istilah yaitu absah dan benar.
         Absah (valid) berkaitan dg prosedur penyimpln apakah pengambilan konklusi sesuai dg patokan atau tidak. Dikatakan valid apabila sesuai dengan patokan di atas dan dan tidak valid bila sebaliknya.
         Benar berkaitan dengan proposisi dalam silogisme itu, baik didukung atau sesuai dengan fakta atau tidak. Bila sesuai fakta, proposisi itu benar, bila tidak ia salah.
         Keabsahan dan kebenaran dalam silogisme merupakan satuan yg tidak bisa dipisahkan, untuk mendapatkan yg sah dan benar. Hanya konklusi dari premis yg benar prosedur yg sah konklusi itu dapat diakui. Mengapa demikian, karena bisa terjadi: dari premis salah dan prosedur valid menghasilkan konklusi yg benar, demikian juga dari premis salah dan prosedur invalid dihasilkan konklusi benar.
Variasi-variasinya
1.      Prosedur valid, premis salah dan konklusi benar.
Semua yang baik itu haram. (salah)
Semua yang memabukkan itu baik. (salah)
Jadi: Semua yang memabukkan itu haram. (benar)
2.      Prosedur invalid (tak sah) premis benar konklusi salah
Plato adalah filosof. (benar)
Aristoteles bukan Plato. (benar)
Jadi: Aristoteles bukan filosof (salah)
3.      Prosedur invalid, premis salah konklusi benar.
Sebagian politikus adalah tetumbuhan. (salah)
Sebagian manusia adalah tetumbuhan. (salah)
Jadi: Sebagian manusia adalah politikus (benar)
4.      Prosedur valid premis salah dan konklusi salah.
Semua yang keras tidak berguna. (salah)
Adonan roti adalah keras. (salah)
Jadi: Adonan roti tidak berguna (salah)
2. Qiyas Istisna'i
         Qiyas ini terbentuk dari qadhiyyah syarthiyyah dan qadhiyyah hamliyyah. Misalnya, "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Oleh karena dia mempunyai mukjizat, berarti dia utusan Allah".
         Penjelasannya: "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat" adalahqadhiyyah syarthiyyah yang terdiri dari muqaddam dan tali (lihat definisi qadhiyyah syarthiyyah), dan "Dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah hamliyyah. Sedangkan "maka dia mempunyai mukjizat" adalah natijah.
         Dinamakan istitsna'i karena terdapat kata " tetapi", atau "oleh karena".
Macam-Macam Qiyas istitsna'i (silogisme)
1.      Muqaddam positif dan tali positif. Misalnya, "Jika Muhammad utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat berarti Dia utusan Allah".
2.      Muqaddam negatif dan tali positif. Misalnya, "Jika Tuhan itu tidak satu, maka bumi ini akan hancur. Tetapi bumi tidak hancur, berarti Tuhan satu (tidak tidak satu)".
3.      Tali negatif dan muqaddam negatif. Misalnya, "Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai mukjizat. Tetapi dia mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan nabi)".
4.      Tali negatif dan muqaddam positif. Misalnya, "Jika Fir'aun itu Tuhan, maka dia tidak akan binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia bukan Tuhan".
Keterangan lain
1.      Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian anticedent, seperti:
Jika hujan, saya naik becak.
Sekarang hujan.
Jadi saya naik becak.
2.      Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagiar konsekuensinya, seperti:
Bila hujan, bumi akan basah.
Sekarang bumi telah basah.
Jadi hujan telah turun.
3.      Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari antecedent, seperti:
Jika politik pemerintah dilaksanakan dengan paksa, maka
kegelisahan akan timbul.
Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa, Jadi kegelisahan tidak akan timbul.
4.      Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya, seperti :
Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah Pihak penguasa tidak gelisah.
Jadi mahasiswa tidak turun ke jalanan.
Hukum Silogisme Hipotetis
         Mengambil konklusi dari silogisme hipotetis jauh lebih mudah dibanding dgsilogisme kategorik. Tetapi yg penting di sini adalah menentukan 'kebenaran konklusinya bila premis-premisnya merupakan pernyataan yg benar.
Bila anticedent dilambangkan dg A dan konsekuen dg B, jadwal hukum silogisme hipotetisnya adlh:
1)  Bila A terlaksana maka B juga terlaksana.
2)  Bila A tidak terlaksana maka B tidak terlaksana.           (tidak sah = salah)
3)  Bila B terlaksana, maka A terlaksana. (tidak sah           = salah)
4) Bila B tidak terlaksana maka A tidak terlaksana.
         Kebenaran hukum di atas menjadi jelas dg penyelidikan. Seperti : Bila terjadi peperangan harga bahan makanan membubung tinggi. Nah, peperangan terjadi. Jadi harga bahan makanan membubung tinggi.( benar = terlaksana)
Benar karena mempunyai hubungan yg diakui kebenarannya. Bila terjadi peperangan harga bahan makanan membubung tinggi
Nah, peperangan terjadi.
Jadi harga bahan makanan tidak membubung tinggi (tidak sah = salah)
Tidak sah karena kenaikan harga bahan makanan bisa disebabkan oleh sebab atau faktor lain.



PENGENALAN MANTIQ

Sepertimana yang kita semua ketahui, di dunia ini wujudnya pelbagai ilmu yang mana manusia bebas belajar dan mendalami ilmu tersebut tidak kiralah teori dan praktikalnya tetapi apa yang penting boleh membuatkan seseorang itu berilmu dan berpengetahuan. Antaranya ialah ilmu Matematik, ilmu Fizik dan Kimia, ilmu Wahyu dan ilmu Mantiq serta sebagainya. Pendek kata, semua subjek yang boleh didalami dan boleh menambahkan pengetahuan seseorang dianggap ilmu. Tetapi, di sini akan diketengahkan mengenai ilmu Mantiq yang sangat diperlukan semua manusia untuk membezakan di antara yang baik dan buruk.

Apabila diteliti tentang konsep keistimewaan dan kelebihan manusia berbanding makhluk lain ialah akal pemikiran. Berpandukan akal, manusia dapat mencari ilmu serta memandu mereka kearah yang baik dan menilai mana yang benar dan salah. Kesesatan manusia juga disebabkan mereka tidak menggunakan akal untuk tujuan yang baik. Lantaran itu, akal yang bersifat positif jika digunakan untuk kebaikan akan menjadikan seseorang itu mulia dan sekiranya pula diarahkan untuk tujuan negatif menyebabkan mereka binasa dan hina.

Akal ialah sesuatu sifat yang boleh membezakan di antara manusia dengan haiwan dan makhluk lain. Melalui akal, manusia mampu menerima segala ilmu yang berbentuk teori serta mampu untuk menyusun idea-idea. Akal dalam bentuk ini merupakan asas utama kepada fikiran manusia. Hakikat akal menurut pengertian ini dapat dijelaskan melalui sabda nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmizi. Maksudnya : Tidak ada satu ciptaan Allah yang lebih mulia di sisiNya selain akal.

Mantiq merupakan satu ilmu logik yang perlu menggunakan akal bagi membuat satu natijah atau keputusan dalam sesuatu permasalahan. Selain itu, ilmu tersebut juga dijadikan dalil untuk berhujah yang dikenali sebagai dalil Aqli iaitu yang melibatkan psikologi dan persekitaran seseorang individu itu dalam berfikir secara rasional dan profesional. Maka, jelaslah di sini bahawa Mantiq adalah satu ilmu yang bermanfaat yang boleh membezakan antara yang baik dan yang buruk. Demikianlah mengenai Mantiq.



PENGERTIAN ILMU MANTIQ

Pengertian ilmu Mantiq secara amnya terbahagi kepada dua, iaitu :
1 ) Pengertian Bahasa
2 ) Pengertian Istilah

Pengertian Bahasa
Mengikut pengertian bahasa, Mantiq bermaksud :
a. Perkataan Mantiq berasal daripada bahasa Yunani, iaitu ‘Logos’ yang bermaksud : kata atau fikiran yang benar.
b. Mengikut bahasa Arab ia berasal daripada perkataan ‘Natoqa’ yang bermaksud : berkata atau bercakap.
c. Manakala mengikut pengertian kamus bahasa Melayu dikenali dengan nama logik iaitu berfikir benar.

Pengertian Istilah
Mengikut istilah pula, Mantiq Klasik telah diberi dengan berbagai pengertian dan maksud oleh mereka yang pakar dalam ilmu Mantiq, antaranya ialah :
a. Ibn Sina mendefinisikan ilmu Mantiq ialah suatu ilmu yang mengawal pemikiran manusia daripada tersalah dan terpesong sewaktu berfikir. Dalam erti kata lain, beliau juga menakrifkan Mantiq sebagai suatu ilmu untuk mencari dalil dan bukti serta menjadi peraturan-peraturan kepada manusia ketika berfikir.
b. Imam al-Ghazali menakrifkan ilmu Mantiq sebagai suatu ilmu yang dapat membezakan di antara suatu ilmu yang membawa kea rah kebenaran dan keyakinan dengan ilmu yang membawa pemikiran kea rah kesamaran dan salah. Oleh itu, Mantiq menurut pendapat Imam al-Ghazali ialah ilmu yang membicarakan tentang peraturan-peraturan umum sewaktu berfikir dan sekaligus mengarahkan serta memandu akal pemikiran manusia kepada jalan yang benar dan mencapai matlamat yang betul. Dalam erti kata lain, Imam al-Ghazali mengatakan ilmu Mantiq adalah sebagai neraca segala ilmu atau Mizan al-‘llm.


c. Aristotle pula berpendapat, ilmu Mantiq merupakan suatu ilmu yang menjadi alat serta asas kepadailmu-ilmu lain.
d. Menurut Epicurus yang merupakan salah seorang daripada ahli Falsafah Jerman mengatakan ilmu Mantiq ialah sebuah kanun dan undang-undang berfikir.
e. Ibn Khaldun berpendapat Mantiq adalah satu peraturan dan undang-undang yang boleh menjelaskan antara pemikiran yang benar dengan pemikiran yang salah. Antara lain, Mantiq berfungsi untuk menjelaskan hakikat sesuatu.
f. Mantiq ialah suatu ilmu yang membahaskan tentang kaedah-kaedah umum supaya dapat menghasilkan pemikiran yang bernas.
g. Mantiq ialah ilmu yang membicarakan tentang keadaan dan kedudukan penyusunan lafaz-lafaz yang terbentuk dalam akal dan pemikiran manusia.
h. Mantiq ialah ilmu yang membahaskan pemikiran manusia secara umum, sama ada ia pemikiran yang benar atau salah.
i. Mantiq merupakan suatu pengibaratan yang membicarakan tentang kaedah-kaedah yang dapat memandu manusia ketika berfikir dan mereka melahirkan pemikiran bersesuaian dengan ucapan serta dapat menapis maklumat-maklumat yang diterima sama ada sah atau tidak sah.
j. Pengertian ilmu Mantiq sebagaimana yang diterima oleh majoriti ahli Mantiq ialah suatu ilmu yang menyelidik dan meneliti tentang peraturan dalam menyusun tanggapan akal serta gambaran pemikiran supaya melahirkannya dalam bentuk ucapan dan pelaksanaan yang benar dan tepat mengikut kehendak sebenar.



ASAL USUL ILMU MANTIQ

Nama Mantiq atau Logika pertama kali muncul pada Filsuf Cicero ( abad ke-1 sebelum Masihi ) tetapi dalam erti “ seni berdebat ”. Alexander Aphrodisias ( sekitar permulaan abad ke-3 sesudah Masihi ) adalah orang pertama yang menggunakan kata ‘Logika’ dalam definisi ilmu yang menyelidiki benar tidaknya pemikiran manusia. 

Yunani adalah negeri asal ilmu Mantiq atau Logika kerana banyak penduduknya yang mendapat kurniaan otak cerdas. Negeri Yunani, terutama Athens diakui menjadi sumber berbagai ilmu. Socrates, Plato, Aristotles dan banyak yang lainnya adalah tokoh-tokoh ilmuan kelas pertama dunia pada masa itu yang tidak ada ilmuan global tidak mengenalnya sampai sekarang dan akan datang. Tetapi, khusus untuk Logika atau ilmu Mantiq Aristotleslah yang menjadi guru utamanya.

Akan tetapi, meskipun Aristotles terkenal sebagai “Bapak Logika”, itu tidak bererti bahawa sebelum dia tidak ada Logika. Segala para ilmuan dan ahli falsafah sebelum Aristotles menggunakan Logika sebaik-baiknya. Dalam kata lain, disebutkan bahawa Aristotleslah orang yang pertama kali meletakkan ilmu Logika, yang sebelumnya memang tidak pernah ada ilmu Mantiq tersebut. Maka tak hairanlah jika ia digelarkan sebagai “Muallim Awwal” ( Guru pertama ).

Selain itu, ada berbagai-bagai pendapat tentang siapa orang pertama yang meletakkan nama Logika atau Mantiq. Akan tetapi jika diselidik lebih mendalam, maka sebelum Aristotles memang ada Logika, akan tetapi ilmu Logika sebagai ilmu yang sistematik baru muncul sejak Aristotles, dan memang dialah orang pertama yang membentangkan cara berfikir yang teratur dalam suatu sistem.

Kecerdasan penduduk Yunani itulah mungkin yang telah menyebabkan lahirnya golongan Sufastiyyun. Golongan ini dengan kemahiran berdebat yang mereka miliki menghujah dan malah merosakkan sistem sosial, agama dan moral dengan cara menafikan pernyataan-pernyataan yang benar, tetapi membuat penyelewengan-penyelewengan pemikiran nilai dan moral.



PERKEMBANGAN ILMU MANTIQ DALAM MASYRAKAT ISLAM

Secara tidak langsung pertapakan dan perkembangan ilmu Mantiq dalam masyarakat Islam telah pun lahir seiring dengan perutusan Nabi Muhammad s.a.w lagi. Di mana melalui Hadis baginda terdapat penuturan yang sememangnya menggunakan logik dan kebenaran berita yang diperkatakan semuanya benar tanpa sebarang pertikaian lagi. Seterusnya titik permulaan yang menyebabkan pertapakan dan pertumbuhan ilmu Mantiq dalam masyarakat Islam adalah ekoran perselisihan umat Islam dalam persoalan Imamah khasnya saat akhir pemerintahan khalifah al-Rasyidin dan awal pemerintahan khalifah Bani Umaiyyah. Perselisihan tersebut telah merebak kepada persoalan akidah yang akhirnya terbentuk puak Khawarij, Syiah dan Ahli al-Sunnah.

Antara lain, pada abad kedua hijrah telah muncul ulamak mujtahid dari kalangan al-Tabi’in dan Tabi’ al-Tabi’in yang menggunakan kaedah al-Qiyas dalam ilmu Usul al-Fiqh, khasnya untuk istinbat. Selain dari itu, Imam al-Syafi’e juga telah menggunakan kaedah al-Istiqra’ untuk memastikan tempoh haidh yang paling singkat dan yang paling lama terhadap wanita.

Secara langsungnya, ilmu Mantiq mempengaruhi dan bertapak dalam masyarakat Islam adalah ekoran pertapakan dan perkembangan ilmu al-Kalam. Tokoh terkenal yang membincangkan tentang ilmu tersebut seterusnya mendukung aliran Ahli al-Sunnah Wa al-Jamaah ialah Abu Hassan al-‘Asy’ary dan Abu Mansur al-Maturidi. Mereka bangkit mempertahankan aliran Ahli al-Sunnah Wa al- Jamaah dengan menggabungkan dalil akal berserta al-Quran dan Hadis untuk berhujah dan mengukuhkan akidah. Contohnya, kewujudan alam dan cakerawala yang begitu besar dan teratur membuktikankewujudan Allah sebagai Pencipta Mutlak.

Selain itu, ulama’ Islam juga telah mempelajari ilmu Mantiq dan menggunakan hujah serta logik akal untuk berdebat dengan ahli al-Kitab dan Parsi yang menggunakan Falsafah dan Mantiq untuk berdebat dengan orang Islam. Di samping itu, ulama’ Islam mempelajari Mantiq untuk berhujah dengan golongan Atheis dan al-Dahriyyun yang tidak mengakui kewujudan Allah dan menolak pendapat mereka yang mengatakan alam ini terjadi dengan sendiri.



TOKOH-TOKOH ILMUAN MANTIQ KLASIK DAN MODEN

Mantiq terbahagi kepada dua, iaitu :
1 ) Mantiq Klasik
2 ) Mantiq Moden

Setiap daripada kedua-duanya mempunyai tokoh-tokoh Ilmuan Mantiq yang tersendiri, berikut adalah klasifikasinya :

Tokoh Ilmuan Mantiq Klasik 

1 ) Socrates

2 ) Arisrotle

3 ) Ibn. Sina

4 ) Imam al-Ghazali

Tokoh Ilmuan Mantiq Moden 

1 ) Francis Bacon

2 ) John Stewart Mill

3 ) Ibn. Haytham

4 ) Ibn. Hayyan




PERBEZAAN MANTIQ KLASIK DAN MODEN

Antara perbezaan di antara Mantiq Moden dengan Mantiq Klasik yang dapat dirumuskan di sini ialah :


1. Mantiq Klasik hanya mengkaji bentuk-bentuk pemikiran dan mencipta peraturan-peraturan yang berbentuk teori. Peraturan tersebut dilalui dan diikuti oleh setiap pengkaji dan pemikir untuk menghasilkan keputusan yang benar dan tepat tanpa mengambil kira atau mengkaji bahan yang menjadi hakikat atau kandungan pemikiran tersebut. Manakala Mantiq Moden pula mengkaji bahan-bahan yang menyebabkan lahirnya pemikiran itu dan sebab-musabab sesuatu perkara yang wujud dan lahir serta mengaitkannya dengan apa yang terdapat pada kenyataan.


2. Mantiq Klasik menumpukan serta memusatkan perhatiannya terhadap fizikal sesuatu benda tanpa menilai dan mengkaji atau meneliti kaitan di antara benda-benda yang dikaji tersebut. Manakala Mantiq Moden pula menumpukan kajiannya terhadap benda dan bagaimana berlakunya perkara tersebut, sebab-sebabnya dan hubungannya di antara satu sama lain.



3. Mantiq Klasik mementingkan dan mengutamakan teori semata-mata. Manakala Mantiq Moden lebih menumpukan kepada percubaan dan amali terhadap teori yang digariskan.



FAEDAH DAN MANFAAT ILMU MANTIQ

Di antara manfaat ilmu Mantiq ialah :

1 ) Membuat daya pemikiran seseorang lebih tajam tetapi lebih berkesan melalui latihan-latihan berfikir dan menganalisis serta mengungkap permasalahan secara ilmiah.

2 ) Membuat seseorang menjadi mampu meletakkan sesuatu pada tempatnya dan mengerjakan sesuatu pada waktunya.

3 ) Membuat seseorang mampu membezakan antara yang baik dan buruk. Ini merupakan manfaat yang paling asas dalam ilmu Mantiq.

4 ) Boleh menjadikan seseorang bijak berfikir dan mempunyai hujah tersendiri untuk berdebat serta membidas kata-kata yang tidak masuk akal dan tidak mudah diperbodoh-bodohkan atau diperkotak-katikkan oleh individu lain sekiranya pada dirinya mempunyai ilmu Mantiq.




HUKUM MEMPELAJARI ILMU MANTIQ DAN ULAMA’-ULAMA’ YANG MENERIMANYA

Terdapat beberapa perselisihan pendapat tentang hukum mempelajari ilmu ini.
1. Haram : Pendapat Imam Ibnu Solah dan Imam An-Nawawi, tetapi dijelaskan bahawasanya kedua-dua Imam ini mengharamkan untuk dipelajari ilmu ini sekiranya dicampur dengan masalah-masalah falsafah yang membawa kepada kekufuran dan keraguan dari sudut aqidah. Kedua-duanya juga berpendapat dengan mempelajari ilmu ini boleh diambil faedah daripadanya untuk menguatkan perkara-perkara yang berkaitan dengan aqidah dan menolak segala syubhat yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam.

2. Fardu Kifayah : ke atas umat Islam seluruhnya dan harus ada sekumpulan manusia yang mempelajarinya sehingga mampu untuk mempertahankan agama Islam menangkis segala bentuk syubhat dan tohmahan yang dilontarkan terhadap agama Islam. Dan atas dasar ini diletakkan hukum fardu kifayah kerana mengikut kaedah (ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب ).


Ulama’ yang menerima ilmu Mantiq ialah :

1. Ibn. Rusyd - wajib hukumnya selagi tidak bercanggah dengan landasan Islam.
2. Imam al-Ghazali - hukumnya adalah harus.
3. Al-Farabi - tidak menjadi kesalahan mempelajarinya.
4. Ibn Sina - sama dengan pendapat al-Farabi.
5. Ibn. Hazm - menerima dengan positif dan beliau sendiri mempelajarinya.
6. Jumhur ulamak - hukum mempelajarinya adalah fardu kifayah.
Antara sebab berlaku perbezaan pendapat ialah kerana ia mengambil kira keadaan masa, zaman dan suasana semasa. Tetapi di sini, jelas menunjukkan ulama-ulama besar kita dahulu menganggap mempelajari ilmu mantik adalah haram dan jatuh kafir. Manakala ulama-ulama yang menerimanya, hanya Ibn Rusyd yang menganggap wajib sementara yang lain hanya sekadar harus atau dibolehkan.
Ini boleh menjelaskan mengapa kebanyakan daripada ajaran-ajaran, tafsiran dan hukum-hakam mereka tiada penekanan ke arah kepentingan ilmu pengetahuan berunsur sains walaupun tuntutan untuk mencari ilmu ini jelas terdapat di dalam al-Quran. Kita harus bersyukur, walaupun terdapat imam dan ulama-ulama besar Islam yang mengharamkan ilmu mantik, masih ada ahli-ahli sains dan cendekiawan Islam, yang sebahagian daripada mereka adalah ulama yang mementingkan ilmu pengetahuan duniawi, telah membawa kemakmuran kepada umat Islam dan melalui satu puncak tamadun di mana umat Islam menguasai segala bidang, dari semua segi, seperti ekonomi, ilmu pengetahuan dan ketenteraan sehinggalah tamadun Islam sebelah Timur runtuh pada kurun ke-13 Masihi dan sebelah Barat kurun ke-15 Masihi.
Inilah juga di antara sebab mengapa menjadi tanggungjawab umat Islam terutamanya mereka yang bergelar ulama dan cendekiawan untuk sentiasa mengkaji al-Quran dan sunah mengikut suasana semasa dan bukannya terikat dengan pendapat dan tafsiran ulama terdahulu. Ini telah dilakukan oleh jumhur ulama apabila menghukum mempelajari ilmu ini sebagai fardu kifayah demi kepentingan umat Islam, terutamanya mantik moden yang boleh membentuk kemajuan dan tamadun sesebuah negara. Oleh itu mantik moden merupakan ilmu sains yang perlu bagi orang Islam serta mempelajarinya dengan mendalam, supaya orang Islam akan maju dan setanding dengan orang kafir.
Tetapi ini berlaku setelah orang bukan Islam, terutamanya Barat, dengan sekularisme mereka, telah menguasai ilmu ini dan menjadi maju, seterusnya menjajah hampir keseluruhan umat Islam di dunia ini. Selepas itu barulah muncul ulama-ulama yang menganggap ilmu sains ini penting. Di sini berlaku pertembungan dengan ulama yang masih mempertahankan pendapat lama. Maka wujudlah golongan yang dianggap sekular dan golongan jumud. Persoalan yang cukup penting dan besar ialahmengapa ulama-ulama besar yang ilmu agama mereka dianggap cukup tinggi dan kefahaman yang mendalam dalam al-Quran dan hadis, boleh mengharamkan mempelajari suatu ilmu yang cukup penting, yang jelas dituntut seperti yang terkandung di dalam al-Quran? Pada waktu itu sudah pasti berlaku pertembungan antara ulama-ulama yang berpendapat mempelajari ilmu mantik adalah haram dengan cendekiawan-cendekiawan yang mempelajari ilmu mantik.
Tamadun Islam yang sampai kepada kemuncaknya dan memberikan sinar kepada seluruh umat manusia dan pada waktu di mana `umat Islam menjadi khalifah di bumi Allah ini', suatu masa dahulu, mungkin tidak dicapai jika sebahagian cendekiawan Islam waktu itu berpegang kepada hukum yang dikeluarkan oleh ulama-ulama besar yang mengharamkan mempelajari ilmu mantik ini. (Ini tidak bermaksud kita harus menolak ulama-ulama ini secara total). Mungkinkah ini adalah antara sebab utama mengapa kita dapat melihat secara umumnya di dalam pegangan kita, Ahli Sunnah Waljamaah yang diterajui oleh empat imam besar. Penekanan hanya diberikan kepada bab-bab tertentu seperti akidah dan tauhid, ibadah dan solat, akhlak dan adab, muamalah dan hukum serta aturan kehidupan.



Tetapi hukum-hukum di dalam mencari dan menguasai ilmu pengetahuan dan membina kekuatan untuk menggerunkan musuh, seperti yang dituntut di dalam al-Quran, tidak diberikan penekanan.
Untuk menguasai ilmu mantik ini memerlukan akal berfikir secara logik yang mana hukumnya dianggap haram dan jatuh kafir. Imam Shafie sendiri hanya berpegang kepada al-Quran dan hadis sebagai sumber hukum dengan menolak al-Qias. Ini kerana al-Qias merupakan salah satu cabang ilmu mantik yang memerlukan akal berfikir secara logik.
(Imam Shafie juga termasuk dalam ulama salaf dan hadis, mencela golongan yang mencari dalil dan berdebat menggunakan ilmu kalam. Ini telah membawa kepada kerosakan yang besar terhadap umat Islam seperti yang akan diterangkan selepas ini.)
(Bukan sahaja mazhab kita tidak memberi penekanan kepada ilmu pengetahuan, kerana mengikut Imam Ghazali, ``ulama-ulama fiqih itu tiada mengurus mengenai batin dan tiada membuka persoalan hati dan jalan akhirat. Tetapi mereka membangun yang zahir daripada hukum-hukum agama daripada perbuatan-perbuatan anggota badan. Dan perbuatan-perbuatan zahir itu, adalah mencukupi untuk tidak dihukum bunuh dan diseksa oleh sultan''- `Ihya Ulumiddin' terjemahan oleh Prof.Tk. H. Ismail Yakub Sh; MA, Jilid 1, muka surat 550.)


RUMUSAN

Kesimpulannya, ilmu Mantiq merupakan satu ilmu yang menggunakan akal logik iaitu manusia menggunakannya untuk mencari petunjuk serta kebenaran seterusnya memilih mana yang baik untuk diikuti serta menjauhi dan meninggalkan perkara buruk. Walaupun manusia mempunyai akal dan sentiasa menggunakannya, sama ada dalam menjalani urusan kehidupan atau untuk mencari kebenaran, namun tidak semestinya hasil pemikiran mereka menepati tujuan sebenar serta mencapai matlamat yang dimaksudkan dan diinginkan.

Sebagai contoh, apabila manusia melihat awan tebal yang hitam di langit, manusia memikirkan dan menjangkakan hujan akan turun tidak lama lagi. Tetapi, tanggapan akal semata-mata serta melalui penelitian terhadap faktor awan hitam yang tebal tidak semestinya dapat menghasilkan keputusan yang benar dan tepat. Kerana kadang-kadang hujan tidak turun walaupun pada kebiasaannya awan tebal yang menandakan atau menyebabkan hujan turun.

Lantaran itu, Islam menyekat kebebasan manusia berfikir berpandukan nafsu dan akal yang tidak diikuti dengan akidah dan ilmu. Contohnya, fahaman golongan al-Sufustaiyyun yang menilai baik dan buruk sesuatu berdasarkan pancaindera dan akal semata-mata. Hal itu kerana pancaindera dan akal manusia adalah terbatas, apatah lagi untuk mengkaji perkara yang ghaib.

Keistimewaan manusia berbanding makhluk-makhluk lain di muka bumi ini ialah akal pemikiran. Dengan anugerah tersebut, manusialah makhluk yang paling mulia. Justeru itu Allah mengamanahkan manusia sebagai khalifahNya untuk memakmurkan muka bumi serta mempertanggungjawabkan supaya mematuhi segala perintah dan menjauhi segala laranganNya.


PENUTUP

Di ahkir penulisan kami ini, ingin kami katakan bahawa semulia-mulia manusia yang ada di atas dunia ini adalah seorang yang bertaqwa di sisi tuhannya seperti firman Allah S.W.T dalam Al-Quran :

إن أكرمكم عند الله أتقاكم

Taqwa bermaksud melakukan apa yang disuruh, meninggalkan apa yang dilarang dan ditegah. Dengan itu, maka ramailah manusia di dunia ini menjadi seorang yang baik sekiranya mengikut panduan yang telah diturunkan oleh Allah S.W.T melalui perutusanNya iaitu Muhammad S.A.W yang membawa risalah Al-Quran yang mulia.

Kami berharap, dengan adanya kajian dan teks ini maka dapatlah kita bersama-sama memahami konsep Mantiq kerana betapa pentingnya ilmu ini dalam kehidupan manusia dan sekaligus menjalankan tugas kita sebagai dai’e ( pendakwah ) dan meneruskan lagi dakwah nabi kita.







DASAR PENGGUNAAN ILMU MANTIQ [ILMU KALAM] DALAM TAUHID



Pada dasarnya tonggak dasar Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam/mantiq sudah berkembang dari semenjak masa sahabat Rasulullah. Bahkan menyebarkan ilmu tauhid ini merupakan konsentrasi dakwah seluruh sahabat Rasulullah, karenanya perkembangan ilmu tauhid saat itu justru lebih mapan dan lebih pesat di banding dengan periode-periode sesudahnya.
Bantahan-bantahan terhadap berbagai kelompok ahli bid’ah sudah berkembang di masa para sahabat. Misalkan, sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas (w 68 H) dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar (w 74 H) yang telah memerangi faham Mu’tazilah. Atau dari kalangan Tabi’in, seperti Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz (w 101 H) dan al-Imam al-Hasan ibn al-Hanafiyah yang giat memerangi faham para ahli bid’ah tersebut. Bahkan Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib dengan argumen kuatnya telah memecahkan faham Khawarij dan faham kaum Dahriyyah; kaum yang mengatakan bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan. Demikian pula beliau telah membungkam empat puluh orang dari kaum Yahudi yang mengatakan bahwa Tuhan adalah benda yang memiliki tubuh dan memiliki tempat. Di antara pernyataan sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib dalam masalah tauhid sebagai bantahan terhadap kaum Musyabbihah Mujassimah adalah “Barang siapa berkeyakinan bahwa Tuhan kita (Allah) memiliki bentuk maka ia tidak mengetahui Pencipta yang wajib disembah -artinya seorang yang kafir-”.
Kemudian Iyas ibn Mu’awiyah, yang sangat terkenal dengan kecerdesannya, juga telah memecahkan argumen-argumen kaum Qadariyyah (Mu’tazilah). Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz telah membungkam para pengikut Syauzdab; salah seorang pemuka kaum Khawarij. Dan bahkan beliau telah menulis beberapa risalah sebagai bantahan terhadap faham-faham Mu’tazilah. Kemudian al-Imam Rabi’ah ar-Ra’y (w 136 H), salah seorang guru al-Imam Malik Ibn Anas, dengan dalil yang sangat kuat telah membungkam Ghailan ibn Muslim, salah seorang pemuka kaum Qadariyyah. Kemudian al-Imam al-Hasan al-Bashri, salah seorang ulama besar dan terkemuka di kalangan tabi’in, juga telah menyibukan diri dalam bergelut dengan Ilmu Kalam ini.
Jika ada yang berkata: Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas telah berkata: “Berpikirlah kalian tentang makhluk, dan janganlah kalian berpikir tentang al-Khaliq (Allah)”. Bukankah ini artinya berpikir tentang Allah adalah sesuatu yang dilarang?!.
Jawab:
Yang dilarang dalam hal ini adalah berpikir tentang Allah, namun kita diperintahkan untuk berpikir tentang makhluk-Nya. Ini artinya bahwa kita diperintahkan untuk berpikir tentang kekuasaan-kekuasaan Allah baik yang terdapat di langit maupun yang terdapat di bumi, agar supaya hal itu semua dijadikan bukti akan adanya Allah sebagai penciptanya, dan bahwa Dia Allah tidak menyerupai makhluk-makhluk-Nya tersebut. Seorang yang tidak mengenal Allah; Tuhan yang ia sembahnya, bagaimana mungkin ia dapat mengamalkan atsar Shahih dari sahabat Ibn ‘Abbas di atas?! Kemudian dari pada itu al-Qur’an telah memerintahkan kepada kita untuk mempelajari dalil-dalil akal tentang kebenaran akidah Islam. Mempelajari dalil-dalil akal tentang adanya Allah, bahwa Dia maha mengetahui, maha kuasa, maha berkehendak, tidak menyerupai makhluk-Nya, dan berbagai perkara lainnya. Karenanya, tidak ada seorangpun dari ulama kita dari kalangan Ahlussunnah, baik ulama salaf maupun khalaf, yang mencaci Ilmu Kalam ini.
Adapun pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam asy-Syafi’i: “Seorang manusia bila bertemu Allah (meninggal) dalam keadaam membawa banyak dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya dari pada ia meninggal dengan membawa Ilmu Kalam”, statemen ini tidak benar adanya dari al-Imam Syafi’i. Tidak ada riwayat dengan sanad yang benar bahwa beliau telah barkata demikian. Adapun pernyataan yang benar dari ucapan beliau dengan sanadnya adalah:
لَأنْ يَلْقَى اللهَ العَبْدُ بِكُلّ ذَنْبٍ مَا سِوَى الشّرْكِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَلْقَاهُ بشَىءٍ مِنْ الأهْوَاءِ
“Seorang manusia bila bertemu Allah (meninggal) dalam keadaan membawa banyak dosa selain dosa syirik maka hal ini jauh lebih baik baginya dari pada ia meninggal dengan membawa al-Ahwa’”.
Al-Ahwa’ adalah jamak dari al-Hawa. Artinya sesuatu yang diyakini oleh para ahli bid’ah yang berada di luar jalur para ulama Salaf. Artinya, al-Hawa di sini ialah keyakinan-kayakinan yang yakini oleh golongan-golongan sesat. Seperti keyakinan Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Najjariyyah dan berbagai kelompok lainnya yang telah disebutkan dalam hadits Nabi sebanyak tujuh puluh dua golongan. Dalam sebuah hadits mashur Rasulullah bersabda:
وَإنّ هذِه الِملّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الجَنّةِ وَهِيَ الجَمَاعَة (رَواه أبُو دَاوُد)
“Dan sesungguhnya -umat- agama ini akan pecah kepada tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua di neraka, dan hanya satu di surga; dan dia adalah kelompok mayoritas”. (HR. Abu Dawud).
Dengan demikian yang dicaci oleh al-Imam asy-Syafi’i bukan mutlak keseluruhan Ilmu Kalam, tapi yang dimaksud adalah Ilmu Kalam tercela; yaitu yang digeluti oleh para ahli bid’ah di atas. Adapun Ilmu Kalam yang digeluti Ahlussunnah yang berdasar kepada al-Qur’an dan Sunnah maka ini adalah Ilmu Kalam terpuji, dan sama sekali tidak pernah dicaci oleh al-Imam asy-Syafi’i. Sebaliknya beliau adalah seorang yang sangat kompeten dan terkemuka dalam Ilmu Kalam ini. Karenannya argumen beliau telah mamatahkan pendapat Bisyr al-Marisi dan Hafsh al-Fard; dua orang di antara pemuka kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur’an makhluk dan bahwa Allah tidak memiliki sifat Kalam.
Al-Hafizh Ibn ‘Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari menuliskan sebagai berikut:
“Ilmu Kalam yang tercela adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh Ahl al-Ahwa’ dan yang diyakini oleh para ahli bid’ah. Adapaun Ilmu Kalam yang sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah yang dibahas untuk menetapkana dasar-dasar akidah yang benar dan untuk memerangi fitnah Ahl al-Ahwa’ maka ia telah disepakati ulama sebagai Ilmu Kalam yang terpuji. Dalam Ilmu Kalam yang terpuji ini al-Imam asy-Syafi’i adalah di antara ulama besar yang sangat kompeten. Dalam berbagai kesempatan beliau telah banyak membantah para ahli bid’ah dengan argumen-argumen kuatnya hingga mereka terpecahkan”[ Tabyin Kadzib al-Mutftari, h. 339].
Masih dalam karyanya tersebut, Ibn ‘Asakir kemudian mengutip salah satu kasus yang terjadi dengan al-Imam asy-Syafi’i dengan sanadnya dari ar-Rabi’ ibn Sulaiman, bahwa ia (ar-Rabi’) berkata:
“Aku berada di majelis al-Imam asy-Syafi’i, Abu Sa’id A’lam memberitahukan kepadaku bahwa suatu ketika datang ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam, Yusuf ibn ‘Amr ibn Zaid, dan Hafsh al-Fard. Yang terakhir ini oleh asy-Syafi’i disebut dengan al-Munfarid (yang berpaham ekstrim). Kemudian Hafsh al-Fard bertanya kepada ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam: “Bagaimana pendapatmu tentang al-Qur’an?”. Namun ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam enggan menjawab. Lalu Hafsh bertanya kepada Yusuf ibn ‘Amr. Tapi ia juga enggan menjawab. Keduanya lalu berisyarat untuk bertanya kepada asy-Syafi’i. Kemudian Hafsh bertanya kepada asy-Syafi’i, dan asy-Syafi’i memberikan dalil kuat atas Hafsh. Namun kemudian antara keduanya terjadi perdebatan yang cukup panjang. Akhirnya asy-Syafi’i dengan argumennya yang sangat kuat mengalahkan Hafsh dan menetapkan bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah bukan makhluk. Kemudian asy-Syafi’i megkafirkan Hafsh. Ar-Rabi’i ibn Sulaiman berkata: “Beberapa saat kemudian di masjid aku bertemu dengan Hafsh, ia berkata kepadaku bahwa asy-Syafi’i hendak memenggal leherku”[ Manaqib asy-Syafi’i karya ar-Razi, h. 194-195. Lihat juga al-Asma’ Wa as-Shifat karya al-Baihaqi, h. 252
].
Jika ada yang berkata: “Ada beberapa orang ulama Salaf yang telah mencaci Ilmu Kalam. Diriwayatkan bahwa as-Sya’bi berkata: “Barang siapa mempelajari agama dengan Ilmu Kalam maka ia menjadi seorang zindik. Barang siapa mencari harta dengan kimia maka ia akan bangkrut. Dan barang siapa megajarkan hadits dengan mengutip hadits-hadits gharib maka ia seorang pembohong”. Pernyataan semacam ini juga telah diriwayatkan dari al-Imam Malik dan al-Imam al-Qadli Abu Yusuf (sahabat al-Imam Abu Hanifah).
Jawab:
Masalah ini telah dijawab oleh al-Imam al-Baihaqi. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Kalam oleh mereka adalah Ilmu Kalam tercela yang digeluti oleh para ahli bid’ah. Karena di masa mereka penyebutan Ilmu Kalam konotasinya adalah Ilmu Kalam yang digeluti oleh para ahli bid’ah tersebut. Adapun kaum Ahlussunnah saat itu belum banyak membahas secara detail sebelum kemudian Ilmu Kalam ini menjadi sangat dibutuhkan untuk dibukukan dan dibahas secara komprehensif.
Masih menurut al-Baihaqi, mungkin pula yang dimaksud Ilmu Kalam yang dicela oleh para ulama Salaf di atas adalah bagi seorang yang hanya mempalajari Ilmu Kalam semata, dengan menyampingkan ilmu-ilmu Fikih yang sangat dibutuhkan untuk mengenal hukum halal dan haram, atau menolak hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam syari’at hingga tidak terlakasananya hukum-hukum itu sendiri.
Kemudian al-Baihaqi juga mengatakan bahwa banyak para ulama Salaf yang memuji Ilmu Kalam untuk usaha memerangi faham-faham ahli bid’ah. Di antaranya al-Imam Hatim al-Ashamm, salah seorang seorang sufi terkemuka ahli zuhud dimasanya, mengatakan bahwa Ilmu Kalam merupakan ilmu pokok agama, sementara Ilmu Fikih merupakan cabangnya, dan pengamalan adalah buah dari ilmu-ilmu tersebut. Dengan demikian, kata al-Imam Hatim, barang siapa menggeluti Ilmu Kalam dengan menyampingkan Ilmu Fikih dan pengamalannya maka ia akan menjadi seorang zindik. Dan barang siapa mencukupkan dengan amalan saja tanpa didasarkan kepada Ilmu Kalam dan Ilmu Fikih maka akan menjadi seorang ahli bid’ah. Dan barang siapa mencukupkan dengan Ilmu Fikih saja dengan menyampingkan Ilmu Kalam maka ia akan menjadi seorang fasik. Dan barang siapa yang mempelajari semua disiplin ilmu tersebut maka dialah yang akan selamat[ Lihat Tabyin Kadzib al-Muftari, h. 334
].
Al-Imam al-Qadli Abu al-Ma’ali ‘Abdul Malik, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al-Juwaini, mengatakan bahwa orang yang berkeyakinan bahwa para ulama Salaf tidak mengetahui Ilmu Kalam atau Ilmu Ushul, atau berkeyakinan bahwa mereka menghindari ilmu ini dan bersikap apatis terhadapanya, maka orang ini telah berburuk sangka terhadap mereka. Karena sangat mustahil, baik secara akal maupun dari tinjuan agama, bahwa para ulama Salaf tersebut menghindari Ilmu Kalam ini. Padahal di kalangan mereka seringkali terjadi perdebatan dalam masalah-masalah Furu’iyyah. Dalam masalah ‘Aul misalkan, atau dalam masalah hak-hak seorang kakek (permasalahan dalam hukum waris), atau metode penetapan hukuman dan praktek qisas, serta berbagai masalah lainnya. Bahkan tidak jarang antara mereka satu sama lainnya sama-sama melakukan Mubahalah (bersumpah) dalam menetapkan kebenaran yang diyakini oleh masing-masing individu. Atau lihat misalnya, hanya untuk menetapkan permasalah najis saja, mereka dengan sekuat tenaga dan pikiran seringkali berusaha mencari banyak dalil, baik dalil-dalil untuk dirinya sendiri atau dalil-dali untuk mematahkan pendapat lawan. Bila keadaan mereka dalam masalah-masalah Furu’iyyah saja semacam ini, maka sudah barang tentu merekapun demikian adanya dalam masalah-masalah Ushuliyyah. Bukankah masalah-masalah Ushuliyyah jauh lebih besar urgensitasnya dibanding masalah-masalah Furu’iyyah?![Ibid, h. 354]
Dengan demikian sangat tidak logis jika diklaim bahwa para ulama Salaf tidak memiliki kompetensi dalam permasalahan-permasalahan Ilmu Kalam. Bukankah mereka dekat dengan masa kenabian?! Bukankah mereka menerima langsung ajaran-ajaran Islam ini dari pembawa syari’at itu sendiri, yaitu Rasulullah?! Kemudian kaum Tabi’in, kaum pasca sahabat Nabi, walaupun mereka tidak secara langsung menerima ajaran Islam dari Rasulullah, bukankah mereka menerima ajaran-ajaran tersebut dari para sahabat Rasulullah sendiri?! Jika diklaim bahwa kaum Tabi’in tidak mumpuni dalam Ilmu Kalam, berarti kalim ini sama saja dialamatkan kepada para sahabat Rasulullah. Dan klaim ini jika dialamatan kepada para sahabat Rasulullah, maka berarti sama juga dialamatkan kepada Rasulullah sendiri. Sekarang siapakah yang berani berkata bahwa Rasulullah tidak mengenal Allah, tidak ma’rifat kepada-Nya, tidak mengenal Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam?! Dari sini dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya segala permasalahan yang berkembang dalam Ilmu Kalam telah benar-benar diketahui dan dipahami oleh Rasulullah dan para sahabatnya, atau para ulama Salaf pada umumnya.
Salah satu bukti bahwa para ulama Salaf benar-benar menggeluti Ilmu Kalam adalah adanya beberapa karya dari al-Imam Abu Hanifah dalam disiplin ilmu ini. Di antaranya; al-Fiqh al-Akbar, ar-Risalah, al-Fiqh al-Absath, al-‘Alim Wa al-Muta’allim, dan al-Washiyyah. Yang terakhir disebut, yaitu al-Washiyyah, terdapat perbedaan pendapat tentang benar tidaknya sebagai risalah dari al-Imam Abu Hanifah. Satu pendapat mengingkari risalah tersebut sabagai risalah dari al-Imam Abu Hanifah dengan alasan bukan dari hasil tangannya. Pendapat lain mengatakan bahwa risalah al-Washiyyah ini karya dari Muhammad ibn Yusuf al-Bukhari yang memiliki nama panggilan (kunyah) Abu Hanifah.
Pendapat yang mengingkari risalah tersebut sebagai tulisan al-Imam Abu Hanifah umumnya diungkapkan orang-orang Mu’tazilah. Hal ini karena isi dari risalah tersebut adalah bantahan terhadap kelompok-kelompok bid’ah, seperti faham Mu’tazilah sendiri. Pengingkaran kaum Mu’tazilah juga didasari pengakuan bahwa keyakinan al-Imam Abu Hanifah adalah persis sama dengan keyakinan mereka sendiri. Tentu pendapat Mu’tazilah ini hanyalah dusta belaka. Karena seperti yang sudah diketahui, al-Imam Abu Hanifah adalah sosok yang paling gigih memerangi para ahli bid’ah termasuk faham-faham Mu’tazilah sendiri.
Dalam Ilmu Kalam, dan seluruh disiplin ilmu lainnya, al-Imam Abu Hanifah adalah Imam terkemuka sebagai ahli ijtihad pada abad pertama hijriyah. Tentang hal ini dalam kitab at-Tabshirah al-Baghdadiyyah disebutkan sebagai berikut:
“Orang paling pertama sebagai ahli Kalam dikalangan ulama Fikih Ahlussunnah adalah al-Imam Abu Hanifah dan al-Imam asy-Syafi’i. Abu Hanifah telah menuliskan al-Fiqh al-Akbar dan ar-Risalah yang kemudian dikirimkan kepada Muqatil ibn Sulaiman untuk membantahnya. Karena Muqatil ibn Sulaiman ini adalah seorang yang berkeyakinan tajsim (Meyakini bahwa Allah adalah benda). Demikian pula beliau telah banyak membantah para ahli bid’ah dari kaum Khawarij, Rawafidl, Qadariyyah (Mu’tazilah) dan kelompok sesat lainnya. Para pemuka ahli bid’ah tersebut banyak tinggal di wilayah Bashrah, dan al-Imam Abu Hanifah lebih dari dua puluh kali pulang pergi antara Bashrah dan Baghdad hanya untuk membantah mereka, -padahal perjalanan saat itu sangat jauh dan sulit-. Dan tentunya al-Imam Hanifah telah memecahkan dan membungkam mereka dengan argumen-argumen kuatnya, hingga beliau menjadi panutan dan rujukan dalam segala permasalahan Ilmu Kalam ini”.
Al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi dengan sanadnya hingga al-Imam Abu Hanifah, meriwayatkan bahwa ia (al-Imam Abu Hanifah) berkata: “Saya telah benar-benar mempelajari Ilmu Kalam, hingga saya telah mencapai puncak sebagai rujukan dalam bidang ilmu ini”[Tarikh Baghdad, j. 13, h. 3335].
Kemudian al-Imam Abu Hanifah menceritakan bahwa ia baru benar-benar terjun dalam mempelajari Ilmu Fikih setelah ia duduk belajar kepada al-Imam Hammad ibn Sulaiman, dan ia melakukan itu setelah ia mumpuni dalam Ilmu Kalam tersebut.
Dalam riwayat lain dengan sanadnya dari al-Haritsi, bahwa al-Imam Abu Hanifah berkata:
“Saya telah dikaruniai kekuatan dalam Ilmu Kalam. Dengan ilmu tersebut saya memerangi dan membantah faham-faham ahli bid’ah. Kebanyakan mereka saat itu berada di Bashrah. Maka pada masa itu saya sering pulang pergi antara Bashrah dan Baghdad lebih dari dua puluh kali. Di antara perjalananku tersebut ada yang hingga menetap satu tahun di Bashrah, ada pula yang kurang dari satu tahun, dan ada pula yang lebih. Dalam hal ini aku telah membantah berbagai tingkatan atau sub sekte kaum Khawarij; seperti golongan Abadliyyah, Shafariyyah dan lainnya. Juga telah aku bantah berbagai faham kaum Hasyawiyyah”[Lihat Muqaddimah Isyrat al-Maram karya al-Imam al-Bayyadli yang ditulis oleh al-Imam as-Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari mengutip dari kitab Manaqib al-Imam Abi Hanifah.].
Al-Imam ‘Abd al-Qahir al-Bagdadi asy-Syafi’i, seorang teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah penulis kitab al-Farq Bain al-Firaq, dalam salah satu kitab karyanya berjudul Kitab Ushuliddin menuliskan sebagi berikut:
“Orang yang pertama kali bergelut dengan Ilmu Kalam dari kalangan para ahli Fikih adalah al-Imam Abu Hanifah dan al-Imam asy-Syafi’i. Al-Imam Abu Hanifah telah menulis satu kitab sebagai bantahan terhadap kaum Qadariyyah yang ia namakan dengan al-Fiqh al-Akbar. Sementara al-Imam asy-Syafi’i telah menulis dua karya dalam Ilmu Kalam, salah satunya penjelasan tentang kebenaran kenabian dan bantahan kepada kaum Brahma, dan yang ke dua bantahan terhadap Ahl al-Ahwa’”[ Kitab Ushuliddin, h. 308].
Al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini asy-Syafi’i, juga seorang teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah, dalam karyanya berjudul at-Tabshir Fiddin menuliskan sebagai berikut:
“Kitab al-‘Alim Wa al-Muta’allim karya al-Imam Abu Hanifah memuat berbagai argumen yang sangat kuat untuk membantah kaum ilhad (kaum kafir) dan para ahli bid’ah. Kemudian kitab karyanya dengan judul al-Fiqh al-Akbar, yang telah sampai kepada kami dengan jalur orang-orang tsiqah dan dengan sanad yang Shahih dari Nushair ibn Yahya dari al-Imam Abu Hanifah, adalah kitab yang berisikan bantahan kepada para ahli bid’ah. Barang siapa mempelajari karya-karya Ilmu Kalam tersebut dan karya-karya Ilmu Kalam al-Imam asy-Syafi’i maka dia tidak akan mendapati di antara madzhab ulama lain yang memiliki karya yang lebih jelas dari keduanya. Adapun beberapa tuduhan yang dialamatkan kepada keduanya yang berseberangan dengan isi karya-karya Ilmu Kalam mereka, maka itu semua adalah kedustaan yang dituduhkan oleh para ahli bid’ah untuk menyebarkan bid’ah mereka sendiri”[ at-Tabshir Fiddin, h. 113].
Tentang lima risalah al-Imam Abu Hanifah yang telah kita sebutkan di atas, menurut pendapat yang paling kuat bukan benar-benar dengan tulisan tangan al-Imam Abu Hanifah sendiri. Tapi risalah-risalah tersebut adalah pelajaran yang didiktekan beliau kepada para sahabatnya; seperti Hammad ibn Zaid, Abu Yusuf, Abu Muthi’ al-Hakam ibn ‘Abdullah al-Balkhi, Abu Muqatil Hafsh ibn Salam as-Samarqandi dan lainnya. Sahabat-sahabat Abu hanifah inilah yang membukukan pelajaran-pelajaran beliau hingga menjadi risalah-risalah tersebut di atas.
Dari para sahabat al-Imam Abu Hanifah tersebut kemudian pelajaran-pelajaran yang sudah berbentuk risalah-risalah itu turun kepada generasi para ulama berikutnya. Di antaranya; Isma’il ibn Hammad, Muhammad ibn Muqatil ar-Razi, Muhammad ibn Samma’h, Nushair ibn Yahya al-Balkhi, Syidad ibn al-Hakam dan lainnya. Dari generasi ini kemudian turun dengan sanad yang shahih kepada al-Imam Abu Manshur al-Maturidi.
Dengan demikian pendapat yang mengatakan bahwa risalah-risalah di atas sebagai karya al-Imam Abu Hanifah adalah pendapat benar. Hanya saja risalah-risalah itu adalah hasil pengisian (Imla’) beliau terhadap para sahabatnya yang kemudian dibukukan. Demikian pula pendapat yang mengatakan bahwa risalah-risalah tersebut sebagai karya para sahabat generasi al-Imam Abu Hanifah, atau genarasi yang datang sesudahnya, adalah pendapat yang juga benar, karena risalah-risalah tersebut hasil kodifikasi atau pembukuan mereka. Demikianlah pendapat yang telah dinyatakan oleh al-Imam al-Hafizh Muhammad Murtadla az-Zabidi.
Al-Imam Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami’ Syarh Jama’ al-Jawami’ menyebutkan bahwa para ulama Salaf terdahulu sudah mentradisikan usaha dalam membantah faham-faham ahli bid’ah, baik dengan tulisan-tulisan maupun dalam forum-forum terbuka. Dalam usaha tersebut al-Imam asy-Syafi’i telah menulis kitab al-Qiyas sebagai bantahan terhadap faham yang mengatakan bahwa alam tidak memiliki permulaan. Beliau juga telah menulis kitab dengan judul ar-Radd ‘Ala al-Barahimah, dan beberapa karya lainnya yang khusus ditulis untuk menyerang faham-faham di luar Ahlussunnah. Sebelum al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Abu Hanifah juga telah melakukan hal yang sama. Dalam hal ini al-Imam Abu Hanifah telah menulis kitab al-Fiqh al-Akbar dan kitab al-‘Alim Wa al-Muta’allim untuk membantah orang-orang zindik. Demikian pula dengan al-Imam Malik ibn Anas dan al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Mereka semua adalah para Imam yang giat memerangi faham-faham sesat yang berseberangan dengan akidah Rasulullah dan para sahabatnya.
Kemudian dari pada itu, al-Imam Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari (w 256 H), pimpinan para ahli hadits, penulis kitab al-Jami’ as-Shahih, telah menulis sebuah kitab yang sangat penting berjudul Khalq Af’al al-‘Ibad. Sebuah kitab bantahan terhadap faham Qadariyyah atau Mu’tazilah yang berpendapat bahwa manusia adalah pencipta bagi perbuatannya sendiri. Dengan secara rinci al-Imam al-Bukhari mematahkan satu-persatu faham-faham Qadariyyah, dan menetapkan kebenarakan akidah Ahlussunah bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia sendiri.
Kemudian ahli hadits lainnya yang juga merupakan sahabat al-Imam al-Bukhari; al-Imam Nu’aim ibn Hammad al-Khuza’i (w 228 H) telah menulis sebuah kitab yang sangat penting dalam bantahan terhadap kaum Jahmiyyah dan beberapa kelompok sesat lainnya.
Demikian pula al-Imam Muhammad ibn Aslam at-Thusi (w 242 H), juga seorang ahli hadits terkemuka yang merupakan salah seorang sahabat al-Imam Ahmad ibn Hanbal, telah menuliskan kitab yang sangat penting dalam bantahan terhadap kaum Jahmiyyah. Setidaknya ada tiga orang sahabat al-Imam Ahmad ibn Hanbal yang gigih membela akidah Ahlussunnah dengan tulisan-tulisannya. Mereka adalah al-Imam al-Harits al-Muhasibi; yang juga seorang sufi terkemuka, al-Imam al-Husain al-Karabisi, dan al-Imam ‘Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab al-Qaththan. Termasuk juga dalam hal ini saudara kandung dari Imam yang terakhir disebut; yaitu al-Imam Yahya ibn Sa’id al-Qaththan.
Kemudian di kalangan ulama madzhab Hanafi, masih di masa Salaf, pasca al-Imam Abu Hanifah, ada seorang ulama besar ahli teologi dan ahli hadits juga ahli fikih, yaitu al-Imam Abu Ja’far at-Thahawi (w 321 H). Tulisan risalah akidah Ahlussunnah yang beliau bukukan, yang dikenal dengan al-‘Aqidah at-Thahawiyyah, menjadi salah satu rumusan yang benar-benar terkodifikasi sebagai penjabaran akidah al-Imam Abu Hanifah dan para Imam Salaf secara keseluruhan. Yang hingga sekarang risalah al-‘Aqidah at-Thahawiyyah ini menjadi sangat mashur sebagai akidah Ahlussunnah, yang diterima dari masa ke masa dan antara generasi ke genarasi.
Walaupun al-Imam at-Thahawi tidak pernah bertemu dengan al-Imam Abu Hanifah, karena memang tidak semasa, namun ungkapan-ungkapan yang beliau tulis dalam risalahnya ini adalah perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah yang beliau kutip dengan sanadnya dari para murid-murid al-Imam Abu Hanifah sendiri. Dalam pembukaan risalah al-‘Aqidah at-Thahawiyyah, al-Imam at-Thahawi menuliskan sebagai berikut: “Ini adalah penjelasan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, di atas madzhab para ulama agama; Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari, dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani”[Lihat matan al-‘Akidah at-Thawiyyah dalam Izhar al-‘Akidah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Akidah at-Thawiyyah, karya al-Hafizh as-Syaikh ‘Abdullah al-Habasyi, h. 341].
Tulisan-tulisan tentang Ilmu Kalam kemudian menjadi sangat berkembang, terlebih setelah menyebarnya karya-karya dua Imam Ahlussunnah yang agung, yaitu al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dua Imam ini telah menulis berbagai karya dalam menetapkan rumusan-rumusan akidah Ahlussunnah di tambah dengan bantahan-bantahan terhadap berbagai kelompok di luar Ahlussunnah, dengan argumen-argumen yang sangat kuat, baik dalil-dalil akal maupun dalil-dalil tekstual. Terutama al-Imam al-Asy’ari yang berada di wilayah Bashrah saat itu, beliau adalah sosok yang sangat ditakuti oleh kaum Mu’tazilah.
Al-Hafizh al-Lughawi al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ Ulumiddin menuliskan sebagai berikut:
“Segala permasalah akidah yang telah dirumuskan oleh dua Imam agung; al-Asy’ari dan al-Maturidi adalah merupakan dasar-dasar akidah yang diyakini semua ulama. Al-Asy’ari membangun landasan-landasan karyanya dari madzhab dua imam agung; al-Imam Malik dan al-Imam asy-Syafi’i. Beliau merumuskan landasan-landasan tersebut, merincinya, menguatkannya, dan kemudian membukukannya. Sementara al-Maturidi membangun landasan karyanya dari teks-teks madzhab al-Imam Abu Hanifah”[Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 2, h. 13].
Al-Imam Badruddin az-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami’ menuliskan sebagai berikut:
“al-Imam Abu Bakar al-Isma’ili mengatakan bahwa keagungan ajaran agama Islam ini, yang semula telah padam, kebanyakan telah dihidupkan kembali oleh Ahmad ibn Hanbal, Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan Abu Nu’aim al-Istirabadzi. Dalam pada ini Abu Ishaq al-Marwazi berkata: Saya telah mendengar al-Mahamili berkata dalam pujiannya kepada Abu al-Hasan al-Asy’ari: “Seandainya beliau bertemu Allah dalam keadaan banyak dosa sebanyak tanah di bumi ini, bagiku ia mungkin akan diampuni oleh Allah karena telah benar-benar membela agama-Nya”. Sementara Ibn al-‘Arabi berkata: “Pada permulaannya kaum Mu’tazilah sebagai kaum yang memiliki kedudukan, hingga kemudian Allah menjadikan al-Asy’ari balik menyerang mereka hingga beliau telah menjadikan mereka terkungkung dalam biji-biji wijen, tidak memiiki kekuatan”[Tasynif al-Masami’ Syarh Jama’ al-Jawami’,h. 395].
Di kemudian hari, pasca al-Imam al-Asy’ari dan al-Imam al-Maturidi, Ilmu Kalam ini berkembang lebih pesat lagi. Hal ini ditandai dengan bermunculannya berbagai karya dari para pengikut kedua imam agung tersebut. Sangat banyak karya-karya yang dihasilkan, puluhan bahkan ratusan jilid, dengan argumen-argumen yang lebih matang dan dengan formulasi yang lebih sistematik. Di dalamnya banyak dimuat dialog-dialog dengan firqah-firqah di luar Ahlussunnah, seperti kaum Dahriyyah, kaum Filsafat, kaum Musyabbihah dan bahkan para ahli ramal (al-Munajjimun). Dan kemudian makin banyak bermunculan panji-panji Ahlussunnah yang giat mengibarkan madzhab al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ri di berbagai penjuru dunia Islam.
Di antara mereka yang memiliki andil besar dalam penyebaran akidah ini adalah; al-Imam al-Ustadz Abu Bakar ibn Furak (w 406 H), al-Imam Abu Ishaq al-Isfirayini, dan al-Imam al-Qadli Abu Bakr al-Baqillani (w 403 H). Dua imam yang pertama menjadikan wilayah penyebarananya di daerah timur. Sementara al-Baqillani menyebarkannya di wilayah barat dan timur sekaligus. Maka pada permulaan abad lima hijriyah, dipastikan hampir seluruh pelosok dunia Islam di belahan timur dan barat adalah kaum Ahlussunnah; Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Tidak ada seorang ulamapun, baik ahli Fikih atau ilmu lainnya dalam ulama empat madzhab, kecuali di dalam akidah dia adalah seorang pengikut al-Asy’ari atau pengikut al-Maturidi. Adapun kelompok yang menyempal dari Ahlussunnah, hanyalah kelompok-kelompok kecil dari firqah Mu’tazilah, Musyabbihah dan beberapa gelintir orang-orang Musyabbihah.

Disini kelihatan keanihan ‘KEJADIAN’ kepada yang berfikir kerana ‘DIFIKIRKAN’ olih yang Maha Pemikir. Minda hanyalah satu wadah (satu bidang layar putih) setelah tercoret dengan aksi2 ketuhanan, maka baharulah diungkapkan ‘BERFIKIR’. 

Begitulah indah loretan2 keTuhanan dilapangan minda yang hening. Berilah keluasan pada saat hidup anda untuk merentas kekaburan keEsaan Illahiyat. Kendurkan naluri kesangka2an yang 'mentarafkan diri' kelembah ternakan, dicangkuk hidung ditarik kegurun taqlid/ tiruan/ ikutan ilmu.

1 ulasan: