Selasa, 29 April 2014

Biografi Al Farabi | Tokoh Islam Dunia


Al-Farabi mempunyai nama lain diantaranya adalah Abu Nashr Muhammad Ibn Thorkhan Ibn Al-UzalaghAl-Farabi, dikalangan orang-orang latin abad pertengahan Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunasaer). Sebenarnya nama julukan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, Beliau dilahirkan di desa Wasij di Distrik Farab (Utrar, provinsi Transoxiana, Turkestan) pada tahun 257 H (870M), kadang-kadang Beliau mendapat sebutan orang Turki, sebab ayahnya sebagai orang Iran menikah dengan wanita Turki.[1]

Sangat sedikit yang kita bias ketahui tentang Al-Farabi, kebanyakan infornasi biografis tersebut tiga abad setelah wafatnya. Beberapa hal yang dapat kita ketahui tentang latar belakang keluarga Al-farabi adalah bahwa ayahnya seorang Opsir tentara pada Dinasti Samaniyyah yang menguasai wilayah Transoxiana wilayah otonom Bani Abbasyyah.[2] Keturunan Persia (kendatipun nama kakek dan kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki). Ayahnya mengabdi pada pangeran-pangeran Dinasti Samaniyyah.[3] Al Farabi meninggal di Damaskus pada bulan Rajab 339 H/Desember 950 M pada usia 80 tahun, dan dimakamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-saghir) kota bagian selatan.[4]

2. PENDIDIKAN AL FARABI

Sejak kecil Al-Farabi tekun dan rajin belajar, dalam olah kata, tutur bahasa ia mempunyai kecakapan yang luar biasa. Penguasaan terhadap Iran, Turkistan dan Kurdistan sangat dia pahami, justru bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa Ilmu Pengetahuan pada masa itu belum dia kuasai. Pendidikan dasarnya ditempuh di Farab, yang penduduknya bermazhab Syafii.[5]

Untuk memulai karir dalam pengetahuannya, dia berhijrah dari negrinya ke kota Bagdad pada tahun 922 M yang mana pada waktu itu disebut sebagai kota Ilmu pengetahuan. Beliau belajar disana kurang lebih 10 tahun. Dengan berbekal ketajaman integensi sejak awal, dan mendapat karunia besar untuk menguasai hamper semua pelajaran yang dipelajari, Ia segera terkenal sebagai seorang filosof dan ilmuwan.[6] Beliau sangat menguasai semua cabang filsafat, logika, fisika, ketuhanan, ilmu alam, kedokteran, kimia, ilmu perkotaan, ilmu lingkungan, fiqih, ilmu militer, dan musik.[7] Di Baghdad, Beliau berguru kepada Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab dan kepada Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus untuk belajar filsafat dan logika. Beliau juga belajar kepada seorang Kristen Nestorian, tokoh filsafat aliran Alexandria yang banyak menterjemahkan filsafat Yunani, yaitu Yuhana Ibn Hailan yang sekaligus mengajak Al Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantinopel, Al Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar, dan menulis filsafat.

3. KARIER AL FARABI

Al-Farabi dikenal sebagai filsuf besar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh menyeluruh dan mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang seseudahnya seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil filsafatnya. Pandangan al-Farabi tentang filsafat terbukti dengan usahanya untuk mengahiri kontradiksi antara pemikiran Plato dengan Aristoteles melalui risalahnya ‘Al-Jami’u baina ra’yay al-Hakimain Aflatun wa Aristhu’, pengetahuan yang mendalam tentang filsafat Plato dan Aristoteles menyebabkan Al-Farabi dijuluki sebagai ‘Al-Mu’alim At-Tsani’ (Guru kedua) sedangkan Al-Mu’alim al-awal (Guru pertama) adalah Aristoteles.[8]

Pada tahun 330 H (945 M) Beliau pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Di tempat ini beliau bertemu dengan para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih, dan cendekiawan lainnya. Di Damaskus Al Farabi bekerja di siang hari sebagai tukang kebun, dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat. Al Farabi terkenal sangat saleh dan zuhud.[9] Kemudian sultan memberi kedudukan kepada beliau sebagai ulama istana dengan imbalan yang besar sekali, tetapi Al-Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik kepada kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi hanya membutuhkan empat dirham untuk sekedar memenuhi kehidupan sehari-hari. Sedangkan tunjangannya, Beliau bagikan kepada fakir-miskin dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus. Kurang lebih 10 tahun Al-Farabi hidup di dua kota tersebut secara berpindah-pindah.


4. POKOK-POKOK PEMIKIRAN AL FARABI

Pokok-pokok pemikiran filsafat filsuf Al Farabi yang akan kami bahas, antara lain:

a. Filsafat Al Farabi

Al Farabi mendefinisikan filsafat adalah: Al Ilmu Bilmaujudaat Bima Hiya Al Maujudaat, yang berarti suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Bagi al Farabi, tujuan filsafat dan agama sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakini dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama memakai cara iqna’i (pemuasan perasaan), dan kiasan-kiasan, serta gambaran, dan ditujukan kepada semua orang, bangsa, dan negara.[10] Al Farabi berhasil meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat Plato dan Aristoteles, sebab kelihatan berlainan pemikirannya tetapi hakikatnya mereka bersatu dalam tujuannya.

Al Farabi mendasarkan hidupnya atas kemurnian jiwa, bahwa kebersihan jiwa dari kotoran-kotoran merupakan syarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya. Al Farabi mempunyai dasar berfilsafat adalah memperdalam ilmu dengan segala yang maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai penciptanya. Dengan arah ke situ, maka filsafat adalah ilmu satu-satunya yang dapat menghamparkan di depan kita dengan gambaran yang lengkap mengenai cakrawala dengan segala cosmosnya (kaum).[11] Menurut Al Farabi tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat ialah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan, dan keadilan-Nya.[12]

b. Filsafat Politik Al Farabi

Al Farabi berpendapat bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif, dan akhlak. Semua tindakan tersebut dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat manusia dapat melakukan seperti itu, dan bagaimana yang mengatur, memelihara tindakan dengan cara yang baik dapat diteliti. Dengan kata lain, politik adalah bentuk operasional dari pemerintah dan raja. Pemerintah, raja, atau penguasa ini haruslah orang yang paling unggul, baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada.[13] Adapun pemerintahan dapat menjadi benar-benar baik jika ada teoritis dan praktis bagi pengelolannya.[14]

c. Definisi dan Esensi Jiwa

Al Farabi mendefinisikan jiwa sebagaimana definisi Aristoteles, yaitu ‘kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik’.[15] Makna ‘jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi fisik’ adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang bertindak. Kemudian makna ‘mekanistik’ adalah bahwa badan menjalankan fungsinya melalui perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang beragam. Sedangkan makna ‘memiliki kehidupan energik’ adalah bahwa di dalam dirinya terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.

d. Filsafat Metafisika Al Farabi

Pembicaraan metafisika ini berkisar pada masalah Tuhan, wujud-Nya, atau kehendak-Nya.

1. Ilmu Ketuhanan

Al-Farabi membagi ilmu ketuhanan menjadi tiga[16], yaitu:

§ Membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud.

§ Membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat (particulars), yaitu ilmu yang berdiri sendiri karena penelitiannya tentang wujud tertentu. Seperti ilmu mantiq (logika), matematika, atau ilmu juzz’iyyat lainnya.

§ Membahas semua wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu.

2. Wujud

Al Farabi membagi wujud kepada dua bagian[17], yaitu:

§ Wujud yang mungkin atau wujud yang nyata karena lainnya. Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak wujud. Dengan kata lain cahaya adalah wujud yang mungkin. Karena matahari telah wujud maka cahaya itu menjadi wujud yang nyata karena matahari.

§ Wujud nyata dengan sendirinya. Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya, yaitu wujud yang diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemusyrikan. Kalau itu tidak ada, maka yang lainpun tidak akan ada sama sekali. Ia adalah sebab pertama bagi semua wujud yang ada. Dan wujud yang wajib ada inilah Tuhan.

3. Sifat-Sifat Tuhan

Tuhan adalah tunggal. Ia tidak berbeda dari zat-Nya. Tuhan merupakan akal (pikiran) murni, karena yang menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi objek pemikiran adalah benda, maka sesuatu itu berada. Apabila wujud sesuatu tidak membutuhkan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal. Demikian juga zat-Nya juga menjadi obyek pemikiran Tuhan sendiri (ma’qul), karena yang menghalang-halangi untuk menjadi obyek pemikiran adalah benda pula. Jadi, ia adalah obyek pemikiran, karena ia adalah akal pikiran. Ia tidak membutuhkan sesuatu yang lain untuk memikirkan zat-Nya sendiri, tetapi cukup dengan zat-Nya itu sendiri pula untuk menjadi obyek pemikiran. Dengan demikian zat Tuhan yang satu itu juga akal (pikiran), zat yang berfikir, dan zat yang dipikirkan, atau ia menjadi aqal, ‘aqil, dan ma’qul.[18]

e. Filsafat Kenabian Al Farabi

Persoalan kenabian ada pada agama, tetapi agama yang dimaksud adalah agama samawi/langit, di mana secara esensial berasal dari pemberitahuan wahyu dan ilham (inspirasi). Berdasarkan wahyu dan ilhamlah segala kaidah dan sendi-sendinya menjadi tegak. Dalam ajaran Islam, wahyu merupakan sumber inspirasi yang pasti, yang harus dijadikan pedoman baginya dalam operasionalisasi ajaran. Ciri khas seorang nabi bagi al Farabi adalah mempunyai daya imaginasi yang kuat di mana obyek inderawi dari luar tidak dapat mempengaruhinya. Ketika ia berhubungan dengan ‘Aql Fa’al (akal 10) ia dapat menerima fisi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu adalah limpahan dari Tuhan melalui ‘Aql Fa’al yang dalam penjelasan al Farabi adalah Jibril.[19] Wahyu mudah dan jelas diterima oleh manusia, pertolongan Malaikat Jibril yang dapat mengubah bermacam-macam bentuk, seperti malaikat-malaikat lain juga, bertugas sebagai penghubung antara Tuhan dengan nabi-nabi-Nya.[20]

f. Pola Pikir Tasawuf Al Farabi

Al Farabi adalah seorang filosuf yang telah menghimpun berbagai konsepsi di mana sendi-sendinya menjadi suatu mata rantai yang saling berkait. Dalam hal ini kita bias melihat teori sufi yang merupakan bagian dari pandangan filosofis Al Farabi. Bukti yang paling kuat dalam masalah ini adalah adanya korelasi yang kuat untuk menghubungkan tasawuf dengan teori-teori Al farabi yang lain, baik psikologis, moral, maupun politik. Sebagai cirri khas dari teori tasawuf yang dikatakan Al Farabi adalah pada asas rasional. Tasawuf Al Farabi bukanlah tasawuf spiritual semata yang hanya berlandaskan kepada sikap menerangi jism dan menjauh dari segala kelezatan guna mensucikan jiwa dan meningkat menuju derajat-derajat kesempurnaan, tetapi tasawufnya adalah tasawuf yang berlandaskan pada studi. Sedangkan kesucian jiwa menurutnya tidak akan sempurna apabila hanya melalui jalur tubuh dan amal-amal badaniyah semata, tetapi secara esensial juga harus melalui jalur akal dan tindakan-tindakan pemikiran. Dengan demikian, meski sudak memiliki keutamaan alamiah jasmaniyah, tetap harus ada keutamaan-keutamaan rasional teoritis.[21]

g. Teori Kebahagiaan

Menurut Al Farabi, kebahagiaan adalah pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia. Dan itulah tingkat akal mustafad, dimana ia siap menerima emanasi seluruh objek rasional dari akal aktif. Dengan demikian, perilaku berfikir adalah perilaku yang dapat mewujudkan kebahagiaan bagi manusia.[22] Manusia mencapai kebahagiaan dengan perilaku yang bersifat keinginan. Sebagian di antaranya berupa perilaku kognitif dan sebagian lain berupa perilaku fisik, serta bukan dengan semua perilaku yang sesuai, tetapi dengan perilaku terbatas dan terukur yang berasal dari berbagai situasi dan bakat yang terbatas dan terukur. Perilaku berkeinginan yang bermanfaat dalam mencapai kebahagiaan adalah perilaku yang baik. Situasi dan bakat yang menjadi sumber perilaku yang baik adalah adalah keutamaan-keutamaan. Kebaikan tersebut bukan semata-mata untuk kebaikan itu sendiri, tetapi kebaikan demi mencapai kebahagiaan. Perilaku yang menghambat kebahagiaan adalah kejahatan, yaitu perilaku yang buruk. Situasi dan bakat yang membentuk perilaku buruk adalah kekurangan, kehinaan, dan kenistaan.

h. Logika

Sebagian besar karya Al Farabi dipusatkan pada studi tentang logika. Tetapi hal ini hanya terbatas pada penulisan kerangka Organom, dalam versi yang dikenal oleh para sejarah Arab pada saat itu. Al Farabi menyatakan bahwa: ‘seni logika umumnya memberikan aturan-aturan yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang besar dan mengarahkan manusia secara langsung kepada kebenaran dan menjauhkan dari kesalahan-kesalahan’. Menurrutnya, logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti, sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata, dan ilmu mantra dengan syair. Ia menekankan praktek dan penggunaan aspek logika, dengan menunjukkan bahwa pemahaman dapat diuji lewat aturan-aturannya, sebagaimana dimensi, volume, dan massa ditentukan oleh ukuran.[23]

i. Teori Pengetahuan

Al Farabi berpendapat bahwa jendela pengetahuan adalah indera, sebab pengetahuan masuk ke dalam diri manusia melalui indera. Sementara pengetahuan totalitas terwujud melalui pengetahuan parsial, atau pemahaman universal merupakan hasil penginderaan terhadap hal-hal yang parsial. Jiwa mengetahui dengan daya. Dan indera adalah jalan yang dimanfaatkan jiwa untuk memperoleh pengetahuan kemanusiaan.[24] Tetapi penginderaan inderawi tidak memberikan kepada kita informasi tentang esensi segala sesuatu, melainkan hanya memberikan sisi lahiriah segala sesuatu. Sedangkan pengetahuan universal dan esensi segala sesuatu hanya dapat diperoleh melalui akal.[25]

j. Teori Akal

Al Farabi mengelompokkan akal menjadi dua, yaitu:

§ Akal praktis, yaitu yang menyimpulkan apa yang mesti di kerjakan; dan teoritis, yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa. Akal teoritis ini di bagi lagi menjadi dua, yaitu:

1) Akal fisik (material), Akal fisik, atau sebagaimana sering di sebut Al Farabi sebagai akal potensial, adalah jiwa atau bagian jiwa atau unsur yang mempunyai kekuatan mengabstraksi dan menyerap esensi pada setiap hal yang ada tanpa disertai materinya. Akal terbiasa/bakat (habitual), merupakan rasionalisasi dari akal fisik, ketika akal fisik telah mengabtraksi maka dengan begitu seseorang kemudian akan mencari objek untuk membuktikan fisik tersebut karena akal bakat/habitual/aktual akan menjadi aktif jika disandarkan pada objek rasional yang dipikirkan oleh seseoarang sedangkan objek rasional yang belum dipikirkan adalah potensi.

2) Akal diperoleh (acquired). Ketika akal aktual menghasilkan semua objek akal maka seseorang akan menjadi manusia sejati dengan mengunkan realisasi akal yang telah dikembangkan.

k. Teori Sepuluh Kecerdasan

Teori ini menempati bagian penting dalam filsafat muslim, ia menerangkan dua dunia, langit dan bumi, ia menafsirkan gejala gerakan dua perubahan. Ia merupakan dasar fisika dan astronomi. Bidang utama garapannya ialah memecahkan masalah yang Esa dan yang banyak dan pembandingan antara yang berubah dan yang tetap. Al Farabi berpendapat bahwa yang Esa, yaitu Tuhan, yang ada dengan sendirinya. Karena itu, ia tidak memerlukan yang lain bagi adanya atau keperluannya. Ia mampu mengetahui dirinya sendiri. Menurut Al Farabi, Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Tuhan mengetahui zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Jadi, dapat dikatakan bahwa akal Tuhan adalah aqil (berpikir), dan ma’qul (dipikirkan), melalui ta’aqul, Tuhan dapat mulai ciptaan-Nya. Ketika Tuhan mulai memikirkan, timbullah suatu wujud baru atau akal baru yang disebut yang disebut Al Farabi dengan sebutan Al Aqlul Awwal (akal yang pertama). Berkelanjutan dari akal pertama yang ta’aqul tentang pemikiran Tuhan dan dirinya sendiri. Dengan ta’aqul Tuhan melimpah ke Al Aqlits Tsani (akal kedua), yang dapat menimbulkan al Falaqul Aqsha (langit yang paling luar), maka timbul sifat pluralitas dari alam makhluk. Al Aqlits Tsani, memimbulkan Al Aqluts Tsalis (akal ketiga) bersama timbulnya Karatul Kawakibits Tsabitah, langit bintang-bintang tetap. Kemudian Al Aqluts Tsalis melimpah ke Al Aqlur Rabi’ (akal keempat) yang menimbulkan langit bintang Zuhal (Saturnus). Kemudian melimpah ke Al Aqlul Khamis (akal kelima) dengan munculnya langit bintang Musytari (Yupiter). Lalu ke Al Aqlul Sadis (akal keenam) bersama bintang Mirris (Mars). Selanjutnya ke Al Aqluts Tsabi’ (akal ketujuh) dengan munculnya langit Matahari. Al Aqluts Tsamin (akal kedelapan) bersama langit bintang Zuhrah (Venus). Al Aqlut Tasi’ (akal kesembilan) dengan langit bintang ‘Utharid (Merkurius). Akhirnya, Al Aqlul ‘Asyir (akal kesepuluh) ini dinamakan Al Aqlul Fa’al (akal yang aktif bekerja), orang barat menyebut Active Intellect.

Jumlah inteligensi adalah sepuluh, terdiri atas inteligensi pertama dan sembilan inteligensi planet dan lingkungan. Melalui ajaran sepuluh inteligensi ini, Al Farabi memecahkan masalah gerak dan perubahan. Ia menggunakan teori ini ketika memecahkan masalah Yang Esa dan yang banyak, dan dalam memadukan teori materi Aristoteles dengan ajaran Islam tentang penciptaan.

2.5 KARYA-KARYA AL FARABI

Al Farabi meninggalkan banyak karya tulis, yang secara garis besar bisa dikelompokkan dalam bebrapa tema, seperti logika, fisika, metafisika, politik, astrologi, music, dan beberapa tulisan yang berisi tentang sanggahan pandangan filosof tertentu.[26] Karya-karya Al Farabi diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Risalah Shudira Biha al Kitab (Risalah yang dengannya Kitab Berawal)
b. Risalah fi Jawab Masa’il Su’ila ‘Anha (Risalah tentang Jawaban atas Pertanyaan yang Diajukan tentang-Nya.
c. Syarh Kitab al Sama’ al Tabi’I li Aristutalis (Komentar atas Fisika Aristoteles)
d. Syarh Kitab al Sama’ wa al ‘Alam li Aristutalis (Bahasan atas Kitab Aristoteles tentang Langit dan Alam Raya)
e. Al-Jami’u Baina Ra’yai Hakimain Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (Pertemuan/Penggabungan Pendapat antara Plato dan Aristoteles)
f. Tahsilu as Sa’adah (Mencari Kebahagiaan)
g. Fushus al Hikam (Permata Kebijaksanaan)
h. Fususu al Taram (Hakikat Kebenaran)
i. Kitab fi al Wahid wa al Wahdah (Kitab tentang Yang Satu dan Yang maha Esa)
j. As Syiyasyah (Ilmu Politik)
k. Kitab al Millat al Fadlilah (Kitab tentang Komunitas Utama)
l. Ihsho’u Al Ulum (Kumpulan Berbagai Ilmu)
m. Arroo’u Ahl al-Madinah Al-Fadilah (Pemikiran-Pemikiran Utama Pemerintahan)
n. Al-Siyasah al-Madaniyah (politik pemerintahan)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Filsafat itu menyelidiki ,membahas, serta memikirkan seluruh alam kenyataan dan menyelidiki bagaimana hubungan kenyataan satu sama lain jadi ia memandang satu kesatuan yang belum di pecah-pecah serta pembahasan secara keseluruhan, sedangkan ilmu lain itu hanya menyelidiki sebagian saja dari alam maujud ini.
Ketika mempelajari filsafat islam kita juga akan mempelajari beberapa tokoh filosof muslim beserta pemikiranya.
Dalam makalah ini kita akan membahas salah satu dari filosof muslim yakni Al- Farabi beserta karya-karyanya dan cara berfilsafatnya.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana biografi al- farabi ?
b. Apasaja peran Al- Farobi dalam filsafat ?
c. Bagaimana pemikiran Al-farobi ?
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui biografi al- farabi
b. Untuk peran al- farabi dalam filsafat
c. Untuk mengetahui pemikiran al- farabi






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Singkat AL- Farabi
Mengenal sosok atau biografi kehidupan seorang tokoh adalah hal yang sangat penting sebelum mengkaji buah pemikiran seorang tokoh. Sehingga sudah barang tentu kita harus mengenal siapa sosok Ibnu Farabi, meskipun hanya sepintas atau sedikit. Berikut biografi singkat beliau.
Nama lengkap beliau adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhn ibn Auzalagh. Dikalangan orang latin abad tengah ia lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunaser). Ia dilahirkan di Wasij, distrik farab sekarang lebih dikenal dengan kota Atrar, di daerah Turkistan  pada 257 H/870 M. ibunya berkebangsaan Turki, sementara  Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia.[1] Sejak kecil ia telah meninggalkan kota kelahirannya. Ia mengembara ke berbagai Negara hingga akhirnya tibalah ia ke kota Baghdat, pusat peradaban saat itu di sana ia memperdalam Filsafat selama dua puluh tahun Ia pernah mengajar dan mengulas beberapa buku-buku filsafat yunani, diantara anak muridnya yang terkenal adalah Yahya Ibn ‘Adi, seorang filosuf kristen.
Karena kepintaran dan kepakarannya dibidang Filsafat, ia diangkat menjadi seorang ulama istana pada saat pemerintahan Saif al-Daulah al-Hamdani sebuah dinasti Hamdan di Aleppo kota Damaskus. Dengan demikian ia mendapatkan tunjangan yang lumayan besar, namun ia lebih memilih hidup sederhana dengan empat dirham untuk memenuhi hidupnya dalam 1 hari, dan selebihnya ia sedekahkan kepada para fakir miskin di daerah Aleppo dan Damaskus, bahkan diriwayatkan ia sering kelihatan pada waktu malam sedang membaca dan mengarang dibawah sinar lampu penjaga malam.[2]
Hampir 10 tahun ia hanya berpindah-pindah dari dua kota itu, yang pada akhirnya hubungan dua kota itu semakin memburuk, alhasil membuat sultan  Saif ad-Daulah menyerbu kota Damaskus dan berhasil menaklukkanya, sementara Al-Farabi diikut sertakan dalam penyerbuan itu. Sampai akhirnya ia menutup mata selama-lamanya di kota itu dalam usia 80 tahun.



B.     Peran Al-Farabi Dalam Filsafat
Al-Farabi merupakan Filusuf yang pertama yang berhasil memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh seperti di dalam kitab karangannya yang berjudul Ihsha’u al-‘Ulum” yang memandang Filsafat secara utuh dan sempurna serta membahasnya secara mendetail[3] ia juga sangat terkenal akan kepakarannya dalam hal filsafat Aristoteles sehingga ia dikenal dengan sebutan Mu’allim Tsani (Guru kedua).[4]
Selain itu lewat usahanya pula perdebatan antara Filsafat Plato dan Aristoteles akhirnya berakhir. Ia berhasil menyatukan kedua filsafat tersebut lewat karyanya “Al-Jam’u baina Ra’yay al-Hakimain Alfathun wa Aristhu”  yang sering menjadi rujukan para filosuf sesudahnya seperti Ibnu Rusdy dan Ibnu Sina[5]  Dalam karyanya ini ia berhasil memadukan pemikiran kedua Filsafat ini yakni Plato dan Aristoteles.dalam temuannya ini dikenal dengan istilah “Pemaduan Falsafah” (al-falsafah at-Taufiqiyyah) salah satu contohnya adalah teori simbol dan gaya bahasa.[6] Dalam memahami pemikiran Plato dalam setiap karangannya maka akan menemukan kesulitan dalam memahaminya karena Plato lebih banyak menggunakan gayabahasa yang sulit serta kiasan-kiasan yang sulit dimengerti. Hal ini terkadang membuat penafsiran yang berbeda mengenai pemikirannya. Gaya bahasa serta kiasan-kiasan yang dibuat Plato dalam setiap karangannya karena menurutnya Filsafat hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu saja. Hal ini sungguh berbeda sekali dengan Aristoteles yang menggunakan gaya bahasa yang sistematis dan mudah difahami. Namun dalam beberapa hal terdapat juga pembahasan yang sulit dipahami seperti dalam hal akhlaq, ilmu fisika dan metafisika. Karena memang Aristoteles memang membatasi hal ini hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dan Ibnu Farabi menetapkan bahwa hakekatnya kedua Filosuf ini (Platod dan Aristoteles) membatasi Filsafat hanya untuk orang-orang tertentu saja. Tidak untuk semua orang.[7]
Alfarabi berkesimpulaan bahwa Aristoteles dan Plato memiliki tujuan yang sama yakni mencari sebuah kebenaran, keduanya bertemu dan berjalan seiringan, Alfarabi menamakannya Neo Plato (Neo Platonisme). Keduanya berjalan seiringan hingga akhirnya tiba di dalam Islam, yakni keyakinan Islam.[8]
C.    Pemikiran Ibnu Farabi Dalam Filsafat
Dalam membahas pemikiran Ibnu Farabi ini kami membagi pemikirannya menjadi beberapa segi diantaranya, metafisika, akhlaq, jiwa dan lain sebagainya.

1.      Metafisika
Pembahasan mengenai Metafisika ini al-Farabi memulai bahasan mengenai masalah wujud Allah. Al-Farabi mengemukakan dalil dalam falsafah yang dikenal dengan dalil (Ontologi) : Dalil yang berpijak pada konsep wajib dan Mungkin.[9] Menurut Al-Farabi wujud ada dua macam :
a)    Mumkin Wujud, adanya wujud yang nyata karena ada yang lainnya. Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari.
b)   Wajibul Wujud Lidzatihi, adanya wujud yang nyata dengan terjadi dengan sendirinya. Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Ia adalah sebab yang pertama bagi semua wujud.[10]
Kata al-Farabi untuk mengetahui Tuhan dapat dibuktikan dengan adanya bukti dari teori gerak. Semua yang terdapat dialam semesta selalu bergerak yang pada gilirannya bermuara pada satu hal yang pasti, yaitu adanya sesuatu yang  tidak bergerak tetapi bertindak sebagai penggerak.[11]
Kemudian pada masalah lainya seperti zat Tuhan, Bagi Al-Farabi tuhan adalah aql murni, Ia esa adanya dan yang menjadi objek pemikirannya hanya substansi-Nya. Jadi tuhan adalah ’aql, ‘aqil, dan ma’qul (akal, substansi yang berfikir dan substansi yang difikirkan).[12]
Tuhan yang digambarkan oleh Al-Farabi adalah tuhan yang jauh dari makhluq-Nya, dan ia tidak dicapai kecuali dengan jalan renungan dan amalan serta pengalaman-pengalaman tasawuf.[13]
Kemudian mengenai penciptaan alam semesta, Al-Farabi yang ingin mengselaraskan filsafat Yunani dengan Islam sehingga cendrung menggunakan teori Emanasi yang diusung Platonisme[14], menurutnya tuhan menciptakan sesuatu dengan bahan yang sudah ada secara pancaran.[15] Pancaran (emanasi) alam dari tuhan terjadi sebagai akibat aktivitas tuhan memikirkan (berta’aqul terhadap) diri-Nya. Aktivitas memikirkan itu menjadi sebab bagi pemancaran segenap alam ciptaan-Nya. Seperti pemancaran sinar dari matahari.[16]Perbedaan teori Emanasi yang dianut Platonisme Yunani dengan Emanasi Al-Farabi terletak pada asal dari pancaran tersebut. Menurut filsafat Platonisme bahwa asal pancaran itu bukanlah tuhan, akan tetapi bagi filsafat yunani tuhan bukan pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama (Prima Causa). Sementara Al-Farabi menyatakan bahwa asal dari pancaran tersebut adalah Tuhan (pencipta),
1.      Jiwa
Filsafat Plato , Aristoteles serta Plotinus, mempengaruhi Al-Farabi tentang jiwa. Jiwa menurut Al-Farabi bersifat Rohani, ia terwujud setelah adanya badan, dan ia tidak bisa berpindah-pindah dari badan kebadan yang lain.
Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, ia berasal dari alam Ilahi sementara jasad berasal dari alam khalq, berbentuk,berupa, berkadar dan bergerak. Dalam jiwa manusia mempunyai daya gerak (makan, memelihara, berkembang), daya mengetahui (merasa, imaginasi), daya berfikir (akal praktis, akal teoritis) sementara daya teoritis (akal potensial, akal aktual, akal mustafad) Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membagi antara Jiwa Khalidah dan Jiwa Fana. Jiwa khalidah adalah jiwa yang mendapatkan kebahagiaan, karena ia bisa melepaskan diri dari kenikmatan jasmani, ia tidak hancur karena hancurnya jasad. Yang termasuk kelompok ini adalah akal mustafad. Sementara jiwa fana tidak sempurna, ia akan hancur seiring hancurnya jasad. Ia akan kekal, tapi dalam kesengsaraan.
2.      Politik
Dalam pemikiran politiknya, Al-Farabi banyak terpengaruh pemikiran Platonisme disamping ia selaraskan dengan Islam.
Dalam pembahasannya mengenai Negara, Al-Farabi menyamakan Negara sama dengan Manusia, yakni seperti yang difahami bahwa Manusia memiliki organ-organ tubuh yang saling bekerja dengan baik.[17]
 Misalnya tangan dengan otak manusia,yang tangan diperintah oleh otak, demikian pula terkadang otak juga diatur oleh Hati yang memiliki perasaan yang mempertimbangkan baik atau buruknya. Menurutnya bahwa yang paling terpenting dari Negara adalah pemimpinnya. Oleh karena itu agar Negara menjadi baik dan maju hendaklah yang menjadi pemimpinnya adalah paling unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya. Dan ia harus memiliki kualitas-kualitas berupa kecerdasan, sehat jasmani, memiliki tutur kata yang baik, cinta pada pengetahuan, cepat tanggap, cinta akan kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, membela keadilan, dan tidak rakus serta menjauhi kelezatan-kelezatan jasmani.[18] namun dalam pemikirannya selanjutnya, karena A-Farabi ingin menselaraskan Filsafat Platonisme dengan Islam sehingga ia menambahkan sebuah syarat lagi bagi seorang pemimpin yang ideal yaitu: akal-fa’al, pemikiran Al-Farabi yang mulai memasuki alam khayalan dimana menurutnya sebuah Negara yang masyarakatnya adalah orang-orang yang suci dan kepala Negara atau pemimpin negaranya adalah seorang Nabi. Sehingga dari pemikiran ini dapatlah kita simpulakan bahwa A-farabi lebih banyak berbicara dalam hal teori dari pada relistis pragmatis, karena memang ia adalah seorang ahli fikir yang dalam.[19]

3.      Akhlaq
Dalam hal ini Al-Farabi menjelaskan bahwa akhlaq itu bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan yang merupakan tujuan tertinggi yang dirindui, maka wajar kalau masalah akhlaq adalah sesuatu yang paling banyak ditulis oleh Al-Farabi dalam berbagai kitabnya.
Dalam kitab Risalah al-Tanbih ‘ala subul al-Sa’adah dan Tahshil al-Sa’adah Al-Farabi menekankan ada empat jenis sifat utama yang harus dimiliki oleh setiap orang, untuk mendapatkan kebahagiaan didunia dan diakhirat.
(1) Keutamaan Teoritis, prinsip-prinsip pengetahuan yang kita dapat  sejak awal tanpa kita tahu cara dan asalnya. Juga termasuk dengan kontemplasi, penelitian, juga melalui belajar mengajar.
 (2) Keutamaan Pemikiran, adalah yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal bermanfaat dalam tujuan.
(3) Keutamaan Akhlaq, bertujuan untuk mencari kebaikan, dan ini menjadi syarat keutamaan pemikiran.
 (4) Keutamaan Amaliah, dapat diperoleh dengan dua cara, pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang atau dengan cara lain yaitu dengan pemaksaan.[20]

4.      Teori Kenabian
Karena pada masa Al-Farabi pemikiran yang berkembang mengenai kenabian adalah menolak akan kenabian seperti pemikiran Ahmad ibn ishaq al-Ruwandi dan  Zakaria al-Razi, yang menolak akan eksistensi Kenabian,[21]
Maka Al-Farabi yang memiliki pemikiran yang berbeda yakni menerima eksistensi kenabian membuat Al-Farabi mencoba melawan pemikiran tersebut. Meskipun Al-Farabi dikenal sebagai seorang yang rasionalis namun hal itu bukan berarti ia menolak eksistensi wahyu Tuhan dan Kenabian.[22]
Menurutnya Adanya Nabi dan Rasul yang diutus kedunia, bahwa pada umat manusia, akal dan potensi jiwa mereka terdapat perbedaan keunggulan dalam aktualitas dalam menangkap informasi secara utuh dan lengkap. Seperti kenyataan bahwa ada orang yang unggul dari orang lain. Dengan demikian  tidak mustahil bahwa ada orang yang hatinya mampu menerima wahyu, sementara orang lain tidak sanggup.[23]  kemudian menurut Al-Farabi ciri khas seorang nabi adalah bahwa seorang Nabi mempunyai daya imaginasi yang kuat, dimana obyek indrawi diluar tidak dapat mempengaruhinya. Jadi manakala ia menerima visi kebenaran atau wahyu dari tuhan melalui aql fa’al ia mampu berkomunikasi dengan baik. Al-Farabi kembali menambahkan bahwa kemampuan seorang Nabi berhubungan dengan malaikat Jibril tanpa diawali latihan,  karena Allah telah menganugerahinya dengan kekuatan suci (Qudsiyah). Sementara filsuf dapat berhubungan dengan Tuhan melalui akal Mustafad (perolehan) yang sudah terlatih  dan kuat daya tangkapnya, sehingga dapat menerima hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal. Dengan demikian antara nabi dan filsuf tidak sejajar tingkatannya, karena setiap nabi adalah filsuf sementara tidak semua filsuf itu nabi.[24] Karena adanya unsur pilihan. Kembali menurut Al-Farabi bahwa karena nabi dan filsuf sama-sama dapat berhubungan dengan Akal, maka antara wahyu dan filsafat tidak terdapat pertentangan.[25]

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Demikianlah pembahasan mengenai Ibnu Farabi atau Al-Farabi dalam setiap tokoh sudah menjadi hal yang lumrah bahwa manusia memiliki kekurangan dan kelebihan. Terkadang bertindak atau berperilaku benar dan juga salah. Dalam berfikir juga demikian salah dan benar memang tidak aneh lagi jika menimpa seseorang. Karena manusia memang tidak terlepas dari salah dan lupa. Apalagi dalam masalah filsafat. Lebih tidak aneh lagi kalau seorang Filosuf berfikir salah, atau nyeleneh. Untuk itu dalam pemikiran Ibnu Farabi ini tentunya berlaku hukum tersebut yaitu ada yang salah dan ada pula yang benar. maka alangkah indahnya apa yang dikatakan Syeikh Bin Baz ketika ditanya bagaimana pandangan  beliau terhadap Dr. Sayyid Qutb, maka Syeikh Bin Baz menjawab dengan kata-kata beliau yang indah; “Setiap manusia tidak akan terlepas dari benar dan salah. Maka yang benar dari beliau (Sayyid Qutb) maka ambilah, jika itu salah maka tinggalkanlah”.

                                               DAFTAR PUSTAKA

Ø  Aceh, Abu Bakar, “Sejarah Filsafat Islam”, Sala: CV. Ramadhani, Cet. II,  1982.
Ø  Dahlan, Abdul Aziz Pemikiran Filsafat dalam Islam, Padang: IAIN IB PRESS, 2000,
Ø  Drajat, Amroeni “Filsafat Islam Buat Yang Pingin Tahu,”, Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006
Ø  Hanafi, Ahmad, “Pengantar Filsafat Islam,” Bulan Bintang, Jakarta: cet.VI , 1996
Ø  Jamia’ah Arraniry,Proyek pembinaan Perguruan Tinggi Agama Iain ,“Filsafat Islam” 
Ø  Nasution, Hasyimsyah, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. III,  2002.
Ø  Nasution,Harun, “Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam”, Jakarta: Pt Bulan Bintang, Cet. X, 1999

[1] . Hasyimsyah Nasution, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, Cet. III,  Hal. 32
[2] . Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Iain Jamia’ah Arraniry, “Filsafat Islam” ,Hal. 35
[3] . “Ibid”., Hal. 35
[4] . Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet. VI, Hal. 82
[5] . Hasyimsyah Nasution. “Op. Cit”., Hal. 33
[6] . Iain Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”., Hal. 42
[7] . “Ibid”., Hal. 42-43
[8] . Abu Bakar Aceh, “Sejarah Filsafat Islam”, Sala: CV. Ramadhani, 1982. Cet 2. Hal 51
[9] . Iain Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”.,Hal. 45S
[10] . Ahmad Hanafi, “Op. Cit”., Hal.90
[11] . Amroeni Drajat, “Filsafat Islam Buat Yang Pingin Tahu,”, Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006, Hal. 32
[12] . Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 36
[13] . Ahmad Hanafi, “Op. Cit”., Hal. 91
[14] . Ia Mengambil Teori Plotinus Yang Mengatakan Bahwa ‘’Dari Yang Satu (Tuhan) Hanya Satu Saja Yang Melimpah’’. Berdasarkan Itu Maka Masalahnya Adalah Alam Ini Dijadikan Secara Tidak Langsung, Karena Sukar Difahami Jika Alam Yang Beraneka Ini Dijadikan Langsung Karena Dapat Menyentuh Keesaan Tuhan. Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”., Hal. 52
[15].  Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 37
[16] . Abdul Aziz Dahlan, “Pemikiran Filsafat Dalam Islam”, Padang: Iain Ib Press, 2000, Cet. II, Hal. 65S
[17] . Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Pt. Bulan Bintang, 1999, Cet X, Hal. 26
[18] . Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 41
[19] . Ahmad Hanafi, “Op. Cit”., Hal. 97.  Lihat Pula H.M. Rasyidi Dkk, “Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat,” Jakarta: Pt.Bulan Bintang., 1988, Cet. I, Hal. 120
[20] . Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 43
[21] . “Ibid”., Hal. 44
[22] . Abdul Aziz Dahlan, “Op. Cit”., Hal. 73
[23] . “Ibid”., Hal. 74
[24] . Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 44
[25] . “Ibid”., Hal. 44

3. KARIER AL FARABI

Antara 910 dan 920, al Farabi kembali ke Baghdad untuk mengajar dan menulis, reputasinya sedemikian rupa sehingga dia mampu mencapai ahli ilmu mantiq (logika), ia kemudian mendapat sebutan sebagai al-Mu’allim al-Tsani (guru kedua). Maksudnya ia adalah orang yang pertama kali memasukkan ilmu logika ke dalam kebudayaan Arab, dan dialah filosof muslim pertama yang berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif . Keahlian ini rupanya sama yang dialami oleh Aristoteles sebagai Guru pertama. Ia (Aristoteles) orang pertama yang menemukan ilmu logika.
Murid-murid al-Farabi sendiri yang disebutkan namanya hanyalah
teolog sekaligus filosof Jacobite15 Yahya ibn ‘Adi (w.975) dan saudara
Yahya yaitu Ibrahim. Yahya sendiri menjadi guru logika terkemuka:

__________________________ 
15 Rescher, Nicholas, Studies in the History of Arabic Logic, Pittsburgh, 1963, h.15.
“sebenarnya separo jumlah ahli logika Arab pada abad kesepuluh adalah muridnya.”16
Pada tahun 942 M situasi di ibu kota dengan cepat semakin buruk karena adanya pemberontakan yang dipimpin seorang mantan kolektor pajak al Baridi, kelaparan dan wabah merajalela. Khallifah al Muttaqi
sendiri meninggalkan Baghdad untuk berlindung di istana pangeran Hamdaniyyh, Hasan (yang kemudian mendapat sebutan kehormatan Nashr al Daulah) di Mosul. Saudara Nashir, Ali bertemu khalifah di Tarkit. Ali memberi khalifah makanan dan uang agar khalifah dapat sampai ke Mosul. Kedua saudara Hamdaniyyah ini kemudian kembali bersama khalifah ke Baghdad untuk mengatasi pemberontakan. Sebagai rasa terima kasih khalifah menganugerahi Ali gelar Saif al Daulah.
Farabi sendiri merasa akan lebih baik pergi ke Suriah. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah dan al Qifti, al Farabi pergi ke Suriah pada tahun 942 M. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah di Damaskus, al Farabi bekerja di siang hari sebagai tukang kebun dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat dengan memakai lampu jaga. Al Farabi terkenal sangat shaleh dan zuhud.
Al Farabi tidak begitu memperhatikan hal-hal dunia. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah, al Farabi membawa manuskripnya yang berjudul Al Madinah Al Fadhilah, manuskripnya ini mulai ditulisnya di Bahdad ke
__________________________ 
16 Galston, Miriam, Politic and Exellence: The Politic Philosophy of al-Farabi, Printon:
1990, h.15, catatan 15.
Damaskus. Di Damaskus inilah manuskripnya tersebut diselesaikan pada tahun 942/3 M.
Sekitar masa inilah al Farabi setidak-tidaknya melakukan suatu perjalanan ke Mesir (Ibn Usaibi’ah menyebutkan tanggalnya yaitu 338 H, setahun sebelum al Farabi wafat) yang pada saat itu diperintah oleh Ikhsyidiyyah. Ikhsyidiyyah ini semula dibentuk oleh opsir-opsir tentara Farghanah di Asia Tengah. Menurut Ibn Khallikan di Mesir inilah al Farabi menyelesaikan Siyasah Al Madaniyyah yang dimulai ditulisnya di Baghdad.
Setelah meninggalkan Mesir al Farabi bergabung dengan lingkungan cemerlang filosof, penyair, dan sebagainya yang berada disekitar pangeran Hamdaniyyah yang bernama Saif Al Daulah. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah disinilah al Farabi mendapatkan gaji kecil yaitu empat dirham perak sehari.
Al Farabi wafat di Damaskus pada tahun 950 M, usianya pada saat itu sekitar 80 tahun.

4. KARYA-KARYA AL FARABI
Karya al Farabi tersebar di setiap cabang ilmu pengetahuan yang dikenal dunia pada abad pertengahan, dengan pengecualian khusus pada ilmu kedokteran.
Karya al Farabi bila dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih kalah jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek berbentuk risalah dan sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam pembicaraannya.
Sebagian karangan al Farabi masih diketemukan dibeberapa perpustakaan, sehingga di dunia Islam dapat mengenang dan mengabadikan namanya. Ciri khas tertentu yang ada pada pada karangannya adalah bukan saja mengarang kitab besar atau makalah-makalah namun jug memberi ulasan-ulasan dan penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al Fraudismy dan Plotinus.
Selama di Baghdad waktunya dihabiskan untuk mengajar dan menulis. Hasil karyanya diantara buku tentang ilmu logika, ilmu fisika, ilmu jiwa,, metafisika, kimia, ilmu politik, music dll. Tapi kebanyakan karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab telah hilang dari peredaran. Sekarang yang masih tersisa diperkirakan hanya sekitar 30 buah.
Karya-karya nyata dari al Farabi adalah :
1. Al Jami’u Baina Ra’yai Al Hakimain Al Falatoni Al Hahiy wa Aristhotails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles)
2. Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan)
3. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan)
4. Fususu Al Taram (hakikat kebenaran)
5. Arroo’u Ahli Al MAdinah Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan)
6. As Syiyasyah (ilmu politik)
7. Fi Ma’ani Al Aqli
8. Ihsho’u Al Ulum (kumpulan-kumpulan ilmu/statistik ilmu)
9. At Tangibu ala As Sa’adah
10. Ishbatu Al Mufaraqaat
11. Al Ta’liqat
12. Agrad al Kitab ma Ba’da Tabi’ah (intisari buku Metafisika)
13. ‘Uyun al Masa’il (pokok-pokok persoalan)
Ilmu tersebut yang mendapat perhatian besar oleh al Farabi adalah ilmu fiqih dan ilmu kalam. Sedangkan ilmu mantiq membahas delapan bagian yaitu :
1. Al Maqulaati Al Asyr (kategori)
2. Al Ibarat (ibarat)
3. Al Qiyas (analogi)
4. Al Burhan (argumentasi)
5. Al Mawadi Al Jadaliyah (the topics)
6. Al Hikmatu Mumawahan (sofistika)
7. Al Hithobah (ilmu pidato)
8. Al Syi’ir (Puisi)
5. FILSAFAT AL FARABI

Filsafat al Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aritoteles dan Neo Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak aliran Syiah Imamiyah. Al Farabi berkeyakinan penuh bahwa antara agama dan filsafat tidak terdapat pertentangan karena sama-sama membawa kepada kebenaran. Namun demikian, ia tetap berhati-hati atau bahkan khawatir kalau-kalau filsafat itu membuat iman seseorang menjadi rusak, dan oleh Karena itu ia berpendapat seyogianya disamping dirumuskan dengan bahasa yang samar-samar, filsafat juga hendaknya jangan sampai bocor ke tangan orang awam.
Filsafat al-Farabi, antara lain akan diuraikan di bawah ini.
a. Filsafat Emanasi/Pancaran
Pemikiran filsafat al Farabi yang terkenal adalah penjelasannya
tentang emanasi (al Faidh), yaitu teori yang mengajarkan tentang proses urut-urutan kejadian suatu wujud yang mungkin (alam makhluk) dari zat yang wajib al wujud (Tuhan). Menurutnya, Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Segala sesuatu, menurut al Farabi, keluar (memancar) dari Tuhan karena Tuhan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Ilmu Nya menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahuiNya.
Bagaimana cara emanasi itu terjadi? Al Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu benar-benar Esa sama sekali, karena itu, yang keluar dari padaNya juga tentu harus satu wujud saja. Kalau yang keluar dari zat Tuhan itu terbilang, maka berarti zat Tuhan itupun berbilang pula. Menurut al Farabi dasar adanya emanasi ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal yang timbul dari Tuhan, terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan.
Dalam alam manusia sendiri, apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya.
Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama(الوجودالأوُل) dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua (الوجوداالثانى) yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut akal pertama, First Intelligence (العقل الأوُل) yang tidak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga (الوجودالثالث)disebut Akal kedua, Second Intellegence (العقل الثانى).
Wujud Kedua atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbullah Langit Pertama (السماءالأولى) , First Heaven.
Wujud Ketiga/Akal Kedua
· Tuhan = Wujud Keempat/Akal Ketiga
· Dirinya = الكواكبالثابتة (bintang-bintang)
Wujud Keempat/Akal Ketiga
· Tuhan = Wujud Kelima/Akal Keempat
· Dirinya = كرةالزهل (Saturnus)
Wujud Kelima/Akal Keempat
· Tuhan = Wujud Keenam/Akal Kelima
· Dirinya = كرةالمشتوى (Jupiter)
Wujud Keenam/Akal Kelima
· Tuhan = Wujud Ketujuh/Akal Keenam
· Dirinya = كرةالمريخ (Mars)
Wujud Ketujuh/Akal Keenam
· Tuhan = Wujud Kedelapan/Akal Ketujuh
· Dirinya = كرةالشمس (Matahari)
Wujud Kedelapan/Akal Ketujuh
· Tuhan = Wujud Kesembilan/Akal Kedelapan
· Dirinya = كرةالزهرة (Venus)
Wujud Kesembilan/Akal Kedelapan
· Tuhan = Wujud Kesepuluh/Akal Kesembilan
· Dirinya = كرةالعطارد (Mercury)
Wujud Kesepuluh/Akal Kesembilan
· Tuhan = Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh
· Dirinya = كرةااقمر (Bulan)
Pada pemikiran Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akaal-akal. Tetapi dari akal kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api,udara, air dan tanah.
Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari Akal Kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya, yaitu :
1. Gerak (المحركة, motion)
§ Makan (الغاذية, nutrition)
§ Memelihara (المربية, preservation)
§ Berkembang (المولدة, reproduction)
2. Mengetahui (المدركة, cognition)
§ Merasa (الحاسة , sensation)
§ Imajinasi (المتخيلة , imagination)
3. Berpikir ( , intelection)
§ Akal praktis (العقل العملي , practical intellect)
§ Akal teoritis (العقل النظري , theoritical intllect)
b. Filsafat Kenabian
Selain filsafat emanasi, al Farabi juga terkenal dengan filsafat
kenabian dan filsafat politik kenegaraannya. Dalam hal filsafat
kenabian, al Farabi disebut sebagai filusuf pertama yang membahas
soal kenabian secara lengkap. Al Farabi berkesimpulan bahwa para nabi / rasul maupun para filusuf sama-sama dapat berkomunikasi dengan akal Fa’al, yakni akan ke sepuluh (malaikat. Perbedaannya, komunikasi nabi/rasul dengan akal kesepuluh terjadi melalui perantaraan imajinasi (al mutakhayyilah) yang sangat kuat, sedangkan para filusuf berkomunikasi dengan akal kesepuluh malalui akal Musfad, yaitu akal yang mempunyai kesanggupan dalam menangkap inspirasi dari akal kesepuluh yang ada diluar diri manusia.

Dalam hal filsafat kenegaraan, al Farabi membedakan menjadi lima macam :
1. Negara utama (al-madinah al-fadilah), yaitu Negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Menurut Negara terbaik adalah Negara yang dipimpin oleh rasul dan kemudian oleh para filusuf;
2. Negara orang-orang bodoh (al-madinah al-jahiliyah) yaitu Negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan;
3. Negara orang-orang fasiq (al-madinah al fasiqah), yakni Negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, Tuhan dan akal (Fa’alal-madinah al-fadilah), tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negeri yang bodoh; seperti penduduk utama.
4. Negara yang berubah-ubah (al-madinah al-mutabaddilah), ialah negara yang penduduknya semula mempunyai pikiran dan pendapat seperti yang dimiliki Negara utama, tetapi kemudian mengalami kerusakan;
5. Negara sesat (al-madinah ad-dallah), yaitu Negara yang penduduknya mempunyai konsepsi pemikiran tentang Tuhan dan akal Fa’al, tetapi kepala negaranya beranggapan bahwa dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatnnya.
Mengenai etika kenegaraan, al Farabi mengemukakan suatu ide
bahwa dalam tiap keadaan ada unsur-unsur pertentangan. Hal ini dalam alam, yang kuat berarti lebih sempurna dari yang lemah. Dalam politik kenegaraan orang harus mengambil teladan dari naluri-naluri hewani itu. Sebab keadilan itu baru bisa dilaksanakan bila kita dalam kemenangan.
Dalam hal ini al Farabi memberi contoh tentang jual-beli atau perjanjian yang dibuat oleh manusia. Hal itu terjadi sebenarnya karena adanya faktor kelemahan secara individual pada masing-masing anggota yang bersangkutan. Akan tetapi, bila salah seorang yang mengadakan perjanjian itu menjadi lebih kuat, maka dia akan mengubah maksud perjanjian yang telah dibuatnya menurut interpretasi kemauannya sendiri.
Etika kenegaraan al Farabi ini ternyata sangat sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi dalam perkembangan sejarah Negara-negara sejak dahulu kala hingga dewasa ini.
Demikian sekilas soal al Farabi, semoga kita juga menjadi umat Islam yang bisa berpikir kritis dan cerdas. Semoga kita juga senantiasa berpandangan positif tentang filsafat karena sebenarnya para filosof adalah orang-orang bijak yang hidup sederhana dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencari kebenaran dan menebarkan cinta kasih pada sesama. Wallahua’lam bisshowaab……..


KESIMPULAN
1. Al Farabi adalah seorang filosof Muslim dalam arti yang sebenarnya. Ia telah menciptakan sistem filsafat yang relatip lengkap, dan telah memainkan peranan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat di dunia Islam. Ia menjadi anutan/guru dari filosof-filosof Islam sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
2. Al Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, justru sama-sama membawa kebenaran. Hal ini terbukti dengan karangannya yang berjudul Al Jami’Baina Ra’yani Al Hakimain dengan maksud mempertemukan pikiran-pikiran Plato dengan Aristoteles.
3. Al Farabi juga mempertemukan hasil-hasil pemikiran filsafat dengan wahyu dengan bersenjatakan ta’wil (interpretasi batin).
4. Al Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seoranng wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran Masysyai (Perpaterik) filosof-keilmuan.
5. Al Farabi merupakan orang pertama yang memberikan uraian sistematik terhadap hierarki wujud dalam kerangka hierarki intelegensi dan jiwa serta pemancaran (faidh)-nya dari Tuhan sehingga ia mendapat gelar Al Mu’allim Al Tsani
6. Al Farabi membagi wujud menjadi tiga jenis berdasarkan jumlah sebabnya. Pertama, wujud keberadaanya sama sekali tidak memiliki sebab, al Farabi menyebut ini sebagai wujud pertama atau sebab pertama yang merupakan prinsip tertinggi eksistensinya setiap wujud lainnya. Tentang prinsip tertinggi ini hanya terbatas pada pengetahuan tentang hal itu dan bukan prinsip-prinsip wujudnya. Kedua, wujud yang memiliki keempat sebab Aristotelian: material, formal, efisiensi dan final. Jenis kedua ini mengacu kepada genus-genus benda terindra, termasuk benda langit. Ketiga,wujud yang sepenuhnya immaterial – yang lain daripada wujud benda di dalam atau menempati benda-benda. Atas dasar tiga skema klasifikasi wujud di atas, maka pembahasan makalah ini mengecil pada basis ontologis yang khas Faribian


Al-Farabi dipandang sebagai filosof Islam pertama yang berhasil menyusun sistematika konsepsi filsafat secara meyakinkan. Posisinya mirip dengan Plotinus (204 – 270 M) yang menjadi peletak filsafat pertama di dunia Barat. Jika orang Arab menyebut Plotinus sebagai Syaikh al-Yūnānī (guru besar dari Yunani), maka mereka menyebut al-Farabi sebagai al-Mu’allim al-Tsānī (guru kedua) di mana “guru pertama”-nya disandang oleh Aristoteles. Julukan “guru kedua” diberikan pada al-Farabi karena dialah filosof muslim pertama yang berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif antara pemikiran filsafat Aristoteles dan gurunya, Plato. Melalui karya al-Farabi berjudul al-Ibānah ‘an Ghardh Aristhū fī Kitāb Mā Ba’da al-Thabī’ah (Penjelasan Maksud Pemikiran Aristoteles tentang Metafisika). Karya al-Ibānah inilah yang membantu para filosof sesudahnya dalam memahami pemikiran filsafat Yunani. Konon Ibnu Sina (filosof besar sesudah al-Farabi) sudah membaca 40 kali buku metafisika karya Aristoteles, bahkan dia menghafalnya, tetapi diakui bahwa dirinya belum mengerti juga. Namun setelah membaca kitab al-Ibānah karya al-Farabi yang khusus menjelaskan maksud dari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku mulai paham pemikiran metafisik-nya Aristoteles.
Setelah melakukan petualangan cukup lama di Baghdad, sekitar 20 tahun, al-Farabi pergi ke Damaskus ketika berumur 75 tahun (sekitar tahun 945 M). Di ibukota Suriah inilah, al-Farabi berkenalan dengan Sultan Saif ad-Daulah, penguasa Dinasti Hamdan di Aleppo, wilayah Suriah bagian utara yang dikenal sebagai negeri industri. Sultan memberi al-Farabi jabatan sebagai ulama istana dengan banyak fasilitas kerajaan yang mewah. Namun fasilitas mewah itu ditolaknya dan hanya mau mengambil sekitar 4 dirham saja per hari sekedar untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari secara sederhana. Di negeri Aleppo ini, al-Farabi banyak berkenalan dengan para ahli di berbagai disiplin ilmu pengetahun: sastrawan, penyair, ahli fikih, kalam, dan lainnya. Sisa dari gaji yang diterima dari kerajaan, digunakan al-Farabi untuk kepentingan sosial dan dibagi-bagikan pada kaum fakir miskin di sekitar Aleppo dan Damaskus. Pada tahun 950 M, al-Farabi meninggal dunia di Damaskus pada usia 80 tahun.
Sekilas tentang Pemikiran Filsafatnya.
Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujūd (disebut alam) dari pancaran Wājib al-Wujūd (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran. Al-Farabi memberi 3 istilah yang disandarkan padaTuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal); al-‘Āqil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).
Sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut:
1. Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I → al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
2. Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II → al-Kawākib (bintang-bintang).
3. Wujud III itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III → Saturnus.
4. Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV → Jupiter.
5. Wujud V itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V → Mars.
6. Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI → Matahari.
7. Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal VII → Venus.
8. Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII → Mercury.
9. Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX → Bulan.
10. Wujud X itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-‘aql al-fa’āl (akal aktif) yang biasanya disebut Jibril yang berperan sebagai wāhib al-suwar (pemberi bentuk, form).
Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori: 1) esensinya tidak berfisik (baik yang tidak menempati fisik [yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet] maupun yang menempati fisik [yaitu jiwa, bentuk, dan materi]). 2) esensinya berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api, udara, air, dan tanah).
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi.
Jiwa manusia, menurut al-Farabi, memiliki 3 daya: 1) daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghādiyah, nutrition), memelihara (murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah, reproduction); 2) daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa: merasa (hāssah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination); dan 3) daya berpikir (al-quwwah al-nāthiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amalī) dan akal teoretis (‘aql nazharī). Dan al-‘aql al-nazharī terbagi pada 3 tingkatan: 1) al-‘aql al-hayūlānī (akal potensial, material intellect) yang mempunyai “potensi berpikir” dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk (māhiyah) dari materinya; 2) al-‘aql bi al-fi’l (akal aktual, actual intellect) yang dapat melepaskan arti-arti (māhiyah) dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual), bukan lagi dalam bentuk potensial; 3) al-‘aql al-mustafād (akal pemerolehan, acquired intellect) yang sudah mampu menangkap bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada materinya karena keberadaannya (pure form) tidak pernah menempati materi. Al-‘aql al-mustafād bisa berkomunikasi dengan akal ke-10 (Jibril) dan mampu menangkap pengetahuan yang dipancarkan oleh “akal aktif” (‘aql fa’āl). Dan ‘aql fa’āl menjadi mediasi yang bisa mengangkat akal potensial naik menjadi akal aktual, juga bisa mengangkat akal aktual naik menjadi akal mustafad. Hubungan antara ‘aql fa’āl dan ‘aql mustafād ibarat mata dan matahari.
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah di bidang sosial-politik. Karyanya yang terkenal adalah berjudul Ārā` Ahl al-Madīnah al-Fādhilah (Opini Penduduk tentang Negara Utama). Menurut al-Farabi, politik diperlukan sebagai mediasi yang bisa mengantarkan manusia hidup bahagia di dunia dan akhirat. Untuk mencapai kesempurnaan, manusia tidak bisa hidup sendiri, melainkan harus bekerjasama. Hubungan kerjasama setiap individu inilah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya masyarakat. Menurut al-Farabi, seorang pemimpin harus memiliki karakter umum, seperti: 1) kecerdasan; 2) ingatan yang kuat; 3) murah hati; 4) sederhana; 5) cinta keadilan; 6) cinta kejujuran; 7) tegar, berani; dan fasih bicara.
Di samping karakter umum, al-Farabi juga berpendapat bahwa seorang penguasa (pemimpin negara) harus memiliki daya profetik (kenabian) yang sampai pada tingkatan ‘aql mustafād agar mampu menangkap sinat pengetahuan yang dipancarkan oleh akal ke-10 (jibril). Oleh karena itu, ketika seorang pemimpin yang mencapai tingkatan itu sulit ditemukan atau tidak ada (yaitu seorang nabi), maka bisa diganti oleh seorang filosof, karena dia juga mampu sampai pada tingkatan ‘aql mustafād. Namun jika kriteria filosof juga belum ditemukan, maka negara bisa dipimpin secara kolektif dalam bentuk semacam presidium. Di antara orang-orang yang memiliki karakter pemimpin itu, kemudian dipilih satu orang yang memiliki kearifan tertinggi, lalu yang lain dipilih berdasarkan keahlian pengetahuan yang spesifik dan berbeda-beda, seperti: ahli pemerintahan, ahli strategi perang, ahli ekonomi, ahli bicara (orator) dan komunikasi (komunikator), dan sebagainya. Lawan dari al-madīnah al-fādhilah (negara utama) adalah al-madīnah al-fāsidah (negara korup/rusak) yang ditandai dengan ciri-ciri: kebodohan (jahl), kebobrokan (fisq), gonjang-ganjing (tabaddul), dan sesat/rugi (khusr).
Pemikiran al-Farabi yang lain lagi adalah soal teori kenabian yang sekaligus ditujukan untuk merespon pendapat Ibnu al-Rāwandi (w. ± 910 M ) yang lebih tegas penolakannya terhadap kenabian, dan al-Razi (w. 925 M) yang kritik dan penolakannya pada kenabian masih kontroversi dan diragukan (baca kembali tulisan saya tentang teori kenabian menurut al-Razi). Menurut al-Farabi, nabi dan filosof sama-sama mampu berkomunikasi dengan ‘aql fa’āl (akal ke-10) yang tidak lain adalah Jibril, karena keduanya sampai pada tingkat ‘aql mustafād. Hanya keduanya memiliki perbedaan: nabi mampu berkomunikasi dengan akal ke-10 tanpa melalui latihan khusus karena mendapat limpahan dari Tuhan berupa kekuatan atau daya suci (quwwah qudsiyyah) yang di dalamnya ada daya imaginasi luar biasa, berupa al-hads (semacam insight khusus). Sementara filosof harus melalui latihan yang serius dan cukup lama. Dengan demikian, nabi lebih tinggi tingkatannya daripada filosof. Dan bisa juga dikatakan bahwa setiap nabi pasti seorang filosof, tetapi setiap filosof belum tentu seorang nabi.
Demikian sekilas soal al-Farabi, semoga kita juga menjadi umat Islam yang bisa berpikir kritis dan cerdas. Semoga kita juga senantiasa berpandangan positif tentang filsafat karena sebenarnya para filosof adalah orang-orang bijak yang hidup sederhana dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencari kebenaran dan menebarkan cinta-kasih pada sesama. Semoga…!!!



Tiada ulasan:

Catat Ulasan