Selasa, 21 Januari 2014

Atheism & Atheists

KeTuhanan tidak punya nilai yang dapat dinisbahkan dengan ungkapan2: Umpamanya: Maha suci Allah, Maha mengetahui, Maha mendengar…..Kerana ini berupa nisbah2 pada pencarian tanpa haqiqat ujudNYA.


Does God Exist?

Does God Exist? This is one of the principle questions in discussions between atheists and theists - and it is one of the questions which causes some of greatest enmnity among people. You will find here debates between atheists and theists about the existence of gods, arguments against gods and for atheism, and critiques of arguments for gods.
 Atheism & Atheists

What is atheism? Is it a religion? Are all atheists communists? What is the difference between atheism and agnosticism? Atheism is often misunderstood and even vilified; a better understanding of it, however, reveals that many of the attacks made upon atheism and atheists are based upon errors and mistaken assumptions.

Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme.Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.
Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani ἄθεος (átheos), yang secara peyoratif digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan menyebarnya pemikiran bebasskeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada tuhan. Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada abad ke-18. Pada zaman sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala 11,9% mengaku sebagai nonteis. Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak beragama; dan sekitar 48%-nya di Rusia.Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85% (Swedia).
Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan fenomena paranormal karena kurangnya bukti empiris. Yang lain memberikan argumen dengan dasar filosofis, sosial, atau sejarah.
Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan sebagai tak beragama (ireligius)  Beberapa aliran Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah 'Tuhan' dalam berbagai upacara ritual, namun dalam Agama Buddha konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana.[9]Karenanya agama ini sering disebut agama ateistik. Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanismerasionalisme, dan naturalisme, tidak ada ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua ateis.

Asal istilah


Pada zaman Yunani Kuno, kata sifat atheos (ἄθεος, berasal dari awalan ἀ- + θεός "tuhan") berarti "tak bertuhan". Kata ini mulai merujuk pada penolakan tuhan yang disengajakan dan aktif pada abad ke-5 SM, dengan definisi "memutuskan hubungan dengan tuhan/dewa" atau "menolak tuhan/dewa". Terjemahan modern pada teks-teks klasik kadang-kadang menerjemahkan atheos sebagai "ateistik". Sebagai nomina abstrak, terdapat pula ἀθεότης(atheotēs), yang berarti "ateisme". Cicero mentransliterasi kata Yunani tersebut ke dalam bahasa Latin atheos. Istilah ini sering digunakan pada perdebatan antara umat Kristen awal dengan para pengikut agama Yunani Kuno (Helenis), yang mana masing-masing pihak menyebut satu sama lainnya sebagai ateis secara peyoratif.
Ateisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada "kepercayaan tersendiri" pada akhir abad ke-18 di Eropa, utamanya merujuk pada ketidakpercayaan pada Tuhan monoteis. Pada abad ke-20, globalisasi memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada "ketidakpercayaan pada semua tuhan/dewa", walaupun adalah masih umum untuk merujuk ateisme sebagai "ketidakpercayaan pada Tuhan (monoteis)". Akhir-akhir ini, terdapat suatu desakan di dalam kelompok filosofi tertentu untuk mendefinisikan ulang ateisme sebagai "ketiadaan kepercayaan pada dewa/dewi", daripada ateisme sebagai kepercayaan itu sendiri. Definisi ini sangat populer di antara komunitas ateis, walaupun penggunaannya masih sangat terbatas

Ateisme, agama, dan moralitas


Walaupun orang yang mengaku sebagai ateis biasanya diasumsikan tak beragama, beberapa sekte agama tertentu pula ada yang menolak keberadaan dewa pencipta yang personal. Pada akhir-akhir ini, aliran-aliran keagamaan tertentu juga telah menarik banyak penganut yang secara terbuka ateis, seperti misalnya Yahudi ateis atau Yahudi humanis dan Kristen ateis.
Dikarenakan artian paling kaku ateisme positif tidak memerlukan kepercayaan spesifik apapun di luar ketidakpercayaan pada dewa/tuhan, ateis dapat memiliki kepercayaan spiritual apapun. Untuk alasan yang sama pula, para ateis dapat berpegang pada berbagai kepercayaan etis, mulai dari universalisme moral humanisme, yang berpandangan bahwa nilai-nilai moral haruslah diterapkan secara konsisten kepada seluruh manusia, sampai dengan nihilisme moral, yang berpendapat bahwa moralitas adalah hal yang tak berarti.
Walaupun ia merupakan kebenaran filosofis, yang secara ringkas dipaparkan dalam karya Plato dilema Euthyphro bahwa peran tuhan dalam menentukan yang benar dari yang salah adalah tidak diperlukan maupun adalah sewenang-wenang, argumen bahwa moralitas haruslah diturunkan dari Tuhan dan tidak dapat ada tanpa pencipta yang bijak telah menjadi isu-isu yang terus menerus muncul dalam debat politik. Persepsi moral seperti "membunuh adalah salah" dilihat sebagai hukum Tuhan, yang memerlukan pembuat hukum dan hakim. Namun, banyak ateis yang berargumen bahwa memperlakukan moralitas secara legalistik adalah analogi salah, dan bahwa moralitas tidak seperlunya memerlukan seorang pencipta hukum sama halnya hukum itu sendiri.
Filsuf Susan Neiman dan Julian Baggini menegaskan bahwa perilaku etis yang dilakukan hanya karena mandat Yang Di atas bukanlah perlaku etis yang sebenarnya, melainkan hanyalah kepatuhan buta. Baggini berargumen bahwa ateisme merupakan dasar etika yang lebih superior, dan mengklaim bahwa dasar moral di luar perintah agama adalah diperlukan untuk mengevaluasi moralitas perintah itu sendiri. Sebagai contoh, perintah "anda haruslah mencuri" adalah amoral bahkan jika suatu agama memerintahkannya, sehingga ateis memiliki keuntungan untuk dapat lebih melakukan evaluasi tersebut daripada umat beragama yang mematuhi perintah agamanya sendiri.
Filsuf politik kontemporer Britania Martin Cohen menawarkan contoh historis perintah Alkitab yang menganjurkan penyiksaan dan perbudakan sebagai bukti bahwa perintah-perintah religius mengikuti norma-norma sosial dan politik, dan bukannya norma-norma sosial dan politik yang mengikuti perintah religius. Namun ia juga mencatat bahwa kecenderungan yang sama jugalah terjadi pada filsuf-filsuf yang tidak memihak dan objektif. Cohen memperluas argumen ini dengan lebih mendetail pada Political Philosophy from Plato to Mao dalam kasus kitab Al-Qur'an yang ia lihat telah memiliki peran yang disesalkan dalam memelihara kode-kode sosial zaman pertengahan di tengah-tengah perubahan masyarakat sekuler.
Walaupun demikian, para ateis seperti Sam Harris berargumen bahwa kebergantungan agama Barat pada otoritas Yang Di Atas berkontribusi pada otoritarianisme dandogmatisme. Sebenarnya pula, fundamentalisme agama dan agama ekstrinsik (agama dipeluk karena ia lebih menguntungkan) berkorelasi dengan otoritarianise, dogmatisme, dan prasangka. Argumen ini, bersama dengan kejadian-kejadian historis seperti Perang SalibInkuisisi, dan penghukuman tukang sihir, sering digunakan oleh para ateis yang antiagama untuk membenarkan pandangan mereka.



Mati

Nyawa/ Ruh/ KeTuhanan/ Perasaan/ Akal, Yang kekal ujudnya, Esa. Yang, memperolihkan/mendatangkan pengetahuan ( Kepedihan, kegembiraan, segala perasaan). KeMATIan ialah apabila Nyawa/Ruh/KeTuhanan ini memutuskan/berkehendak/menetapkan kepada penghapusan ujud ilmu khayalan, kecuali ujud diriNya semata2.

Nyawa/Ruh/KeTuhanan itu tetap kekal tanpa jasad. Ruh/Nyawa/zatNya Insan adalah tunggal/ Esa bagi keseluruhan ujud. Bukannya Ia berbilang2. Mati dan hidup bahasa keseolahan zat, kerana “ tiada yang hidup atau yang mati” . Ia hanya perobahan keaadaan sahaja. Hidup dan mati adalah 'qudrah' dan 'irodat Ilahiyat' , yang mana keduanya adalah sebutan bagi Zat. Bahkan sebutan2 adalah zat semata2.
'MATI' ertinya berobahnya perasaan Insan kepada seolah2 ketiadaannya perasaan tentang ujud segala.

Nyawa/Roh/KeTuhanan itu mengetahui segala sesuatu tanpa Alat2. 'MATI' ertinya tatkala Nyawa/Ruh/KeTuhanan itu tidak menggengam dengan tangan, tidak mendengar dengan telinga, tidak melihat dengan mata, kecuali hanya degan zatNya semata2.

'MATI' ertinya direbut/dihapuskan/dilupakan/di tiadakan dari Nyawa/Ruh/ KeTuhanan itu mataNya, telingaNya , lisanNya, tanganNya, kakiNya, dan semua anggota badanNya. Direbut/dihilangkan dari Nyawa/ Ruh/ KeTuhanan/ Insan/ 'tanpa atau tiada lagi' ungkapan/ perkataan/sebutan/ rasa ujud isteriNya, anakNya, keluargaNya dan kenalan2Nya.

'MATI' ertinya tidak ada lagi perasaan 'DUNIAWIYAH' bagi Nyawa/Ruh/KeTuhanan/Insan.

'MATI' ertinya kembalikan pemerhatian kepada Otak/Luh Mahfuz/ Arash dimana pada fitrahnya/asalnya tiada apa2 ujud padanya. Terguris padanya ilmu2/mimpi2 bentuk2 ujud padanya yang mana pada penyaksian, secara pastinya, tidak ada apa2 pun ujud. Mimpi2 ujud ini adalah kesan dari kehendak2 diri. Dan sangatlah ringannya sekiranya ia kosong dari gurisan2/mimpi2.






Keistimewaan manusia dari segala sesuatu adalah manusia karena punya akal fikiran. Maka manusia dengan fikirannya merupakan isi dari alam ini, yang mana tidak ada yang mulia di dunia ini, kecuali manusia yang berakalnya. Salah satu fungsi akal dalam kehidupan manusia tiada lain sebagai petunjuk jalan guna memilih yang bermanfaat dan meninggalkan yang mudharat.

Logika ada semenjak manusia ada di dunia, walaupun dalam tingkat yang sederhana, dalam kehidupan manusia pasti mempraktikkan hukum berpikir, persoalannya..  Manusia itu tidak menyadari ia telah melakukan kegiatan berpikir.



Tiada ulasan:

Catat Ulasan