Selasa, 29 April 2014

Maulana Jalaluddin Rumi

“Di antara keanehan zaman adalah engkau menginginkan orang lain sopan tapi engkau sendiri bertindak tidak sopan [ibn Rumi]“
Bagaimana denganmu, Sobat…
Mari berlaku kasih & santun pada sesama & semua makhluk-Nya.

Bagi sebagian kalangan khususnya pecinta syair, pecinta sastra dan kalangan sejarawan islam. Nama Jallaludin rumi’ pasti tidak asing lagi. Beliau adalah ulama’ besar, sufi dan juga seorang penyair. Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut thariqat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase. Atau yang sering kita sebut sebagai tarian Darwish. Selama 15 tahun terakhir masa hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnawi. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair.

Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi) atau sering pula disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi seorang cendekia yang saleh, mistikus yang berpandangan ke depan, seorang guru yang terkenal di Balkh. Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanya bentrok di kerajaan maka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khorasan. Dari sana Rumi dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan alhi matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah Ketuhanan.

Kumpulan puisi Rumi yang terkenal bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio.

Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair lainnya. Melalui puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang menyamai.

Ciri khas lain yang membedakan puisi Rumi dengan karya sufi penyair lain adalah seringnya ia memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini bukan dimaksud ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan pikiran dan ide.

Banyak dijumpai berbagai kisah dalam satu puisi Rumi yang tampaknya berlainan namun nyatanya memiliki kesejajaran makna simbolik. Beberapa tokoh sejarah yang ia tampilkan bukan dalam maksud kesejarahan, namun ia menampilkannya sebagai imaji-imaji simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf, Musa, Yakub, Isa dan lain-lain ia tampilkan sebagai lambang dari keindahan jiwa yang mencapai ma'rifat. Dan memang tokoh-tokoh tersebut terkenal sebagai pribadi yang diliputi oleh cinta Ilahi.

Tak ada makhluk hidup didunia ini yang kekal, dan semuanya pasti akan kembali kepada-Nya. Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H

atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.

TULISAN DI BATU NISAN JALALUDDIN AR-RUMI
Ketika kita mati, jangan cari pusara kita di bumi, tetapi carilah di hati manusia.

DALAM sebuah puisi sufinya bertajuk “Syahadat Kita”, penyair klasik Persia terkemuka Jalaluddin Rumi mengajak para pembaca mengernyitkan dahi sejenak. Rumi menggelitik kesadaran religi kita: Dia berkata Tiada tuhan, lalu dia berkata kecuali Tuhan. Dari Tiada menjadi kecuali Tuhan maka menjelmalah Keesaan.
Dengan nukilan goresan pena itu, sesungguhnya Rumi menyingkap dan mengungkap situasi kepenyairannya sendiri. Tepat sekali bila pembaca menebak-nebak, disamping terkenal sebagai penyair, ia memang seorang ulama besar (mullah).
Nama lengkapnya Jalaluddin Rumi ialah Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri. Lahir pada 30 September 1207 Masehi di Balkh (kini terletak di perbatasan Afganistan) dan meninggal pada 17 Desember 1273 Masehi di Konya (wilayah Turki, Asia).
Jalaluddin Rumi dibesarkan dalam keluarga dan masyarakat yang memberikan semangat keagamaan padanya. Ayahnya, Bahauddin Walad mendapat kedudukan tinggi di kalangan keagamaan di Khorasan, sebelum ia dengan tiba-tiba mengungsi ke Konya wilayah kekuasaan Turki Saljuq menjelang penyerbuan bangsa Mongol. Di Konya, Bahauddin mendapat bantuan lindungan dan bantuan raja serta penghargaan rakyat sebagai khotib dan guru agama.
Rumi sendiri, setelah menyelesaikan pendidikan bertahun-tahun di Aleppo dan Damsyik, pada saatnya pula mengajar dan menjadi khatib di Konya. Sepanjang hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari tiga ribu kasidah (ode) dan ghazal (lirik). Bagi pembaca tanah air, buku kumpulan puisi Rumi yang sangat terkenal yakni Masnawi. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.
Pada bagian pendahuluan bukunya itu, Jalaluddin Rumi mengatakan:
Aku tidak menyanyikan Masnawi agar orang membawanya dan mengulang-ulangnya pula, akan tetapi agar orang meletakkan buku itu di telapak kaki dan terbang bersamanya. Masnawi adalah tangga pendakian menuju kebenaran. Jangan engkau pikul tangga itu di pundakmu sambil berjalan dari satu kota ke kota lain.
Terbang bersamanya, kata Rumi di atas. Demikian pula puisi-puisi sufi yang akan saya tampilkan berikut,  berupaya agar semangat ketuhanan yang ada dalam diri manusia dapat diusahakan lahir kembali. Terbang bersama makna tersembunyi puisi sufi. Atau seperti yang dianjurkan Rumi adalah melakukan perjalanan dari diri (yang rendah) ke diri (yang tinggi) — from lower self to higher self.
Dalam sebuah puisinya Rumi mengumpamakan perjalanan dari diri ke dalam diri sebagai perjalanan ‘sebutir pasir yang menyimpang dari jalan yang lazim dan memasuki tubuh tiram, dan setelah lama terkurung akan muncul sebagai mutiara’.
Puisi sufi, meminjam pernyataan penyair sufi Indonesia Sutardi Calzoum Bachri adalah perwujudan seorang penyair yang sadar sebagai makhluk spiritual. Sebagai makhluk spiritual dia selalu berusaha mengungkapkan kerinduannya akan nilai-nilai spiritual demi menciptakan keutuhan dirinya.
Tanpa dimensi spiritual, manusia takkan pernah bisa menyempurnakan kemanusiaannya. Ia hanyalah robot berdaging yang hidup di bumi dengan segala aktivitas bernilai relatif, yang dijalankannya dari hari ke hari sekedar menunggu atau menunda saat kematiannya.
Salah satu Syair Jalalludin Rumi :

Mana yang lebih berharga
Kerumunan beribu orang atau kesendirian sejatimu?
Kebebasan atau kuasa atas seluruh negeri?
Sejenak, sendiri dalam bilikmu akan terbukti lebih berharga daripada segala hal lain yang mungkin kau terima

Oh Tuhan
Telah kutemukan cinta!
Betapa menakjubkan, betapa hebat, betapa indahnya!...
Kuhaturkan puja-puji
Bagi gairah yang bangkit
Dan menghiasi alam semesta ini
Maupun segala yang ada di dalamnya!

Ketika engkau merasa bergairah
Cari tahu sebabnya
Itulah tamu yang tak kan pernah kau salami dua kali

Adakalanya dengan tujuan menolong
Dia membuat kita sengsara
Tapi kepiluan hati
demi Dia
Membawa kebahagiaan
Senyum akan datang,
Sesudah air mata
Siapapun yang meramalkan ini adalah hamba yang diberkati Tuhan
Dimana pun air mengalir, hidup akan makmur
Dimana pun air mata berderai, Rahmat Ilahi diperlihatkan

Pilihlah cinta.
Ya, cinta!
Tanpa manisnya cinta,
Hidup ini adalah beban
Tentu engkau telah merasakannya

Hati yang kacau
Tak dapatkan kesenangan hidup
Dalam kebohongan.
Air dan minyak
Tak dapat menyalakan cahaya.
Hanya perkataan yang benar membawa kesenangan hidup
Kebenaran adalah umpan yang sangat memikat hati

Pergilah ke pangkuan Tuhan,
Dan Tuhan akan memelukmu dan menciummu, dan menunjukkan
Bahwa Ia tidak akan membiarkanmu lari dari Nya
Ia akan menyimpan hatimu dalam hati Nya
Siang dan malam

Kesabaranku mati pada malam ketika Cinta lahir!

Dari anggur cinta, Tuhan menciptaku!

Barang siapa menjadi mangsa cinta, mana mungkin dia menjadi mangsa Sang Maut?

Hari perpisahan lebih panjang daripada Hari kebangkitan
Dan maut lebih cantik daripada derita perpisahan

Aku boleh mati, tetapi gairahku kepada Mu tak kan pernah mati

Telah kupalingkan hatiku dari dunia dan segala kesenangannya
Kau dan hatiku bukanlah dua wujud yang berpisah
Dan tak pernah kelopak mataku menutup di dalam lelap
Kecuali kutemukan Kau antara mata dan bulu mataku

Mereka tahu pasti bahwa aku sedang jatuh cinta
Tetapi mereka tak tahu siapa yang kucintai

Hatiku mencintaimu sepanjang hidupku, dan ketika aku mati
Maka tulang-tulangku, kendati hancur, mencintai Mu dalam debu

Hari ini aku lupa sembahyang karena cintaku yang meluap-luap
Dan aku tak tahu lagi pagi atau malamkah sekarang
Karena ingatan pada Mu , wahai Tuhan, adalah makanan dan minumanku
Dan wajah Mu, saat aku melihat Nya, adalah obat penderitaanku

Aku adalah Dia yang kucintai dan
Dia yang kucintai adalah aku

ref :
http://ifud17.wordpress.com/syair-rumi/
http://penyair.wordpress.com/2007/03/29/biografi-jalaludin-rumi/
http://ms.wikipedia.org/wiki/Jalal_al-Din_Muhammad_Rumi
http://thesufism.blogspot.com/2008/12/karakterisrik-sufisme-jalaluddin-rumi.html



Sahabats..
Merenungkan syair Maulana Rumi yang merupakan buah dari kecintaan beliau kepada Allah sungguh membuat ghirah kita terlecut. Kali ini beliau mengajak kita untuk menjalani hidup bersama atau seminimalnya mengikuti ajaran Para Wali Allah ra.
Walaupun engkau bukan seorang pencari,
ikutilah kami,
ikutlah mencari bersama kami.                   [1]
Walaupun engkau tak tahu bagaimana
caranya menari dan bernyanyi,
tirulah kami,
bersama kami engkau akan menari dan menyanyi.
[2]
Bahkan seandainya engkau adalah Qarun,
yang paling terkenal diantara hartawan,
ketika engkau jatuh cinta,
engkau akan menjadi seorang fakir.          [3]
Walaupun engkau seorang sultan,
engkau akan menjadi seorang hamba,
seperti kami.
Satu lilin pada pertemuan ini,
lebih bernilai daripada seratus lilin lain,
cahayanya lebih terang.
Apakah engkau masih hidup atau sudah mati,
engkau akan kembali hidup,
bersama kami.                                                   [4]
Lepaskanlah rantai dari kakimu,
melangkahlah ke taman mawar,
mulailah tersenyum dengan seluruh dirimu,
bagaikan mawar,
seperti kami.                                                      [5]
Tanggalkanlah duniamu sejenak,
dan perhatikanlah siapa yang hidup qalb-nya.
Lalu lemparkanlah baju mewahmu,
dan tutupilah dirimu dengan baju kehinaan,
seperti kami.
Ketika sebutir benih jatuh ke tanah,
ia akan berkecambah, tumbuh,
dan menjadi sebatang pohon;
jika engkau paham simbol-simbol ini,
engkau akan mengikuti kami,
jatuh ke tanah dan bersujud,
bersama kami.                                                  [6]
Berkata Syamsuddin at-Tabriz,
kepada kelopak mawar qalb,
“Jika sejenak saja mata qalb-mu terbuka,
akan engkau lihat apa-apa yang pantas
dipandang.”
Catatan:
[1]  “Awliya,” para Wali; antara lain dirumuskan dalam QS [10]: 62 – 64. Awliyamemandu pencarian al-Haqq, bukan untuk membesarkan pranata dunia.
[2]  “Menari,” “menyanyi,” adalah respon jiwa merdeka kepada ilmu yang baru. “Harta itu harus engkau jaga, sedangkan ilmu itu menjaga dirimu,” (kurang lebih, begitu) kata sayidina Ali k.w. Maksudnya disini, ilmu yang menjaga diri hakiki seorang insan, jiwa-nya.
[3]  “Fakir;” para pencari selalu fakir (dalam kebergantungan yang sangat) akan al-Haqq yang Maha Mandiri (al-Ghaniy). Disini Rumi menyandingkannya dengan refleksi cermin (terbalik)-nya di alam-dunia: penguasaan akan harta dunia (Qarun).
[4]  “Lilin,” cahaya yang menerangi alam jiwa.
[5]  “Rantai,” keduniaan yang menjerat orang. “Mawar,” Akal Sejati; ‘Aql
[6]   Terkait “syajarah thayyibah” (QS [14]: 24)
Sumber: Rumi, Ghazal
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh
Nevit Ergin dan Camille Helminski.

Jalaluddin RumiSiapa yang berperilaku sesuai dengan perkataannya, dialah yang tercerahkan, yang menolak hubungan-hubungan biasa dari dunia. (Dzun-Nun al-Mishri)
Maulana (secara harfiah bermakna “Guru Kita”) Jalaluddin Rumi, pendiri Tarekat Para Darwis Berputar, dalam karirnya menjadi bukti ungkapan Timur, “Para raksasa muncul dari Afghanistan dan mempengaruhi dunia.” Ia dilahirkan di Bactria, dari sebuah keluarga bangsawan pada awal abad ketiga belas. Ia tinggal dan mengajar di Iconum (Rum) di Asia Kecil, sebelum munculnya Kerajaan Utsmani, yang tahtanya menurut seruannya ia tolak. Karya-karyanya ditulis dalam bahasa Persia, dan dipandang tinggi oleh orang Persia karena kandungan puitis, kesusastraan dan mistiknya. Sehingga karya-karya ini disebut sebagai “al-Qur’an dalam bahasa Pehlevi (bahasa Persia)” — meskipun karya-karya ini bertentangan dengan kepercayaan bangsa Persia, sekte Syi’ah, yang dikritik atas eksklusivismenya.
Di kalangan orang Muslim Arab, India dan Pakistan, Rumi dipandang sebagai salah seorang dari guru mistik tingkat pertama — meskipun ia menyatakan bahwa ajaran-ajaran al-Qur’an bersifat alegoris,dan ia memiliki tujuh makna yang berbeda. Jangkauan pengaruh Rumi sulit untuk bisa diperkirakan, meskipun hal ini terkadang bisa dilihat secara sekilas, pada kesusastraan dan pemikiran dari berbagai madzhab. Bahkan Doktor Johnson, yang terkenal karena pernyataannya yang tidak menyenangkan, mengatakan tentang Rumi, “Ia menjelaskan kepada Peziarah akan rahasia-rahasia dari jalan Kesatuan, dan menyingkap Misteri-misteri dari jalan Kebenaran Abadi.”
Jalaluddin Rumi 4Karyanya telah cukup dikenal dalam kurun waktu kurang dari seratus tahun setelah kematiannya pada 1273, karena Chaucer menggunakannya sebagai rujukan sebagian karyanya, bersama-sama dengan bahan dari ajaran-ajaran guru spiritual Rumi, Aththar sang Kimiawan (1150-1229/30). Dan berbagai rujukan terhadap bahan bahasa Arab yang bisa ditemukan pada Chaucer, bahkan suatu pengujian secara cepat memperlihatkan suatu pengaruh Sufi dari Madzhab Rumi dalam literatur. Penggunaan Chaucer terhadap ungkapan seperti, “Singa mungkin bisa mengambil pelajaran ketika seekor anjing dihukum …,” merupakan adaptasi semata yang terkait pada kata-kata, idhtrib al-kalba wa ya’khud addaba al-fahdu (“Pukullah anjing dan singa akan mengambil pelajaran!”), sebagai suatu ungkapan rahasia yang digunakan oleh Para Darwis Berputar. Penafsirannya bergantung pada suatu permainan pada kata-kata “anjing” dan “singa”. Meskipun ditulis demikian rupa, pengucapan kata kunci tersebut dipergunakan secara homofone. Sebagai ganti mengucapkan “anjing” (kalb), Sufi mengatakan “hati” (qalb), dan sebagai ganti kata “singa” (fahdu) adalah kata fahid (“kelalaian”). Ungkapan tersebut sekarang menjadi, “Pukullah hati (dengan latihan-latilian Sufi) dan kelalaian (fakultas-fakultas [jiwa]) akan bersikap (dengan benar).”
Ini merupakan slogan yang memperkenalkan gerakan-gerakan “pemukulan hati” yang didorong oleh gerakan dan konsentrasi pada Mevlevi — “Para Darwis Berputar”.
Hubungan antara Canterbury Tales (Cerita-cerita Canterbury) sebagai sebuah alegori perkembangan batin dan Parliament of the Birds dari Aththar merupakan persoalan menarik lamnya. Profesor Skeat mengingatkan kita bahwa, seperti Aththar, Chaucer memiliki tiga puluh pengikut. Tiga puluh Peziarah tersebut mencari burung mistik, dan nama burung itu adalah Simurgh. Nama ini masuk akal dalam bahasa Persia, sebab Simurgh bermakna “tiga puluh burung”.
Akan tetapi dalam bahasa Inggris pengubahan (bentuk) semacam ini tidaklah mungkin. Jumlah peziarah tersebut, yang diperlukan dalam bahasa Persia sebab adanya persyaratan irama, dipertahankan Chaucer, menghilangkan makna ganda.The Pardoner’s Tale terdapat pada Aththar, cerita pohon pear ditemukan pada Kitab IV dari karya Sufinya Rumi, Matsnawi.
Jalaluddin Rumi 2Pengaruh Rumi, baik dalam gagasan maupun secara tekstual, cukup besar di Barat. Karena semua karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Barat pada tahun-tahun terakhir ini, maka dampaknya semakin besar. Tetapi jika ia, seperti ProfesorArberry menyebutnya, “benar-benar penyair mistis terbesar dalam sejarah manusia,” maka puisi-puisi sendiri yang di dalamnya begitu banyak memaparkan ajaran-ajarannya, hanya benar-benar bisa diapresiasi dalam bahasa Persia aslinya. Meskipun demikian, ajaran-ajaran dan metode-metode yang dipergunakan oleh Para Darwis Berputar dan madzhab-madzhab lainnya yang dipengaruhi Rumi, tidaklah terlalu sulit ditemukan, dengan syarat bahwa cara dalam meletakkan kebenaran-kebenaran esoterik tersebut bisa dipahami.
Ada tiga dokumen dimana melalui ini karya Rumi bisa dikaji oleh dunia luar. KitabMatsnawi-i-Manawi (Sajak-sajak Spiritual) merupakan karya utama Jalaluddin — terdiri dari enam kitab (bagian) puisi dan metafora yang bentuk aslinya memiliki kekuatan sedemikian rupa, sehingga pembacaannya bisa menghasilkan suatu kebahagiaan (spiritual) kompleks secara aneh bagi kesadaran pendengarnya.
Karya ini diselesaikan dalam waktu empat puluh tiga tahun. Sebenarnya ia tidak bisa dikritik sebagai karya puisi, sebab mengandung gagasan, bentuk dan penyajian yang pelik dan khas. Mereka yang mencari bait konvensional semata di dalamnya, seperti dinyatakan Profesor Nicholson, harus membolak-balik karya tersebut secara cepat. Dan kemudian mereka akan kehilangan pengaruh dari apa yang sesungguhnya merupakan suatu bentuk seni khusus, yang diciptakan Rumi untuk menyampaikan makna-makna, yang oleh Rumi sendiri diakui tidak memiliki padanan sesungguhnya dalam pengalaman manusia biasa. Mengabaikan pencapaian luar biasa ini sama halnya dengan memilih-milih rasa (makanan) tanpa selai strawberry.
Karena terlalu menekankan peranan puisi besar dalam lautan Matsnawi, terkadang Nicholson memperlihatkan suatu kesukaan terhadap syair formal.
Jalaluddin Rumi 3“Matsnawi,” katanya (Introduction,Selection from the Diwan of Shams of Tabriz, hlm. xxxix), “mengandung suatu kekayaan puisi yang mencerahkan. Tetapi para pembacanya harus menempuh jalan melalui apologi, dialog dan penafsiran-penafslran nash-nash Qur’ani, kepelikan-kepelikan metafisis dan petuah-petuah moral secara bersamaan sebelum mereka memiliki kesempatan menikmati suatu bagian dari kidung murni dan tinggi.”
Bagi Sufi, jika bukan bagi siapa saja, kitab ini berbicara dari suatu dimensi yang berbeda, bahkan suatu dimensi yang bagaimanapun berada di dalam dirinya yang terdalam.
Seperti semua karya Sufi, Matsnawi akan beragam pengaruhnya terhadap pendengarnya sesuai dengan kondisi-kondisi dimana karya ini dikaji. Kitab ini memuat lelucon, fabel, pembicaraan, rujukan kepada para mantan guru dan metode-metode yang bisa mengantarkan pada ekstase (ecstatogenic) — suatu contoh fenomenal dari metode pencerai-beraian, dimana sebuah gambar disusun dengan multi-dampak untuk memasukkan pesan ke dalam pikiran Sufi.
Pesan ini, Rumi maupun semua guru Sufi lainnya, secara parsial disusun sebagai jawaban terhadap lingkungan di mana ia bekerja. Ia menciptakan tarian dan gerakan-gerakan memutar di kalangan para muridnya. Menurut riwayat, hal ini disebabkan temperamen lamban dan malas dari orang yang diajarinya. Apa yang disebut sebagai variasi doktrin atau tindakan yang ditetapkan oleh berbagai guru Sufi sebenarnya tidak lain merupakan penerapan dari aturan ini.
Dalam sistem pengajarannya, Rumi mempergunakan penjelasan dan latihan mental, pemikiran dan meditasi, kerja dan bermain, tindakan dan diam. Gerakan-gerakan “tubuh-pikiran” dari Para Darwis Berputar dibarengi dengan musik tiup untuk mengiringi gerakan-gerakan tersebut, merupakan hasil dari metode khusus yang dirancang untuk membawa seorang Salik mencapai afinitas dengan arus mistis, untuk ditransformasikan melalui cara ini. Segala sesuatu yang dipahami oleh orang yang belum tercerahkan (orang biasa) memiliki kegunaan dan makna dalam konteks khusus Sufisme yang mungkin tidak terlihat sampai hal itu dialami. “Doa,” ucap Rumi, “memiliki bentuk, suara dan realitas fisiknya. Segala sesuatu yang memiliki kata (nama), memiliki padanan fisiknya. Dan setiap pemikiran memiliki suatu (bentuk) tindakan.”
Salah satu karakteristik yang benar-benar Sufistik dari Rumi adalah bahwa, sekalipun tentu ia akan memberikan pernyataan tegas yang paling tidak populer — bahwa orang biasa, apa pun pencapaian formalnya, tidak dewasa dalam mistisisme — ia juga memberikan kesempatan bagi hampir semua orang untuk mencapai kemajuan menuju penyempurnaan nasib manusia.
Jalaluddin Rumi 5Seperti para Sufi yang berada di dalam suatu atmosfir teologis, pertama kali Rumi menunjukkan para pendengar terhadap persoalan agama. Ia menekankan bahwa bentuk dimana didalamnya merupakan kebiasaan dalam beragama dan bersifat emosional yang dipahami oleh badan-badan (lembaga) terorganisir, tidaklah benar. Tabir Cahaya, yang merupakan penghalang yang diakibatkan oleh sikap pembenaran diri, adalah lebih berbahaya dibanding Tabir Kegelapan, yang dihasilkan didalam pikiran oleh kejahatan. Pemahaman hanya bisa dihasilkan dengan cinta, bukan dengan pelatihan melalui cara-cara terorganisir.
Baginya (Rumi), para guru tertua dari agama-agama adalah benar. Para penerusnya, kecuali sebagian kecil, mengelola persoalan-persoalan itu sedemikian rupa sehingga secara menyeluruh menutup kemungkinan pencerahan. Sikap ini menuntut suatu pendekatan baru terhadap persoalan-persoalan agama. Rumi memahami seluruh persoalan tersebut di luar saluran normal. Ia tidak dipersiapkan untuk menyerahkan dogma pada studi dan dalil (argumen). “Agama sejati,” tuturnya, “adalah berbeda dari yang diduga orang. Oleh sebab itu, tidak ada nilainya untuk mengkaji dan menguji dogma.” “Di dunia ini,” ucapnya, “tidak ada padanan dari hal-hal yang disebut sebagai Arasy (Tuhan), Kitab, Malaikat, Hari Hisab. Perumpamaan digunakan, dan semua itu secara pasti sekadar suatu gagasan kasar tentang sesuatu yang lain.”
Dalam kumpulan ucapan dan ajarannya yang berjudul Fihi Ma Fihi (Di Dalamnya adalah Apa yang Ada di Dalamnya), yang digunakan sebagai buku-buku rujukan para Sufi, ia bahkan melangkah lebih jauh. “Manusia,” tuturnya, “melewati tiga jenjang. Pada jenjang pertama, ia menyembah apa saja –manusia, perempuan, uang, anak-anak, bumi/tanah dan batu. Kemudian, ketika sedikit lebih maju, ia menyembah Tuhan. Pada akhirnya, ia tidak berkata, ‘Aku menyembah Tuhan,’ maupun, ‘Aku tidak menyembah Tuhan.’ Ia telah melewati tahapan ketiga.”
Untuk mendekati jalan Sufi, sang Salik harus menyadari bahwa dirinya, sebagian besar merupakan serangkaian dari apa yang saat ini disebut pengkondisian — gagasan-gagasan kaku dan prasangka, kadang-kadang respon otomatis yang telah terjadi melalui pelatihan orang lain. Manusia tidaklah sebebas yang diduga. Tahapan pertama bagi seseorang adalah untuk melepaskan diri dari pemikiran bahwa dirinya mengerti dan benar-benar mengerti. Tetapi manusia telah diajar, bahwa dirinya bisa memahami melalui proses yang sama, yaitu proses logika. Ajaran ini telah melemahkannya.
“Jika engkau mengikuti cara-cara yang telah diajarkan kepadamu, yang mungkin telah engkau warisi, karena hanya ada alasan lain selain ini, maka engkau tidak logis.”
Pemahaman agama, dan hal-hal yang telah diajarkan oleh para tokoh agama besar, merupakan bagian dari Sufisme. Sufisme menggunakan terminologi dari agama biasa, tetapi dengan cara khas yang selalu menyulut kemarahan dari penganut nominalnya. Secara umum, bagi Sufi, masing-masing guru keagamaan menyimbolkan, dalam ibadahnya dan terutama dalam kehidupannya, suatu aspek dari jalan yang totalitasnya adalah Sufisme. “Yesus ada dalam dirimu,” ucap Rumi; “carilah pertolongannya. Dan kemudian, jangan mencari dari dalam dirimu sendiri, dari Musamu, kebutuhan bagi seorang Fir’aun.”
Jalan-jalan keagamaan yang dirintis Sufi itu dinyatakan oleh Rumi ketika ia mengatakan bahwa jalan Yesus adalah perjuangan dengan kesunyian dan mengatasi nafsu. Jalan Muhammad adalah hidup di dalam masyarakat sebagai manusia biasa. “Pergilah dengan jalan Muhammad!” tuturnya, “tetapi jika engkau tidak mampu, maka pergilah dengan jalan Kristiani!” Di sini Rumi bukan berarti menyeru pendengarnya untuk memeluk salah satu dari agama ini. Ia sesungguhnya menunjukkan jalan-jalan di mana di dalamnya sang Salik bisa menemukan pencerahan melalui pemahaman. Sufi menghargai terhadap jalan-jalan yang dikandung, pada Yesus dan Muhammad.
Demikian juga, ketika Sufi berbicara tentang Tuhan, ia tidak memaksudkan ketuhanan dalam pengertian sebagaimana dipahami oleh seorang yang telah dilatih oleh teolog. Tuhan (dalam pengertian teologis) ini diterima oleh sebagian orang, yakni orang yang saleh; ditolak oleh yang lain, yakni para atheis. Bahkan ia merupakan suatu penolakan, atau penerimaan terhadap sesuatu yang telah diberikan oleh kalangan skolastik dan kependetaan. Tuhan para Sufi tidak dilihat dalam kontroversi ini; sebab bagi Sufi, Tuhan merupakan persoalan pengalaman pribadi.
Semua ini tidak berarti bahwa seorang Sufi berusaha membuang pelatihan fakultas penalaran. Rumi menjelaskan bahwa akal adalah esensial, tetapi ia memiliki tempatnya tersendiri. “jika engkau ingin membuat baju, kunjungilah penjahit, maka akal akan mengatakan kepadamu penjahit mana yang dipilih. Akan tetapi, setelah itu akal harus menahan diri. Engkau harus memberikan kepercayaan penuh kepada penjahit bahwa akan menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan benar.” “Logika,” kata Rumi, “membawa seorang pasien ke dokter. Setelah itu, secara utuh ia berada di tangan sang dokter.”
Tetapi seorang materialis yang terlatih baik, meskipun ia mengaku bahwa dirinya ingin mendengar apa yang bisa dikatakan seorang mistikus kepadanya, tidak bisa diberitahu semua kebenaran. Ia tidak akan mempercayainya. Kebenaran tidak didasarkan materialisime lebih daripada logika. Disinilah mistiskus bekerja dengan serangkaian ranah yang berbeda, sementara seorang materialis hanya pada satu ranah. Akibat dari hubungan mereka pastilah bahwa Sufi bahkan akan tampak tidak konsisten dalam pandangan materialis. Jika pada hari ini ia mengatakan sesuatu yang dikatakannya secara berbeda dengan hari kemarin, ia akan tampak sebagai pembohong. Paling tidak, situasi yang berada pada tujuan-tujuan yang berseberangan akan merusak setiap kesempatan untuk maju dengan sikap saling memahami.
“Mereka yang tidak memahami suatu hal,” ucap Rumi, “akan mengatakan bahwa hal itu tidak berguna. Tangan dan alat adalah bagaikan batu dan baja. Pukullah batu dengan tanah. Apakah percikan api akan terjadi?” Salah satu alasan mengapa Sufi tidak mengajar secara umum adalah karena agamawan yang telah terkondisikan, atau seorang materialis, tidak akan memahaminya:
Seekor burung rajawali raja bertengger di sebuah reruntuhan bangunan yang dihuni oleh burung-burung hantu. Mereka berpendapat bahwa rajawali itu datang untuk mengusir mereka dari rumahnya dan untuk ditempatinya sendiri. “Reruntuhan ini tampak mewah bagi kalian. Bagiku, tempat yang lebih baik adalah di tangan Raja,” tutur si rajawali. Sebagian burung hantu tersebut berteriak, “Jangan mempercayainya. Ia menggunakan tipuan untuk mengambil rumah kita!”
Penggunaan dongeng dan ilustrasi seperti fabel di atas sangat luas di kalangan para Sufi, dan Rumi dikenal sebagai pakarnya.
Pemikirannya yang sama seringkali disampaikan oleh Rumi dalam banyak bentuk, agar bisa dipahami pikiran. Para Sufi mengatakan bahwa suatu idea akan memasuki pikiran yang terkondisikan (tertabiri) hanya jika ia disusun begitu baik sehingga mampu melewati dinding kondisional. Kenyataan bahwa non-Sufi sangat sedikit memiliki kesamaan dengan Sufi itu berdasar pada yang ada dalam setiap diri manusia, dan yang tidak seluruhnya bisa dimatikan oleh bentuk pengondislan apa pun. Unsur-unsur inilah yang mendasari perkembangan Sufi. Salah satu unsur dasar dan permanen adalah unsur cinta. Cinta merupakan faktor yang akan membawa seseorang dan semua orang, pada pencerahan:
“Panasnya ruang pembakaran mungkin terlalu berat bagimu untuk bisa mengambil manfaat dari pengaruh panasnya; sementara nyala api yang lebih lemah dari sebuah lampu bisa memberikan tingkatan panas yang engkau butuhkan.”
Setiap orang, ketika mencapai jenjang tertentu karena kemampuan yang semata-mata bersifat personal, mengira bahwa ia bisa menemukan jalan menuju pencerahan melalui dirinya sendiri. Anggapan ini ditolak oleh para Sufi, sebab mereka mempertanyakan bagaimana seseorang bisa menemukan sesuatu sementara ia tidak tahu apa sebenarnya sesuatu tersebut. “Setiap orang menjadi pencari emas,” ucap Rumi, “tetapi orang awam tidak mengetahuinya ketika ia melihatnya. Jika Anda tidak bisa mengenalinya, bergabunglah dengan orang bijak.”
Orang awam, karena mengira ia berada di jalan pencerahan, seringkali hanya melihat pantulannya. Sinar mungkin bisa dipantulkan ke dinding; dinding tersebut merupakan tempat bagi sinar. “Jangan tempelkan dirimu ke batu-bata dari dinding itu, tetapi carilah (cahaya) asli yang abadi!”
“Air membutuhkan suatu perantara, sebuah tungku, antara tungku dan api itulah air dipanaskan dengan benar.”
Bagaimana cara seorang Salik menemukan tugasnya dalam mencari jalan yang benar? Pertama, ia tidak boleh mengabaikan kerja dan harus tetap “hidup” di dunia. “Jangan menyerah dan berhenti kerja!” perintah Rumi. Sungguh, “Khazanah yang engkau cari berasal darinya.” Ini merupakan satu alasan mengapa semua Sufi harus memiliki sebuah kegiatan konstruktif Meskipun demikian, kerja bukan saja kerja biasa atau bahkan kreativitas yang bisa diterima secara sosial. Ia meliputi kerja-diri;alkimia menjadikan seseorang berkepribadian sempurna: “Wool di tangan seorang yang berpengetahuan, menjadi permadani. Tanah menjadi istana. Kehadiran manusia spiritual menciptakan perubahan serupa.”
Pada awalnya seorang yang bijak merupakan pembimbing seorang murid. Segera setelah memungkinkan, guru ini melepaskan si murid, sebagai orang yang memperoleh hikmahnya sendiri, dan kemudian ia melanjutkan kerja-dirinya. Para guru palsu dalam Sufisme, sebagaimana di mana saja, tidaklah sedikit. Maka para Sufi dihadapkan pada situasi aneh, sebab sementara guru palsu bisa jadi tampak seperti asli (karena ia berusaha keras untuk berpenampilan seperti yang diinginkan muridnya), sedangkan Sufi sejati seringkali tidak seperti apa yang dikira oleh Salikyang belum terlatih dan belum bisa membedakan.
Rumi mengingatkan, “Jangan menilai seorang Sufi sebagai seseorang yang bisa dilihat, sobat. Berapa lama, seperti seorang anak kecil, engkau hanya lebih menyukai kacang dan roti?”
Guru palsu sangat memperhatikan penampilan, dan mengetahui bagaimana membuat seorang murid mengira bahwa ia adalah orang besar, bahwa ia memahaminya, bahwa dirinya memiliki rahasia-rahasia besar yang akan diungkap. Seorang Sufi memiliki banyak rahasia, tetapi ia harus menjadikan rahasia-rahasia tersebut berkembang dalam diri murid. Sufisme merupakan sesuatu yang diberikan kepadanya. Guru palsu akan menjaga para pengikutnya agar tidak menjauh dari dirinya untuk selamanya, tidak mengatakan kepada mereka, bahwa mereka tengah diberikan latihan yang harus berakhir secepat mungkin, sehingga mereka bisa merasakan perkembangan mereka sendiri dan melanjutkan hidup sebagai orang-orang yang tercerahkan.
Rumi menyeru kepada para skolastik, teolog dan pengikut guru palsu, “Kapan kalian berhenti menyembah dan mencintai timbanya? Kapan kaki mulai mencari airnya?” Hal-hal lahiriah merupakan sesuatu yang biasanya dinilai oleh kebanyakan orang. “Ketahuilah perbedaan antara warna anggur dan warna gelasnya.”
Sufi harus mengikuti semua rutinitas pengembangan-diri; sebaliknya semata-mata konsentrasi terhadap salah satunya akan menyebabkan ketimpangan, yang bisa membawa pada kerugian. Laju pengembangan setiap orang berbeda-beda. “Sebagian,” ucap Rumi, “memahami semuanya hanya dengan membaca sebuah baris (ajaran). Yang lain, yang benar-benar telah hadir pada suatu peristiwa, mengetahui semua tentang hal itu. Kemampuan pemahaman berkembang bersama kemajuan spiritual seseorang.”
Meditasi-meditasi Rumi meliputi beberapa gagasan yang mencolok, yang dirancang untuk membawa Salik ke dalam suatu pemahaman tentang kenyataan bahwa secara temporer ia berada di luar hubungan dengan realitas utuh, meskipun kehidupan biasa tampak sebagai totalitas dari realitas itu sendiri. Apa yang kita lihat, apa yang kita rasakan dan alami dalam kehidupan wajar dan belum tercerahkan, menurut pemikiran Sufistik, hanyalah sebagian dari keseluruhan yang besar. Ada dimensi-dimensi yang hanya bisa dicapai melalui upaya keras. Seperti bagian gunung es yang tampak di permukaan, keseluruhan badan gunung itu ada di sana, meskipun tidak terlihat di bawah kondisi-kondisi wajar. Jika seperti gunung es realitas tersebut jauh lebih besar dari yang biasa diduga oleh pengamatan superfisial.
Rumi mempergunakan berbagai analogi untuk menjelaskan hal ini. Salah satu paling mengejutkan adalah teorinya tentang tindakan. Katanya, ada sesuatu yang disebut sebagai tindakan komprehensif, dan juga ada tindakan individual. Kita terbiasa melihat, dalam indera dunia biasa, semata tindakan individu. Semisal, sejumlah orang sedang membuat sebuah tenda. Sebagian menjahit, yang lain mempersiapkan tali, sebagian lagi menenun. Mereka semua ikut ambil bagian dalam suatu tindakan komprehensif, meskipun masing-masing tampak sebagai tindakan individual. Jika kita berpikir tentang pembuatan tenda, hal itu adalah tindakan komprehensif dari keseluruhan kelompok, dimana itulah yang penting.
Dalam arah-arah tertentu, para Sufi menyatakan, kehidupan harus dipandang sebagai keseluruhan, demikian juga secara individual. Hal ini sesuai dengan keseluruhan rencana, tindakan komprehensif dalam kehidupan, sangatlah mendasar bagi pencerahan.
Sedikit demi sedikit, di saat pengalamannya meningkat, Sufi mulai membentuk kembali pemikirannya selaras dengan garis ini. Sebelum ia benar-benar memiliki pengalaman mistisisme, ia adalah seorang yang lugu, tidak terlibat, atau memiliki suatu idea yang secara menyeluruh khayali tentang sifat dasar pengalaman tersebut, terutama tentang Guru dan jalan (Tarekat). Rumi memberikan kepadanya meditasi-meditasi yang dirancang untuk mengatasi perkembangan berlebihan dari idea-idea tertentu yang mengalir deras di kalangan orang yang belum memperoleh pengajaran (Sufistik). Manusia mengharap diberi sebuah kunci emas. Tetapi sebagian lebih cepat berkembang dari yang lain. Seorang yang bepergian melewati kegelapan itu masih bisa disebut sedang bepergian. Sang murid akan belajar (sesuatu) ketika ia tidak mengetahui bahwa dirinya tengah belajar, dan sebagai hasilnya ia mungkin akan terlumuri (pengetahuan). Di musim dingin, Rumi mengingatkan, sebuah pohon tengah mengumpulkan makanan. Orang mungkin mengira bahwa pohon tersebut bermalas-malasan, sebab mereka tidak melihat sesuatu yang terjadi. Tetapi di musim semi mereka melihat untaian-untaian bunga. Sekarang, pikirnya, ia tengah bekerja. Ada waktunya untuk mengumpulkan dan ada waktunya untuk mengeluarkannya. Hal ini membawa subyek kembali pada ajaran: “Pencerahan harus datang sedikit demi sedikit — jika tidak, tak terbendung”.
Sarana-sarana skolastisisme, yang digunakan sebagai latihan bagi para Sufi, digantikan oleh pelatihan esoterik, dan hal ini harus dilakukan sesuai dengan kapasitas murid. Alat-alat pandai besi, ucap Rumi, “di tangan tukang tambal sepatu adalah seperti benih yang ditabur ke dalam pasir. Dan alat-alat tukang tambal sepatu di tangan petani adalah seperti jerami yang ditawarkan kepada anjing, atau tulang yang diberikan pada keledai.”
Sikap terhadap konvensi-konvensi biasa dalam kehidupan mengalami suatu pengujian. Persoalan jeritan batin manusia dipandang, bukan seperti sebuah kebutuhan Freudian, tetapi sebagai sesuatu instrumen alamiah yang melekat pada pikiran untuk memungkinkannya mencapai kebenaran. Rumi mengajarkan bahwa manusia sebenarnya tidak mengetahui apa yang mereka inginkan. Jeritan batinnya dinyatakan dalam ratusan keinginan yang mereka duga sebagai kebutuhan mereka. Namun hal ini bukanlah hasrat mereka sesungguhnya, sebagaimana pengalaman memperlihatkan. Karena ketika tujuan-tujuan ini tercapai, jeritan tersebut tidak berhenti. Rumi pastilah melihat Freud sebagai seorang yang terobsesi oleh salah satu perwujudan sekunder dari jeritan besar tersebut; bukan sebagai seorang yang telah menemukan dasar jeritan itu.
Demikian juga, orang-orang tampak jahat dalam pandangan seseorang — tetapi bagi lainnya mereka mungkin terlihat baik. Hal ini disebabkan dalam satu pikiran terdapat idea ketidakpuasan, sementara pada lainnya terdapat pandangan kebaikan. “Ikan dan kail kedua-duanya sama-sama hadir.”
Sufi mempelajari kekuatan pelepasan-diri, kemudian diikuti kekuatan mengalami apa yang ia pertimbangkan, tidak sekadar melihatnya. Untuk melakukan hal ini, ia diperintahkan gurunya untuk merenungkan peringatan Rumi, “Orang yang kenyang dan kelaparan tidak melihat hal yang sama ketika kedua-duanya melihat sepotong roti.”
Jika seseorang sangat tidak terlatih sehingga ia dipengaruhi oleh kebiasaannya sendiri, ia tidak bisa berharap untuk bisa mempunyai banyak kemampuan. Rumi memusatkan pada kontrol pengembangan; kontrol melalui pengalaman, bukan semata-mata melalui teori tentang yang baik dan buruk, benar atau salah. Teori ini masuk dalam kategori kata-kata, “Kata-kata, dalam dirinya sendiri, tidaklah penting. Anda memperlakukan seorang tamu dengan baik, dan berbicara beberapa patah kata yang lembut kepadanya, karenanya ia bahagia. Tetapi jika Anda memperlakukan orang lain dengan menggunakan beberapa patah kata dengan kasar, ia akan merasa sakit. Bisakah beberapa patah kata tersebut bermakna kebahagiaan atau kesedihan? Ini merupakan faktor-faktor sekunder, dan bukan faktor sesungguhnya. Kata-kata mempengaruhi orang yang lemah.”
Murid Sufi berkembang melalui berbagai latihan dalam melihat segala hal dengan cara pandang baru. Ia juga berbuat, bertindak dengan cara berbeda dalam suatu situasi tertentu daripada yang seharusnya ia lakukan. Ia memahami makna yang lebih mendalam karena anjuran-anjuran sebagai berikut, “Ambillah mutiaranya, bukan kulitnya! Engkau tidak akan menemukan sebuah mutiara di setiap kulit. Sesosok gunung jauh lebih besar dari sesosok batu mirah.” Apa yang tampak lazim bagi orang pada umumnya, mungkin berlalu di atas dasar sebuah kebijakan dan dipandang sebagai biasa, secara mendalam menjadi penuh makna bagi Sufi yang dalam intensitasnya menemukan hubungan dengan sesuatu yang disebutnya sebagai “yang lain” — faktor dasar yang sedang dicarinya. “Apa yang tampak sebuah batu bagi orang biasa,” lanjut Jalaluddin Rumi, “adalah mutiara bagi sang Alim.”
Kini kehalusan pengalaman spiritual tampak sekilas bagi sang Salik. Jika ia seorang pekerja kreatif, ia memasuki jenjang itu ketika inspirasi kadangkala masuk ke dalam dirinya, tetapi tidak pada waktu yang lain. Jika ia rentan terhadap pengalaman ekstatik, akan menemukan bahwa perasaan penuh makna yang membahagiakan dalam keutuhan itu datang secara singkat sehingga ia tidak mampu mengendalikannya. Rahasia melindungi dirinya sendiri. “Pusatkan perhatian pada spiritualitas seperti yang engkau inginkan –ia akan membutakan dirimu jika engkau tidakmampu melihatnya. Tulislah hal ini, bicarakan dan ulaslah — ia akan gagal untuk memberikan manfaat kepadamu: ia akan terbang. Namun, jika rahasia itu menyentuh pusat pikiranmu, ia mungkin datang ke tanganmu, seperti seekor burung yang jinak. Layaknya burung merak, ia tidak akan hinggap di tempat yang tidak layak.”
Hanya ketika telah melampaui jenjang perkembangan inilah, seorang Sufi bisa menyampaikan sesuatu tentang jalan itu kepada orang lain. Jika ia mencobanya sebelum melampaui jenjang tersebut, “Ia akan lenyap”.
Di sini juga letak arti penting suatu keseimbangan halus antara (keadaan-keadaan) ekstrim yang sangat mendasar itu, atau keseluruhan upaya itu akan sia-sia. “Pikiran Anda sebagai jaring itu begitu halus,” tutur Rumi. Ia harus disesuaikan dengan tepat agar bisa menangkap sasarannya. Jika ada kesedihan, jaring itu terkoyak. Jika terkoyak, ia tidak berguna. Karena cinta yang terlalu besar, begitu pula karena penentangan yang terlalu besar, jaring itu terkoyak. “Jangan lakukan keduanya!”
Lima indera batin mulai berfungsi jika kehidupan batin individu dibangkitkan. Makanan batiniah yang dibicarakan oleh Rumi itu mulai mempengaruhinya. Indera-indera batin bagaimanapun menyerupai indera-indera lahiriah, tetapi “perbandingan indera batin dengan indera lahiriah seperti emas dan tembaga”.
Karena setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda, para Sufi pada jenjang ini mengembangkan dengan cara-cara tertentu. Adalah biasa bagi sejumlah fakultas batin dan berbagai kemampuan khusus untuk berkembang secara bersamaan dan harmonis. Berbagai perubahan kepekaan batin itu mungkin terjadi, tetapi perubahan itu sama sekali berbeda dengan perubahan batin dari orang-orang yang belum berkembang menuju kepribadian sejati. Kekasaran batin orang-orang awam ini digantikan oleh perubahan dan interaksi dari cita rasa yang lebih tinggi, dimana cita rasa yang lebih rendah dipandang sebagai refleksi semata.
Konsepsi Sufi tentang hikmah dan kebodohan mengalami suatu perubahan. Rumi memahaminya sebagai berikut, “Jika seseorang benar-benar bijaksana dan tidak memiliki kebodohan, ia akan dihancurkan oleh kebijaksanaannya sendiri. Oleh karena itu, kebodohan bisa dihargai, sebab ia berarti bagi kelangsungan eksistensi. Kebodohan dalam perubahan ini merupakan kolaborator hikmah, sebagaimana malam dan siang saling melengkapi.”
Bekerjanya hal-hal yang bertentangan secara bersamaan merupakan tema penting lain dalam Sufisme. Ketika pertentangan nyata bisa didamaikan, individualitas bukan saja utuh, ia juga bisa melampaui ikatan-ikatan manusia awam sebagaimana kita memahaminya. Individu itu, selama kita bisa menyatakannya sedekat mungkin, sangatlah kuat. Apa makna pernyataan ini dan bagaimana terjadinya adalah persoalan-persoalan dari pengalaman pribadi, di luar dunia penulisan semata. Rumi mengingatkan kita pada lain tempat, dalam ucapannya yang tertulis dengan kata-kata: “Kitab sang Sufi bukanlah huruf-huruf yang kelam, kitabnya seputih kalbu.”
Sekarang sang Sufi mempunyai pandangan batin tertentu yang terkait dengan perkembangan suatu intuisi yang selalu benar. Perasaannya terhadap pengetahuan sedemikian rupa, sehingga dengan membaca sebuah kitab, ia bisa membedakan fakta dan fiksi, tujuan sejati penulisnya dari unsur-unsur lainnya. Kalangan yang secara khusus terancam oleh kemampuan ini adalah para peniru yang mengaku sebagai Sufi. Sementara orang yang mempunyai intuisi itu akan mempunyai kemampuan tembus pandang. Bahkan pengertiannya tentang keseimbangan memperlihatkan kepadanya betapa jauh si peniru itu dari tujuan Sufisme. Rumi mengulas fungsi ini dalam Matsnawi. Ajaran ini secara setia disampaikan pula oleh para guru Sufi ketika mereka menemukan bahwa murid telah mencapai jenjang ini: “Peniru itu seperti penyalur. Ia sendiri tidak minum, tetapi ia mungkin bisa memindahkan air kepada orang yang kehausan.”
Karena telah mengalami kemajuan di jalan itu, Sufi menyadari betapa rumit dan berbahayanya jalan itu jika tidak dijalankan sesuai dengan metode yang telah dikembangkan selama berabad-abad. Dengan menggunakan fabel, Matsnawimencatat jenjang dari pengalaman ini. Seekor singa memasuki sebuah kandang, memangsa seekor sapi yang tinggal di dalam kandang itu, lalu ia duduk ditempat si sapi. Kandang itu gelap, si pemilik sapi masuk dan mencari-cari sapinya. Tangannya meraba-raba tubuh singa itu. Si singa berkata dalam hati, “Jika ada cahaya, pastilah ia akan mati ketakutan. Ia menyentuhku hanya karena menduga bahwa aku adalah sapinya.” Jika fabel ini dibaca sebagai cerita biasa, penggambarannya yang singkat dan menarik ini mungkin dipahami sebagai sejenis orang bodoh yang terburu-buru masuk ke tempat di mana para malaikat sendiri takut merambahnya.
Pemahaman terhadap makna sejati di balik berbagai peristiwa duniawi yang tidak bisa dijelaskan secara nalar itu merupakan konsekuensi lain dari perkembangan Sufi. Sebagai contoh, mengapa tahapan tertentu dalam studi mistis menuntut seseorang lebih lama dari lainnya, meskipun ia sebenarnya melaksanakan rutinitas yang sama? Rumi menggambarkan pengalaman dan satu dimensi khusus dalam kehidupan yang menutupi fungsi aktualitas secara utuh dan memberikan suatu pandangan yang tidak memuaskan kita dari keseluruhan itu. “Dua pengemis,” katanya, “mendatangi sebuah rumah. Salah satunya segera merasa puas setelah diberi sepotong roti. Ia pun pergi. Sementara pengemis kedua tetap menunggu bagiannya. Mengapa? Pengemis pertama itu tidak disukai, ia diberi roti basi dan hambar. Pengemis kedua diminta menunggu sampai sepotong roti segar selesai dimasak untuknya.” Cerita ini menggambarkan suatu tema yang terjadi berulangkali dalam ajaran Sufi, bahwa seringkali ada satu unsur dalam sebuah peristiwa yang tidak bisa diketahui. Akibatnya kita mendasarkan pendapat kita pada bahan yang tidak utuh. Adalah keajaiban kecil jika orang yang belum tercerahkan mengembangkan dan memberikan suatu “pandangan kilas” yang berlangsung dengan sendirinya.
“Engkau dikuasai oleh dunia dimensi,” senandung Rumi dalam sebuah syairnya, “tetapi engkau berasal dari dunia non-dimensi. Tutuplah yang pertama dan bukalah yang kedua!”
Seluruh kehidupan dan setiap ciptaan dipandang dalam suatu bentuk baru dan komprehensif Dengan menggunakan metafor Matsnawi, pekerja “tersembunyi di dalam ruang kerjanya”, bersembunyi dalam kerjanya untuk merenda jaring-jaring dirinya. Ruang kerjanya adalah tempat pandangannya. Di luar tempat ini adalah kegelapan.
Posisi Sufi sebagai orang yang mempunyai pandangan batin lebih dalam tentang persoalan-persoalan dunia dan keseluruhan serta saling bertentangan, merupakan potensi kekuatan diri yang sangat besar. Tetapi ia hanya bisa melakukan hal ini dalam hubungannya dengan seluruh makhluk — pertama dengan sesama Sufi, kemudian dengan manusia secara umum dan akhirnya dengan semua makhluk. Kekuatan dan keberadaannya berkaitan dengan serangkaian hubungan baru. Orang-orang datang kepadanya dan ia menyadari bahwa bahkan mereka yang ingin mencemoohkan dirinya sangat mungkin datang untuk belajar sesuatu daripada sekadar menilai dirinya. Ia memandang sejumlah besar peristiwa sebagai suatu jenis pertanyaan dan jawaban. Suatu kunjungan kepada seorang yang Tercerahkan dipandangnya sebagai pendekatan, “Ajarilah aku!” Betapapun laparnya suatu pertanyaan, tetap saja sebuah pertanyaan. “Kirimkan makanan!” Mencegah diri untuk tidak makan merupakan jawaban, suatu jawaban negatif. Sebagaimana Rumi menyimpulkan bagian ini, jawaban untuk seseorang yang bodoh adalah diam.
Ia mampu memberikan sebagian pengalaman mistiknya kepada orang-orang tertentu, sebagian muridnya dan orang yang dituntun oleh pengalaman masa lalu mereka untuk perkembangan semacam itu. Hal ini terkadang dilakukan melalui latihan-latihan konsentrasi dan prakteknya mungkin berkembang ke dalam pengalaman mistik yang sesungguhnya. Rumi berkata kepada para muridnya, “Pada mulanya pencerahan datang kepadamu dari orang-orang yang Tercerahkan. Ini adalah suatu tiruan. Namun ketika hal itu datang berulang kali, ini adalah pengalaman tentang kebenaran.” Selama tahap pencariannya, seorang Sufi mungkin sering terlihat tidak memperdulikan perasaan orang lain, atau berada di luar aktivitas masyarakat. Jika demikian, hal ini karena ia telah melihat karakter sejati dari suatu situasi, di balik situasi lahiriah yang hanya terlihat secara parsial bagi orang lain. Ia berbuat dengan cara sebaik mungkin, meskipun tidak selalu mengetahui mengapa ia mengatakan atau melakukan sesuatu.
Dalam Fihi Ma Fihi, Rumi memberikan ilustrasi tentang situasi itu. Seorang pemabuk melihat seorang Raja lewat dengan menunggang kuda yang sangat mahal harganya. Ia mencemooh kuda itu. Sang Raja marah dan memanggilnya untuk menghadap kepadanya. Orang itu menjelaskan, “Saat itu seorang pemabuk sedang berdiri di atas atap. Aku sekarang bukan dia, sebab dia telah pergi.” Sang Raja puas dengan jawaban ini dan memberikan hadiah kepadanya. Pemabuk itu adalah sang Sufi dan orang yang sadar itu juga adalah dirinya. Dalam hubungannya dengan realitas sejati, sang Sufi telah bertindak dengan cara tertentu. Akibatnya ia diberi hadiah. Ia juga melaksanakan suatu fungsi ketika menjelaskan kepada Raja bahwa orang tidak selalu bertanggung jawab atas berbagai tindakannya. Ia juga telah memberikan kesempatan kepada Raja untuk melakukan perbuatan baik.
Tidak ada anggur yang matang menjadi mentah kembali. Evolusi manusia tidak dapat dihentikan. Meskipun demikian evolusi ini bisa diarahkan dan dicampuradukkan oleh mereka yang tidak mengetahui apa sesungguhnya intuisi itu. Dengan demikian ajaran-ajaran Sufisme bisa diselewengkan dan seorang yang telah Tercerahkan juga bisa dihubungi jika ia membiarkan dirinya terlalu sering terlihat secara terbuka oleh orang kebanyakan. Sebab untuk mengajarkan masalah Sufistik kepada orang luar, seperti guru Sufi lainnya, Rumi selalu menyerukan:
Ketika lentera batin permata masih menyala,
Potonglah segera sumbu atasnya dan berilah minyak.
Namun ia sepakat dengan para guru lainnya yang menolak untuk membicarakan mistik kepada setiap orang, “Panggillah kuda-kuda ke tempat yang tidak berumput, mereka pun akan mempertanyakannya.” — tidak menjadi soal apa pertanyaannya itu.
Para Sufi menentang kalangan intelektual murni dan para pemikir skolastik, karena mereka percaya bahwa pelatihan pikiran dengan cara obsesif dan satu jalur pemikiran semacam itu justru membahayakan pikiran. Demikian pula, mereka sangat menentang orang-orang yang mengira bahwa semua persoalan itu bersifat intuitif dan asketis. Padahal Rumi menekankan keseimbangan dari semua kemampuan itu.
Kesatuan pikiran dan intuisi yang akan melahirkan pencerahan dan perkembangan yang dicari oleh para Sufi itu didasarkan pada Cinta — tema yang ditekankan oleh Rumi ini tidak bisa dipaparkan secara lebih baik kecuali melalui berbagai tulisannya sendiri, kecuali jika ia berada di dalam dinding-dinding aktual dari sebuah madzhab Sufi. Seperti intelektualisme yang bekerja dengan bahan-bahan yang nyata, Sufisme bekerja dengan bahan-bahan yang terlihat dan tidak. Jika ilmu dan skolastisisme selalu mempersempit cakupannya ke dalam bidang kajian yang semakin sempit, maka Sufisme tetap menggunakan setiap bukti kebenaran yang melandasinya, di mana pun hal itu bisa ditemukan.
Kekuatan asimilasi dan kemampuan untuk membangkitkan simbolisme, cerita dan pemikiran dari dasar arus Sufistik ini telah menyebabkan para komentator (bahkan di Timur) merasa sangat kagum dan menjadikan masa lalu sebagai sesuatu yang baru. Mereka menelusuri asal-usul sebuah cerita di India, sebuah pemikiran di Yunani dan sebuah latihan spiritual di kalangan Shaman. Unsur-unsur ini dengan senang hati mereka himpun di meja, pada akhirnya untuk menyediakan amunisi dalam perjuangan dimana para lawannya adalah di antara mereka sendiri. Atmosfir unik dari madzhab-madzhab Sufi ditemukan dalam Matsnawi dan Fihi Ma Fihi. Tetapi dua karya ini oleh para eksternalis dianggap membingungkan, kacau dan ditulis secara longgar.
Adalah benar bahwa kedua kitab ini sebagian merupakan pembimbing yang harus digunakan dalam hubungannya dengan ajaran dan praktek Sufi yang sesungguhnya — kerja, pemikiran, kehidupan dan seni. Namun bahkan seorang komentator yang menerima kenyataan atmosfir ini sebagai sengaja diciptakan dan yang mengulang penilaian Sufi dalam buku, memperlihatkan dirinya sendiri dalam hubungan personal menjadi agak kebingungan terhadap semua hal itu. Selain itu harus dikatakan bahwa ia memandang dirinya sebagai seorang Sufi, meskipun tidak diakui oleh metode Sufi mana pun. Di bawah pengaruh orang-orang semacam ini, studi Barat tentang Sufisme dan sekarang dalam periode kebangkitan yang luar biasa, telah menjadi sedikit lebih Sufistik, meskipun ia masih harus menempuh jalan panjang. “Sufi intelektual” merupakan kegemaran mutakhir di Barat.
Sufisme tentu saja mempunyai terminologi teknis yang khas, dan puisi-puisi Rumi kaya akan jenis-jenis umum dan khusus dari istilah-istilah dasar itu. Sebagai contoh, ia menggambarkan dalam kitab ketiganya, Diwan asy-Syams at-Tabriz, beberapa konsep pikiran dan aktivitas yang diproyeksikan dalam suatu pertemuan rahasia para darwis. Diramu dengan puisi rapsodik (penuh semangat), ajaran-ajaran Sufi “dalam pemikiran dan tindakan” disampaikan melalui metode yang secara khusus dirancang proyeksinya:
Bergabunglah dengan komunitas Sufi, jadilah seperti mereka, maka lihatlah kebahagiaan dari kehidupan sejati. Pergilah sepanjang jalan yang runtuh dan lihatlah orang-orangyang merana (para pemilik rumah yang runtuh). Minumlah anggur, agar engkau tidak mempunyai rasa malu. Tutuplah kedua mata lahirmu, sehingga engkau bisa melihat dengan mata batin. Bukalah kedua tanganmu, jika engkau mengharap pelukan. Hancurkan berhala bumi untuk melihat wajah banyak berhala. Mengapa seorang perempuan tua begitu senang menerima sebuah mahar — dan karena tiga potong roti, mengapa engkau menerima kewajiban militer?
Sahabat kembali di malam hari; malam ini jangan minum — tutuplah mulutmu dari makanan, hingga engkau memperoleh makanan mulut. Di Majelis sang Pembawa Cawan yang ramah, berputarlah — masuklah ke dalam lingkaran. Berapa lama engkau mengitarinya? Inilah tawarannya — tinggalkan satu kehidupan, raihlah keramahan Pengembala… Hentikan pikiran kecuali bagi pencipta pikiran — berpikir tentang “kehidupan” lebih baik dibandingkan berpikir tentang roti. Di keluasan bumi Tuhan, mengapa engkau tertidur di sebuah penjara? Abaikan pemikiran-pemikiran rumit — untuk melihat jawaban jawaban yang tersembunyi. Diamlah untuk meraih kalam abadi. Tinggalkan “kehidupan” dan “dunia” untuk menyaksikan “Kehidupan Dunia”.
Meskipun aktualitas Sufi tidak bisa diuji kemurniannya oleh kriteria yang lebih terbatas dari pemikiran diskursif, puisi ini bisa dilihat sebagai suatu perakitan faktor-faktor utama dalam metode Rumi. Ia mendeskripsikan arti penting komunitas yang dicurahkan untuk memahami realitas, dimana realitas hanyalah sebagai suatu pengganti. Pengetahuan ini hadir melalui hubungan dengan orang lain, dengan terlibat dalam kegiatan kelompok, begitu pula dalam pemikiran dan kegiatan personal. Suatu yang mendasar hanya hadir jika pola-pola pemikiran tertentu telah direduksi dengan perspektif yang tepat. Sang Salik harus “membuka tangannya” untuk menerima sebuah pelukan, bukan mengharap sebuah pemberian sementara ia berdiri pasif menunggunya. “Perempuan tua yang lemah” adalah semua bentuk pengalaman duniawi sebagai pantulan dari suatu realitas terakhir yang hampir tidak mungkin dibandingkan dengan apa yang tampak sebagai kebenaran. Untuk “tiga potong roti” dalam kehidupan biasa, orang rela menjual potensialitasnya.
Sahabat datang di malam hari — datang, yaitu ketika segala sesuatu masih tinggal dan ketika seseorang tidak tenggelam oleh pemikiran otomatis. Makanan khas Sufi tidaklah sama dengan makanan biasa; tetapi ia merupakan bagian esensial dari kemanusiaan. Kemanusiaan berputar-putar di sekitar realitas dalam sebuah sistem yang tidak sejati. Ia harus memasuki lingkaran dan bukannya sekadar mengikuti garisnya. Hubungan kesadaran sejati dengan apa yang kita pandang sebagai kesadaran itu bagaikan hubungan dari seratus kehidupan dengan satu kehidupan. Beberapa karakteristik kehidupan sebagaimana kita ketahui — karakter pemangsa dan egoisme serta banyak lagi lainnya sebagai penghalang bagi kemajuan — harus dilenyapkan oleh faktor-faktor halus.
Pemikiran non-diskursif adalah metode. Pemikiran harus diarahkan untuk seluruh kehidupan, bukan terhadap aspek-aspeknya semata. Manusia laksana seseorang yang mempunyai pilihan untuk menjelajahi bumi, tetapi ia tertidur di sebuah penjara. Berbagai kepelikan intelektualisme yang keliru itu menutupi kebenaran. Sikap diam merupakan awal pembicaraan sejati. Kehidupan batin di dunia dicapai dengan cara mengabaikan pemilahan “kehidupan” dan “dunia”.
Ketika Rumi meninggal dunia pada tahun 1273, ia meninggalkan putranya, Bahauddin, untuk melanjutkan kepemimpinan Tarekat Mevlevi. Pada masa hidupnya ia dikelilingi oleh orang-orang dari setiap agama, dan pada waktu pemakamannya dihadiri oleh orang-orang dari segala jenis (kepercayaan).
Seorang Kristen ditanya, mengapa ia menangis begitu pilu atas kematian seorang guru Muslim. Jawabannya memperlihatkan pandangan Sufi tentang pengulangan ajaran dan penyampaian aktivitas spiritual:
“Kami menghargainya seperti Musa, Dawud, Yesus zaman ini. Kami semua adalah para pengikut dan muridnya.”
Kehidupan Rumi memperlihatkan campuran dari ajaran warisan dan pencerahan pribadi yang menjadi pusat Sufisme. Keluarganya berasal dari keturunan Abu Bakar, sahabat Nabi saw., dan ayahnya masih ada hubungan dengan keluarga dengan Raja Khawarizmi Syah. Jalaluddin dilahirkan di Balkh, sebuah pusat ajaran kuno pada tahun 1207 dan dalam legenda Sufi dinyatakan bahwa, telah diramalkan oleh para mistikus Sufi, ia akan meraih masa depan gemilang. Raja Balkh di bawah pengaruh orang-orang skolastik, berbalik menentang para Sufi, terutama menentang kerabat ayah Rumi. Seorang guru Sufi ditenggelamkan di Sungai Oxus atas perintah Syah. Hukuman ini membayangi invasi orang-orang Mongol dimana Najmuddin al-Kubra, seorang pemimpin Sufi terbunuh di medan tempur. Najmuddin inilah pendiri Tarekat Kubrawiyah yang berkaitan erat dengan perkembangan Rumi.
Penghancuran Asia Tengah oleh tentara-tentara Jengis Khan telah menyebabkan tercerai-berainya para Sufi Turkistan. Ayah Rumi mengungsi bersama putranya ke Nisyapur di mana mereka bertemu dengan guru besar lainnya dari aliran Sufi yang sama, sang penyair Aththar, yang secara “spiritual” menganugerahi putranya denganbarakah Sufi. Ia menghadiahi Rumi sebuah salinan kitabnya, Asrar-Namah (Book of Secrets). Kitab ini ditulis dalam bentuk puisi.
Tradisi Sufi mengatakan bahwa karena potensi spiritual Jalaluddin muda telah dikenali oleh para guru di zamannya, maka perhatian mereka untuk melindungi dan mendidiknya menjadi motif bagi perjalanan kelompok pengungsi itu. Mereka meninggalkan Nisyapur dengan kata-kata kewalian Aththar yang terngiang dalam telinga mereka, “Anak ini akan memercikkan api kemuliaan dan keagungan suci bagi dunia. ” Kota itu tidak aman. Seperti Najmuddin, Aththar menunggu gilirannya menuju ke-syahid-an yang diterimanya dari tangan orang-orang Mongol tidak lama setelah itu.
Kelompok Sufi dengan pemimpin mudanya itu sampai ke Baghdad di mana mereka mendengar penghancuran Balkh dan pembantaian penduduknya. Selama beberapa tahun mereka mengembara, menunaikan ibadah Haji ke Mekkah, kembali menuju utara ke Syria dan Asia Kecil, mengunjungi pusat-pusat Sufi.
Asia Tengah terpecah-belah karena serangan orang-orang Mongol yang tiada henti-hentinya, dan setelah tegak kurang dari enam abad, peradaban Islam tampaknya menjelang keruntuhannya.
Pada akhirnya ayah Rumi mendirikan pusat kegiatannya tak jauh dari Konia, yang terkait dengan nama St. Paul. Pada saat itu, kota itu berada di tangan penguasa Seljuk dan Raja Seljuk mengundang Jalaluddin untuk tinggal di sana. Ia menerima sebuah jabatan profesional dan melanjutkan mengajar putranya tentang rahasia-rahasia Sufi.
Jalaluddin juga berhubungan dengan Guru Terbesar (asy-Syekh al Akbar), penyair dan seorang guru dari Spanyol, yaitu Ibnu Arabi yang pada waktu itu berada di Baghdad. Hubungan itu terjadi melalui Burhanuddin, salah seorang guru Rumi yang melakukan perjalanan ke kawasan Seljuk untuk menemui ayah Rumi yang baru saja meninggal. Karena menggantikannya sebagai pembimbing Rumi, ia membawanya ke Aleppo dan Damaskus.
Ketika usianya mencapai empat puluh tahun, Rumi memulai pengajaran mistiknya secara semi-publik.1 Seorang darwis misterius, “Syamsuddin at-Tabrizi” mengilhaminya untuk menghasilkan sejumlah besar puisinya yang terbaik dan untuk meramu ajaran-ajarannya dengan cara dan bentuk yang dirancang untuk mempertahankan keseluruhan Tarekat Mevlevi. Karyanya telah diselesaikan dan darwis misterius itu lenyap setelah masa sekitar tiga tahun dan tidak ada lagi jejak tentang dirinya yang bisa dilaporkan.
“Utusan dari dunia tak dikenal” ini oleh putra Rumi disepadankan dengan Khidr yang misterius, pembimbing dan pelindung para Sufi yang muncul kemudian berlalu dari kognisi normal setelah menyampaikan pesannya.
Selama masa inilah Rumi menjadi seorang penyair. Baginya, meskipun ia diakui sebagai salah satu penyair terbesar Persia, puisi hanya suatu produk sekunder. Ia memandangnya tidak lebih dari suatu refleksi realitas batin yang besar dan merupakan kebenaran serta disebutnya sebagai refleksi dari Cinta. Cinta terbesar, tuturnya, adalah keheningan dan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Meskipun puisinya mempengaruhi pikiran manusia sedemikian kuat, sehingga hanya bisa disebut sebagai kekuatan magis, ia tidak pernah terbawa olehnya sampai pada tingkatan mengidentifikasikan puisi itu dengan wujud yang jauh lebih besar, dimana puisi hanyalah ekspresi yang lebih kecil. Pada saat yang sama, ia mengakuinya sebagai sesuatu yang bisa membangun jembatan antara apa “yang benar-benar ia rasakan” dengan apa yang bisa ia lakukan untuk orang lain.
Dengan memakai metode Sufistik untuk mendapatkan perspektif tentang sesuatu, bahkan dengan resiko menghancurkan gagasan-gagasan yang paling mendasar, ia sendiri mengambil peranan kritik sastra. Orang-orang datang kepadanya dan ia mencintai mereka. Dalam rangka memberikan sesuatu kepada mereka agar bisa memahami, ia memberikan puisi kepada mereka. Tetapi puisi itu untuk mereka, bukan untuk dirinya, betapapun ia sebagai penyair besar — “Di atas segalanya, apakah peduliku dengan puisi?” Untuk menekankan pesan itu, dimana hanya seorang penyair dengan reputasi kontemporer terbesar yang berani melakukannya, ia menyatakan secara kategoris bahwa jika dibandingkan dengan realitas sejati, maka dirinya tidak punya waktu untuk menulis puisi. “Ini hanyalah nutrisi,” katanya, “yang bisa diterima pengunjungnya,” maka seperti tuan rumah yang baik, ia menyuguhkannya.
Tarian Darwis Jalaluddin Rumi - 1Seorang Sufi tidak akan pernah membiarkan sesuatu berdiri sebagai penghalang antara apa yang ia ajarkan dengan mereka yang sedang mempelajarinya. Di sinilah penekanan Rumi terhadap peranan subsider puisi dalam hubungannya dengan pencarian sejati. Sebenarnya apa yang ingin disampaikannya berada di luar jangkauan puisi. Bagi orang yang pikirannya telah terkondisikan oleh kepercayaan bahwa tidak ada sesuatu pun yang lebih sublim dari ungkapan puitis, maka perasaan semacam ini mungkin bisa mengakibatkan keterkejutan hebat. Hanya aplikasi dampak inilah yang perlu bagi tujuan Sufi dalam membebaskan pikiran dari ikatan fenomena sekunder, “berhala-berhala”.
Sebagai pewaris ayahandanya, Rumi sekarang memproyeksikan ajaran-ajaran mistisnya melalui kesenian. Musik, tarian dan puisi digunakan dalam berbagai pertemuan darwis. Pengubahan melalui berbagai latihan mental dan fisik ini dirancang untuk membuka pikiran menuju pengakuan potensialitasnya yang lebih besar, melalui tema harmoni. Pengembangan harmonis melalui sarana harmonis mungkin merupakan paparan dari apa yang dipraktekkan Rumi.
Mempelajari ajaran-ajaran Rumi semacam ini dari luar, telah membingungkan banyak pengamat asing. Salah satu di antara mereka merujuk pada “pandangannya yang tidak Timur bahwa perempuan bukan sekadar barang mainan, tetapi suatu pancaran Ilahi.”
Tarian Darwis Jalaluddin Rumi - 2Salah satu puisi Rumi yang diterbitkan dalam Diwan asy-Syams at-Tabriz, telah menyebabkan sejumlah kebingungan bagi kalangan literalis. Karya ini merupakan kajian Rumi terhadap semua bentuk agama yang berlaku, baik agama lama maupun baru. Kesimpulannya bahwa kebenaran esensial terletak pada kesadaran batin manusia itu sendiri, bukan pada organisasi-organisasi eksternal. Hal ini benar jika kita menyadari bahwa menurut kepercayaan Sufi, “pengujian” kepercayaan dilakukan dengan cara khusus. Seorang Sufi tidak perlu berkelana dari satu negeri ke negeri lainnya, mencari agama-agama untuk dipelajari dan mengambil apa yang bisa dibawa dari agama-agama itu. Ia juga tidak harus membaca kitab-kitab teologi dan tafsir untuk membandingkan satu ajaran dengan ajaran lainnya. “Perjalanannya” dan “pengujiannya” terhadap gagasan-gagasan lain terjadi dalam dirinya. Hal ini karena Sufi percaya bahwa seperti setiap orang mengalami sesuatu yang lain, ia memiliki pandangan batin yang mampu mengukur realitas dari sistem-sistem keagamaan yang ada. Tegasnya, akan sangat berat dan tidak berguna untuk mendekati suatu persoalan metafisis dengan menggunakan metode penelitian biasa. Seseorang yang bertanya, “Apakah Anda telah membaca buku tentang ini dan itu, karangan si Anu dan si Fulan?” niscaya akan menggunakan pendekatan keliru. Bukanlah buku atau pengarangnya, tetapi realitas buku dan penulis yang ingin disampaikan itulah yang penting bagi Sufi. Untuk memperoleh pemahaman tentang seseorang atau ajarannya, seorang Sufi hanya membutuhkan sebuah contoh. Tetapi contoh ini harus akurat. Dengan kata lain, ia harus ditempatkan dalam hubungan erat dengan faktor esensial dalam pengajaran yang terkait. Sebagai contoh, seorang murid yang tidak memahami secara menyeluruh sistem yang diikutiny, tidak bisa menyampaikan secara memadai sistem itu kepada Sufi guna memungkinkannya membuat pengenalan yang diperlukan.
Berikut ini adalah puisi dimana Rumi berbicara tentang pencapaian hubungan erat dengan berbagai agama dan reaksinya terhadap agama-agama itu:
Salib orang-orang Kristiani, dari ujung ke ujung
telah aku kaji. Dia tidak ada di salib itu.
Aku telah pergi ke kuil Hindu, ke pagoda tua.
Di tempat-tempat itu tidak ada tanda-tandanya.
Aku pergi ke dataran tinggi Herat dan Kandahar.
Aku melihat.
Dia tidak ada di dataran tinggi maupun rendah.
Dengan hati yang mantap, aku pergi ke puncak gunung Kaf.
Di sana hanya ada sarang burung ‘Anqa.
Aku pergi ke Ka’bah. Dia tidak ada di sana.
Aku bertanya kepada Ibnu Sina tentangnya:
Dia di luar jangkauan filosuf ini …
Aku melihat ke dalam kalbuku sendiri.
Di situlah tempatnya, Aku melihatnya.
Dia tidak di tempat lain …
Kata ganti “dia” di sini maksudnya adalah realitas sejati. Sufi adalah abadi. Penggunaan kata-kata seperti “kemabukan” atau “anggur” maupun “hati” adalah penting, namun paling jauh hanya untuk mendekati realitas sejati itu dengan menggunakan suatu parodi. Sebagaimana Rumi menyatakannya:
Sebelum kebun, tanaman dan buah anggur tercipta di dunia ini,
Jiwa kami telah mabuk dengan anggur abadi.
Sufi mungkin terpaksa mempergunakan perumpamaan dari dunia yang dikenal pada jenjang awal penyampaian, tetapi Rumi mengikuti standar rumusan Sufi dengan sangat ketat. Tongkat penyangga harus dibuang jika si pasien sudah mampu berjalan sendiri. Nilai dari cara ekspresi Rumi bagi murid adalah fakta bahwa ia menjadikan hal ini jauh lebih jelas dari semua bahan yang tersedia di luar sekolah-sekolah Sufi. Jika Tarekat eksternal tertentu telah terbiasa mengondisikan para pengikutnya secara literal dengan menggunakan perangsang secara berulang-ulang, menandai waktu pada jenjang perkembangan tertentu, mempertahankan kebutuhan murid kepada “tongkat penyangga”, tentu saja ini bukan kesalahan Rumi.

Biografi Al Farabi | Tokoh Islam Dunia


Al-Farabi mempunyai nama lain diantaranya adalah Abu Nashr Muhammad Ibn Thorkhan Ibn Al-UzalaghAl-Farabi, dikalangan orang-orang latin abad pertengahan Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunasaer). Sebenarnya nama julukan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, Beliau dilahirkan di desa Wasij di Distrik Farab (Utrar, provinsi Transoxiana, Turkestan) pada tahun 257 H (870M), kadang-kadang Beliau mendapat sebutan orang Turki, sebab ayahnya sebagai orang Iran menikah dengan wanita Turki.[1]

Sangat sedikit yang kita bias ketahui tentang Al-Farabi, kebanyakan infornasi biografis tersebut tiga abad setelah wafatnya. Beberapa hal yang dapat kita ketahui tentang latar belakang keluarga Al-farabi adalah bahwa ayahnya seorang Opsir tentara pada Dinasti Samaniyyah yang menguasai wilayah Transoxiana wilayah otonom Bani Abbasyyah.[2] Keturunan Persia (kendatipun nama kakek dan kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki). Ayahnya mengabdi pada pangeran-pangeran Dinasti Samaniyyah.[3] Al Farabi meninggal di Damaskus pada bulan Rajab 339 H/Desember 950 M pada usia 80 tahun, dan dimakamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-saghir) kota bagian selatan.[4]

2. PENDIDIKAN AL FARABI

Sejak kecil Al-Farabi tekun dan rajin belajar, dalam olah kata, tutur bahasa ia mempunyai kecakapan yang luar biasa. Penguasaan terhadap Iran, Turkistan dan Kurdistan sangat dia pahami, justru bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa Ilmu Pengetahuan pada masa itu belum dia kuasai. Pendidikan dasarnya ditempuh di Farab, yang penduduknya bermazhab Syafii.[5]

Untuk memulai karir dalam pengetahuannya, dia berhijrah dari negrinya ke kota Bagdad pada tahun 922 M yang mana pada waktu itu disebut sebagai kota Ilmu pengetahuan. Beliau belajar disana kurang lebih 10 tahun. Dengan berbekal ketajaman integensi sejak awal, dan mendapat karunia besar untuk menguasai hamper semua pelajaran yang dipelajari, Ia segera terkenal sebagai seorang filosof dan ilmuwan.[6] Beliau sangat menguasai semua cabang filsafat, logika, fisika, ketuhanan, ilmu alam, kedokteran, kimia, ilmu perkotaan, ilmu lingkungan, fiqih, ilmu militer, dan musik.[7] Di Baghdad, Beliau berguru kepada Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab dan kepada Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus untuk belajar filsafat dan logika. Beliau juga belajar kepada seorang Kristen Nestorian, tokoh filsafat aliran Alexandria yang banyak menterjemahkan filsafat Yunani, yaitu Yuhana Ibn Hailan yang sekaligus mengajak Al Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantinopel, Al Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar, dan menulis filsafat.

3. KARIER AL FARABI

Al-Farabi dikenal sebagai filsuf besar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh menyeluruh dan mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang seseudahnya seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil filsafatnya. Pandangan al-Farabi tentang filsafat terbukti dengan usahanya untuk mengahiri kontradiksi antara pemikiran Plato dengan Aristoteles melalui risalahnya ‘Al-Jami’u baina ra’yay al-Hakimain Aflatun wa Aristhu’, pengetahuan yang mendalam tentang filsafat Plato dan Aristoteles menyebabkan Al-Farabi dijuluki sebagai ‘Al-Mu’alim At-Tsani’ (Guru kedua) sedangkan Al-Mu’alim al-awal (Guru pertama) adalah Aristoteles.[8]

Pada tahun 330 H (945 M) Beliau pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Di tempat ini beliau bertemu dengan para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih, dan cendekiawan lainnya. Di Damaskus Al Farabi bekerja di siang hari sebagai tukang kebun, dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat. Al Farabi terkenal sangat saleh dan zuhud.[9] Kemudian sultan memberi kedudukan kepada beliau sebagai ulama istana dengan imbalan yang besar sekali, tetapi Al-Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik kepada kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi hanya membutuhkan empat dirham untuk sekedar memenuhi kehidupan sehari-hari. Sedangkan tunjangannya, Beliau bagikan kepada fakir-miskin dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus. Kurang lebih 10 tahun Al-Farabi hidup di dua kota tersebut secara berpindah-pindah.


4. POKOK-POKOK PEMIKIRAN AL FARABI

Pokok-pokok pemikiran filsafat filsuf Al Farabi yang akan kami bahas, antara lain:

a. Filsafat Al Farabi

Al Farabi mendefinisikan filsafat adalah: Al Ilmu Bilmaujudaat Bima Hiya Al Maujudaat, yang berarti suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Bagi al Farabi, tujuan filsafat dan agama sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakini dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama memakai cara iqna’i (pemuasan perasaan), dan kiasan-kiasan, serta gambaran, dan ditujukan kepada semua orang, bangsa, dan negara.[10] Al Farabi berhasil meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat Plato dan Aristoteles, sebab kelihatan berlainan pemikirannya tetapi hakikatnya mereka bersatu dalam tujuannya.

Al Farabi mendasarkan hidupnya atas kemurnian jiwa, bahwa kebersihan jiwa dari kotoran-kotoran merupakan syarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya. Al Farabi mempunyai dasar berfilsafat adalah memperdalam ilmu dengan segala yang maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai penciptanya. Dengan arah ke situ, maka filsafat adalah ilmu satu-satunya yang dapat menghamparkan di depan kita dengan gambaran yang lengkap mengenai cakrawala dengan segala cosmosnya (kaum).[11] Menurut Al Farabi tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat ialah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan, dan keadilan-Nya.[12]

b. Filsafat Politik Al Farabi

Al Farabi berpendapat bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif, dan akhlak. Semua tindakan tersebut dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat manusia dapat melakukan seperti itu, dan bagaimana yang mengatur, memelihara tindakan dengan cara yang baik dapat diteliti. Dengan kata lain, politik adalah bentuk operasional dari pemerintah dan raja. Pemerintah, raja, atau penguasa ini haruslah orang yang paling unggul, baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada.[13] Adapun pemerintahan dapat menjadi benar-benar baik jika ada teoritis dan praktis bagi pengelolannya.[14]

c. Definisi dan Esensi Jiwa

Al Farabi mendefinisikan jiwa sebagaimana definisi Aristoteles, yaitu ‘kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik’.[15] Makna ‘jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi fisik’ adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang bertindak. Kemudian makna ‘mekanistik’ adalah bahwa badan menjalankan fungsinya melalui perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang beragam. Sedangkan makna ‘memiliki kehidupan energik’ adalah bahwa di dalam dirinya terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.

d. Filsafat Metafisika Al Farabi

Pembicaraan metafisika ini berkisar pada masalah Tuhan, wujud-Nya, atau kehendak-Nya.

1. Ilmu Ketuhanan

Al-Farabi membagi ilmu ketuhanan menjadi tiga[16], yaitu:

§ Membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud.

§ Membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat (particulars), yaitu ilmu yang berdiri sendiri karena penelitiannya tentang wujud tertentu. Seperti ilmu mantiq (logika), matematika, atau ilmu juzz’iyyat lainnya.

§ Membahas semua wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu.

2. Wujud

Al Farabi membagi wujud kepada dua bagian[17], yaitu:

§ Wujud yang mungkin atau wujud yang nyata karena lainnya. Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak wujud. Dengan kata lain cahaya adalah wujud yang mungkin. Karena matahari telah wujud maka cahaya itu menjadi wujud yang nyata karena matahari.

§ Wujud nyata dengan sendirinya. Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya, yaitu wujud yang diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemusyrikan. Kalau itu tidak ada, maka yang lainpun tidak akan ada sama sekali. Ia adalah sebab pertama bagi semua wujud yang ada. Dan wujud yang wajib ada inilah Tuhan.

3. Sifat-Sifat Tuhan

Tuhan adalah tunggal. Ia tidak berbeda dari zat-Nya. Tuhan merupakan akal (pikiran) murni, karena yang menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi objek pemikiran adalah benda, maka sesuatu itu berada. Apabila wujud sesuatu tidak membutuhkan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal. Demikian juga zat-Nya juga menjadi obyek pemikiran Tuhan sendiri (ma’qul), karena yang menghalang-halangi untuk menjadi obyek pemikiran adalah benda pula. Jadi, ia adalah obyek pemikiran, karena ia adalah akal pikiran. Ia tidak membutuhkan sesuatu yang lain untuk memikirkan zat-Nya sendiri, tetapi cukup dengan zat-Nya itu sendiri pula untuk menjadi obyek pemikiran. Dengan demikian zat Tuhan yang satu itu juga akal (pikiran), zat yang berfikir, dan zat yang dipikirkan, atau ia menjadi aqal, ‘aqil, dan ma’qul.[18]

e. Filsafat Kenabian Al Farabi

Persoalan kenabian ada pada agama, tetapi agama yang dimaksud adalah agama samawi/langit, di mana secara esensial berasal dari pemberitahuan wahyu dan ilham (inspirasi). Berdasarkan wahyu dan ilhamlah segala kaidah dan sendi-sendinya menjadi tegak. Dalam ajaran Islam, wahyu merupakan sumber inspirasi yang pasti, yang harus dijadikan pedoman baginya dalam operasionalisasi ajaran. Ciri khas seorang nabi bagi al Farabi adalah mempunyai daya imaginasi yang kuat di mana obyek inderawi dari luar tidak dapat mempengaruhinya. Ketika ia berhubungan dengan ‘Aql Fa’al (akal 10) ia dapat menerima fisi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu adalah limpahan dari Tuhan melalui ‘Aql Fa’al yang dalam penjelasan al Farabi adalah Jibril.[19] Wahyu mudah dan jelas diterima oleh manusia, pertolongan Malaikat Jibril yang dapat mengubah bermacam-macam bentuk, seperti malaikat-malaikat lain juga, bertugas sebagai penghubung antara Tuhan dengan nabi-nabi-Nya.[20]

f. Pola Pikir Tasawuf Al Farabi

Al Farabi adalah seorang filosuf yang telah menghimpun berbagai konsepsi di mana sendi-sendinya menjadi suatu mata rantai yang saling berkait. Dalam hal ini kita bias melihat teori sufi yang merupakan bagian dari pandangan filosofis Al Farabi. Bukti yang paling kuat dalam masalah ini adalah adanya korelasi yang kuat untuk menghubungkan tasawuf dengan teori-teori Al farabi yang lain, baik psikologis, moral, maupun politik. Sebagai cirri khas dari teori tasawuf yang dikatakan Al Farabi adalah pada asas rasional. Tasawuf Al Farabi bukanlah tasawuf spiritual semata yang hanya berlandaskan kepada sikap menerangi jism dan menjauh dari segala kelezatan guna mensucikan jiwa dan meningkat menuju derajat-derajat kesempurnaan, tetapi tasawufnya adalah tasawuf yang berlandaskan pada studi. Sedangkan kesucian jiwa menurutnya tidak akan sempurna apabila hanya melalui jalur tubuh dan amal-amal badaniyah semata, tetapi secara esensial juga harus melalui jalur akal dan tindakan-tindakan pemikiran. Dengan demikian, meski sudak memiliki keutamaan alamiah jasmaniyah, tetap harus ada keutamaan-keutamaan rasional teoritis.[21]

g. Teori Kebahagiaan

Menurut Al Farabi, kebahagiaan adalah pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia. Dan itulah tingkat akal mustafad, dimana ia siap menerima emanasi seluruh objek rasional dari akal aktif. Dengan demikian, perilaku berfikir adalah perilaku yang dapat mewujudkan kebahagiaan bagi manusia.[22] Manusia mencapai kebahagiaan dengan perilaku yang bersifat keinginan. Sebagian di antaranya berupa perilaku kognitif dan sebagian lain berupa perilaku fisik, serta bukan dengan semua perilaku yang sesuai, tetapi dengan perilaku terbatas dan terukur yang berasal dari berbagai situasi dan bakat yang terbatas dan terukur. Perilaku berkeinginan yang bermanfaat dalam mencapai kebahagiaan adalah perilaku yang baik. Situasi dan bakat yang menjadi sumber perilaku yang baik adalah adalah keutamaan-keutamaan. Kebaikan tersebut bukan semata-mata untuk kebaikan itu sendiri, tetapi kebaikan demi mencapai kebahagiaan. Perilaku yang menghambat kebahagiaan adalah kejahatan, yaitu perilaku yang buruk. Situasi dan bakat yang membentuk perilaku buruk adalah kekurangan, kehinaan, dan kenistaan.

h. Logika

Sebagian besar karya Al Farabi dipusatkan pada studi tentang logika. Tetapi hal ini hanya terbatas pada penulisan kerangka Organom, dalam versi yang dikenal oleh para sejarah Arab pada saat itu. Al Farabi menyatakan bahwa: ‘seni logika umumnya memberikan aturan-aturan yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang besar dan mengarahkan manusia secara langsung kepada kebenaran dan menjauhkan dari kesalahan-kesalahan’. Menurrutnya, logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti, sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata, dan ilmu mantra dengan syair. Ia menekankan praktek dan penggunaan aspek logika, dengan menunjukkan bahwa pemahaman dapat diuji lewat aturan-aturannya, sebagaimana dimensi, volume, dan massa ditentukan oleh ukuran.[23]

i. Teori Pengetahuan

Al Farabi berpendapat bahwa jendela pengetahuan adalah indera, sebab pengetahuan masuk ke dalam diri manusia melalui indera. Sementara pengetahuan totalitas terwujud melalui pengetahuan parsial, atau pemahaman universal merupakan hasil penginderaan terhadap hal-hal yang parsial. Jiwa mengetahui dengan daya. Dan indera adalah jalan yang dimanfaatkan jiwa untuk memperoleh pengetahuan kemanusiaan.[24] Tetapi penginderaan inderawi tidak memberikan kepada kita informasi tentang esensi segala sesuatu, melainkan hanya memberikan sisi lahiriah segala sesuatu. Sedangkan pengetahuan universal dan esensi segala sesuatu hanya dapat diperoleh melalui akal.[25]

j. Teori Akal

Al Farabi mengelompokkan akal menjadi dua, yaitu:

§ Akal praktis, yaitu yang menyimpulkan apa yang mesti di kerjakan; dan teoritis, yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa. Akal teoritis ini di bagi lagi menjadi dua, yaitu:

1) Akal fisik (material), Akal fisik, atau sebagaimana sering di sebut Al Farabi sebagai akal potensial, adalah jiwa atau bagian jiwa atau unsur yang mempunyai kekuatan mengabstraksi dan menyerap esensi pada setiap hal yang ada tanpa disertai materinya. Akal terbiasa/bakat (habitual), merupakan rasionalisasi dari akal fisik, ketika akal fisik telah mengabtraksi maka dengan begitu seseorang kemudian akan mencari objek untuk membuktikan fisik tersebut karena akal bakat/habitual/aktual akan menjadi aktif jika disandarkan pada objek rasional yang dipikirkan oleh seseoarang sedangkan objek rasional yang belum dipikirkan adalah potensi.

2) Akal diperoleh (acquired). Ketika akal aktual menghasilkan semua objek akal maka seseorang akan menjadi manusia sejati dengan mengunkan realisasi akal yang telah dikembangkan.

k. Teori Sepuluh Kecerdasan

Teori ini menempati bagian penting dalam filsafat muslim, ia menerangkan dua dunia, langit dan bumi, ia menafsirkan gejala gerakan dua perubahan. Ia merupakan dasar fisika dan astronomi. Bidang utama garapannya ialah memecahkan masalah yang Esa dan yang banyak dan pembandingan antara yang berubah dan yang tetap. Al Farabi berpendapat bahwa yang Esa, yaitu Tuhan, yang ada dengan sendirinya. Karena itu, ia tidak memerlukan yang lain bagi adanya atau keperluannya. Ia mampu mengetahui dirinya sendiri. Menurut Al Farabi, Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Tuhan mengetahui zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Jadi, dapat dikatakan bahwa akal Tuhan adalah aqil (berpikir), dan ma’qul (dipikirkan), melalui ta’aqul, Tuhan dapat mulai ciptaan-Nya. Ketika Tuhan mulai memikirkan, timbullah suatu wujud baru atau akal baru yang disebut yang disebut Al Farabi dengan sebutan Al Aqlul Awwal (akal yang pertama). Berkelanjutan dari akal pertama yang ta’aqul tentang pemikiran Tuhan dan dirinya sendiri. Dengan ta’aqul Tuhan melimpah ke Al Aqlits Tsani (akal kedua), yang dapat menimbulkan al Falaqul Aqsha (langit yang paling luar), maka timbul sifat pluralitas dari alam makhluk. Al Aqlits Tsani, memimbulkan Al Aqluts Tsalis (akal ketiga) bersama timbulnya Karatul Kawakibits Tsabitah, langit bintang-bintang tetap. Kemudian Al Aqluts Tsalis melimpah ke Al Aqlur Rabi’ (akal keempat) yang menimbulkan langit bintang Zuhal (Saturnus). Kemudian melimpah ke Al Aqlul Khamis (akal kelima) dengan munculnya langit bintang Musytari (Yupiter). Lalu ke Al Aqlul Sadis (akal keenam) bersama bintang Mirris (Mars). Selanjutnya ke Al Aqluts Tsabi’ (akal ketujuh) dengan munculnya langit Matahari. Al Aqluts Tsamin (akal kedelapan) bersama langit bintang Zuhrah (Venus). Al Aqlut Tasi’ (akal kesembilan) dengan langit bintang ‘Utharid (Merkurius). Akhirnya, Al Aqlul ‘Asyir (akal kesepuluh) ini dinamakan Al Aqlul Fa’al (akal yang aktif bekerja), orang barat menyebut Active Intellect.

Jumlah inteligensi adalah sepuluh, terdiri atas inteligensi pertama dan sembilan inteligensi planet dan lingkungan. Melalui ajaran sepuluh inteligensi ini, Al Farabi memecahkan masalah gerak dan perubahan. Ia menggunakan teori ini ketika memecahkan masalah Yang Esa dan yang banyak, dan dalam memadukan teori materi Aristoteles dengan ajaran Islam tentang penciptaan.

2.5 KARYA-KARYA AL FARABI

Al Farabi meninggalkan banyak karya tulis, yang secara garis besar bisa dikelompokkan dalam bebrapa tema, seperti logika, fisika, metafisika, politik, astrologi, music, dan beberapa tulisan yang berisi tentang sanggahan pandangan filosof tertentu.[26] Karya-karya Al Farabi diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Risalah Shudira Biha al Kitab (Risalah yang dengannya Kitab Berawal)
b. Risalah fi Jawab Masa’il Su’ila ‘Anha (Risalah tentang Jawaban atas Pertanyaan yang Diajukan tentang-Nya.
c. Syarh Kitab al Sama’ al Tabi’I li Aristutalis (Komentar atas Fisika Aristoteles)
d. Syarh Kitab al Sama’ wa al ‘Alam li Aristutalis (Bahasan atas Kitab Aristoteles tentang Langit dan Alam Raya)
e. Al-Jami’u Baina Ra’yai Hakimain Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (Pertemuan/Penggabungan Pendapat antara Plato dan Aristoteles)
f. Tahsilu as Sa’adah (Mencari Kebahagiaan)
g. Fushus al Hikam (Permata Kebijaksanaan)
h. Fususu al Taram (Hakikat Kebenaran)
i. Kitab fi al Wahid wa al Wahdah (Kitab tentang Yang Satu dan Yang maha Esa)
j. As Syiyasyah (Ilmu Politik)
k. Kitab al Millat al Fadlilah (Kitab tentang Komunitas Utama)
l. Ihsho’u Al Ulum (Kumpulan Berbagai Ilmu)
m. Arroo’u Ahl al-Madinah Al-Fadilah (Pemikiran-Pemikiran Utama Pemerintahan)
n. Al-Siyasah al-Madaniyah (politik pemerintahan)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Filsafat itu menyelidiki ,membahas, serta memikirkan seluruh alam kenyataan dan menyelidiki bagaimana hubungan kenyataan satu sama lain jadi ia memandang satu kesatuan yang belum di pecah-pecah serta pembahasan secara keseluruhan, sedangkan ilmu lain itu hanya menyelidiki sebagian saja dari alam maujud ini.
Ketika mempelajari filsafat islam kita juga akan mempelajari beberapa tokoh filosof muslim beserta pemikiranya.
Dalam makalah ini kita akan membahas salah satu dari filosof muslim yakni Al- Farabi beserta karya-karyanya dan cara berfilsafatnya.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana biografi al- farabi ?
b. Apasaja peran Al- Farobi dalam filsafat ?
c. Bagaimana pemikiran Al-farobi ?
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui biografi al- farabi
b. Untuk peran al- farabi dalam filsafat
c. Untuk mengetahui pemikiran al- farabi






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Singkat AL- Farabi
Mengenal sosok atau biografi kehidupan seorang tokoh adalah hal yang sangat penting sebelum mengkaji buah pemikiran seorang tokoh. Sehingga sudah barang tentu kita harus mengenal siapa sosok Ibnu Farabi, meskipun hanya sepintas atau sedikit. Berikut biografi singkat beliau.
Nama lengkap beliau adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhn ibn Auzalagh. Dikalangan orang latin abad tengah ia lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunaser). Ia dilahirkan di Wasij, distrik farab sekarang lebih dikenal dengan kota Atrar, di daerah Turkistan  pada 257 H/870 M. ibunya berkebangsaan Turki, sementara  Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia.[1] Sejak kecil ia telah meninggalkan kota kelahirannya. Ia mengembara ke berbagai Negara hingga akhirnya tibalah ia ke kota Baghdat, pusat peradaban saat itu di sana ia memperdalam Filsafat selama dua puluh tahun Ia pernah mengajar dan mengulas beberapa buku-buku filsafat yunani, diantara anak muridnya yang terkenal adalah Yahya Ibn ‘Adi, seorang filosuf kristen.
Karena kepintaran dan kepakarannya dibidang Filsafat, ia diangkat menjadi seorang ulama istana pada saat pemerintahan Saif al-Daulah al-Hamdani sebuah dinasti Hamdan di Aleppo kota Damaskus. Dengan demikian ia mendapatkan tunjangan yang lumayan besar, namun ia lebih memilih hidup sederhana dengan empat dirham untuk memenuhi hidupnya dalam 1 hari, dan selebihnya ia sedekahkan kepada para fakir miskin di daerah Aleppo dan Damaskus, bahkan diriwayatkan ia sering kelihatan pada waktu malam sedang membaca dan mengarang dibawah sinar lampu penjaga malam.[2]
Hampir 10 tahun ia hanya berpindah-pindah dari dua kota itu, yang pada akhirnya hubungan dua kota itu semakin memburuk, alhasil membuat sultan  Saif ad-Daulah menyerbu kota Damaskus dan berhasil menaklukkanya, sementara Al-Farabi diikut sertakan dalam penyerbuan itu. Sampai akhirnya ia menutup mata selama-lamanya di kota itu dalam usia 80 tahun.



B.     Peran Al-Farabi Dalam Filsafat
Al-Farabi merupakan Filusuf yang pertama yang berhasil memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh seperti di dalam kitab karangannya yang berjudul Ihsha’u al-‘Ulum” yang memandang Filsafat secara utuh dan sempurna serta membahasnya secara mendetail[3] ia juga sangat terkenal akan kepakarannya dalam hal filsafat Aristoteles sehingga ia dikenal dengan sebutan Mu’allim Tsani (Guru kedua).[4]
Selain itu lewat usahanya pula perdebatan antara Filsafat Plato dan Aristoteles akhirnya berakhir. Ia berhasil menyatukan kedua filsafat tersebut lewat karyanya “Al-Jam’u baina Ra’yay al-Hakimain Alfathun wa Aristhu”  yang sering menjadi rujukan para filosuf sesudahnya seperti Ibnu Rusdy dan Ibnu Sina[5]  Dalam karyanya ini ia berhasil memadukan pemikiran kedua Filsafat ini yakni Plato dan Aristoteles.dalam temuannya ini dikenal dengan istilah “Pemaduan Falsafah” (al-falsafah at-Taufiqiyyah) salah satu contohnya adalah teori simbol dan gaya bahasa.[6] Dalam memahami pemikiran Plato dalam setiap karangannya maka akan menemukan kesulitan dalam memahaminya karena Plato lebih banyak menggunakan gayabahasa yang sulit serta kiasan-kiasan yang sulit dimengerti. Hal ini terkadang membuat penafsiran yang berbeda mengenai pemikirannya. Gaya bahasa serta kiasan-kiasan yang dibuat Plato dalam setiap karangannya karena menurutnya Filsafat hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu saja. Hal ini sungguh berbeda sekali dengan Aristoteles yang menggunakan gaya bahasa yang sistematis dan mudah difahami. Namun dalam beberapa hal terdapat juga pembahasan yang sulit dipahami seperti dalam hal akhlaq, ilmu fisika dan metafisika. Karena memang Aristoteles memang membatasi hal ini hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dan Ibnu Farabi menetapkan bahwa hakekatnya kedua Filosuf ini (Platod dan Aristoteles) membatasi Filsafat hanya untuk orang-orang tertentu saja. Tidak untuk semua orang.[7]
Alfarabi berkesimpulaan bahwa Aristoteles dan Plato memiliki tujuan yang sama yakni mencari sebuah kebenaran, keduanya bertemu dan berjalan seiringan, Alfarabi menamakannya Neo Plato (Neo Platonisme). Keduanya berjalan seiringan hingga akhirnya tiba di dalam Islam, yakni keyakinan Islam.[8]
C.    Pemikiran Ibnu Farabi Dalam Filsafat
Dalam membahas pemikiran Ibnu Farabi ini kami membagi pemikirannya menjadi beberapa segi diantaranya, metafisika, akhlaq, jiwa dan lain sebagainya.

1.      Metafisika
Pembahasan mengenai Metafisika ini al-Farabi memulai bahasan mengenai masalah wujud Allah. Al-Farabi mengemukakan dalil dalam falsafah yang dikenal dengan dalil (Ontologi) : Dalil yang berpijak pada konsep wajib dan Mungkin.[9] Menurut Al-Farabi wujud ada dua macam :
a)    Mumkin Wujud, adanya wujud yang nyata karena ada yang lainnya. Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari.
b)   Wajibul Wujud Lidzatihi, adanya wujud yang nyata dengan terjadi dengan sendirinya. Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Ia adalah sebab yang pertama bagi semua wujud.[10]
Kata al-Farabi untuk mengetahui Tuhan dapat dibuktikan dengan adanya bukti dari teori gerak. Semua yang terdapat dialam semesta selalu bergerak yang pada gilirannya bermuara pada satu hal yang pasti, yaitu adanya sesuatu yang  tidak bergerak tetapi bertindak sebagai penggerak.[11]
Kemudian pada masalah lainya seperti zat Tuhan, Bagi Al-Farabi tuhan adalah aql murni, Ia esa adanya dan yang menjadi objek pemikirannya hanya substansi-Nya. Jadi tuhan adalah ’aql, ‘aqil, dan ma’qul (akal, substansi yang berfikir dan substansi yang difikirkan).[12]
Tuhan yang digambarkan oleh Al-Farabi adalah tuhan yang jauh dari makhluq-Nya, dan ia tidak dicapai kecuali dengan jalan renungan dan amalan serta pengalaman-pengalaman tasawuf.[13]
Kemudian mengenai penciptaan alam semesta, Al-Farabi yang ingin mengselaraskan filsafat Yunani dengan Islam sehingga cendrung menggunakan teori Emanasi yang diusung Platonisme[14], menurutnya tuhan menciptakan sesuatu dengan bahan yang sudah ada secara pancaran.[15] Pancaran (emanasi) alam dari tuhan terjadi sebagai akibat aktivitas tuhan memikirkan (berta’aqul terhadap) diri-Nya. Aktivitas memikirkan itu menjadi sebab bagi pemancaran segenap alam ciptaan-Nya. Seperti pemancaran sinar dari matahari.[16]Perbedaan teori Emanasi yang dianut Platonisme Yunani dengan Emanasi Al-Farabi terletak pada asal dari pancaran tersebut. Menurut filsafat Platonisme bahwa asal pancaran itu bukanlah tuhan, akan tetapi bagi filsafat yunani tuhan bukan pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama (Prima Causa). Sementara Al-Farabi menyatakan bahwa asal dari pancaran tersebut adalah Tuhan (pencipta),
1.      Jiwa
Filsafat Plato , Aristoteles serta Plotinus, mempengaruhi Al-Farabi tentang jiwa. Jiwa menurut Al-Farabi bersifat Rohani, ia terwujud setelah adanya badan, dan ia tidak bisa berpindah-pindah dari badan kebadan yang lain.
Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, ia berasal dari alam Ilahi sementara jasad berasal dari alam khalq, berbentuk,berupa, berkadar dan bergerak. Dalam jiwa manusia mempunyai daya gerak (makan, memelihara, berkembang), daya mengetahui (merasa, imaginasi), daya berfikir (akal praktis, akal teoritis) sementara daya teoritis (akal potensial, akal aktual, akal mustafad) Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membagi antara Jiwa Khalidah dan Jiwa Fana. Jiwa khalidah adalah jiwa yang mendapatkan kebahagiaan, karena ia bisa melepaskan diri dari kenikmatan jasmani, ia tidak hancur karena hancurnya jasad. Yang termasuk kelompok ini adalah akal mustafad. Sementara jiwa fana tidak sempurna, ia akan hancur seiring hancurnya jasad. Ia akan kekal, tapi dalam kesengsaraan.
2.      Politik
Dalam pemikiran politiknya, Al-Farabi banyak terpengaruh pemikiran Platonisme disamping ia selaraskan dengan Islam.
Dalam pembahasannya mengenai Negara, Al-Farabi menyamakan Negara sama dengan Manusia, yakni seperti yang difahami bahwa Manusia memiliki organ-organ tubuh yang saling bekerja dengan baik.[17]
 Misalnya tangan dengan otak manusia,yang tangan diperintah oleh otak, demikian pula terkadang otak juga diatur oleh Hati yang memiliki perasaan yang mempertimbangkan baik atau buruknya. Menurutnya bahwa yang paling terpenting dari Negara adalah pemimpinnya. Oleh karena itu agar Negara menjadi baik dan maju hendaklah yang menjadi pemimpinnya adalah paling unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya. Dan ia harus memiliki kualitas-kualitas berupa kecerdasan, sehat jasmani, memiliki tutur kata yang baik, cinta pada pengetahuan, cepat tanggap, cinta akan kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, membela keadilan, dan tidak rakus serta menjauhi kelezatan-kelezatan jasmani.[18] namun dalam pemikirannya selanjutnya, karena A-Farabi ingin menselaraskan Filsafat Platonisme dengan Islam sehingga ia menambahkan sebuah syarat lagi bagi seorang pemimpin yang ideal yaitu: akal-fa’al, pemikiran Al-Farabi yang mulai memasuki alam khayalan dimana menurutnya sebuah Negara yang masyarakatnya adalah orang-orang yang suci dan kepala Negara atau pemimpin negaranya adalah seorang Nabi. Sehingga dari pemikiran ini dapatlah kita simpulakan bahwa A-farabi lebih banyak berbicara dalam hal teori dari pada relistis pragmatis, karena memang ia adalah seorang ahli fikir yang dalam.[19]

3.      Akhlaq
Dalam hal ini Al-Farabi menjelaskan bahwa akhlaq itu bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan yang merupakan tujuan tertinggi yang dirindui, maka wajar kalau masalah akhlaq adalah sesuatu yang paling banyak ditulis oleh Al-Farabi dalam berbagai kitabnya.
Dalam kitab Risalah al-Tanbih ‘ala subul al-Sa’adah dan Tahshil al-Sa’adah Al-Farabi menekankan ada empat jenis sifat utama yang harus dimiliki oleh setiap orang, untuk mendapatkan kebahagiaan didunia dan diakhirat.
(1) Keutamaan Teoritis, prinsip-prinsip pengetahuan yang kita dapat  sejak awal tanpa kita tahu cara dan asalnya. Juga termasuk dengan kontemplasi, penelitian, juga melalui belajar mengajar.
 (2) Keutamaan Pemikiran, adalah yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal bermanfaat dalam tujuan.
(3) Keutamaan Akhlaq, bertujuan untuk mencari kebaikan, dan ini menjadi syarat keutamaan pemikiran.
 (4) Keutamaan Amaliah, dapat diperoleh dengan dua cara, pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang atau dengan cara lain yaitu dengan pemaksaan.[20]

4.      Teori Kenabian
Karena pada masa Al-Farabi pemikiran yang berkembang mengenai kenabian adalah menolak akan kenabian seperti pemikiran Ahmad ibn ishaq al-Ruwandi dan  Zakaria al-Razi, yang menolak akan eksistensi Kenabian,[21]
Maka Al-Farabi yang memiliki pemikiran yang berbeda yakni menerima eksistensi kenabian membuat Al-Farabi mencoba melawan pemikiran tersebut. Meskipun Al-Farabi dikenal sebagai seorang yang rasionalis namun hal itu bukan berarti ia menolak eksistensi wahyu Tuhan dan Kenabian.[22]
Menurutnya Adanya Nabi dan Rasul yang diutus kedunia, bahwa pada umat manusia, akal dan potensi jiwa mereka terdapat perbedaan keunggulan dalam aktualitas dalam menangkap informasi secara utuh dan lengkap. Seperti kenyataan bahwa ada orang yang unggul dari orang lain. Dengan demikian  tidak mustahil bahwa ada orang yang hatinya mampu menerima wahyu, sementara orang lain tidak sanggup.[23]  kemudian menurut Al-Farabi ciri khas seorang nabi adalah bahwa seorang Nabi mempunyai daya imaginasi yang kuat, dimana obyek indrawi diluar tidak dapat mempengaruhinya. Jadi manakala ia menerima visi kebenaran atau wahyu dari tuhan melalui aql fa’al ia mampu berkomunikasi dengan baik. Al-Farabi kembali menambahkan bahwa kemampuan seorang Nabi berhubungan dengan malaikat Jibril tanpa diawali latihan,  karena Allah telah menganugerahinya dengan kekuatan suci (Qudsiyah). Sementara filsuf dapat berhubungan dengan Tuhan melalui akal Mustafad (perolehan) yang sudah terlatih  dan kuat daya tangkapnya, sehingga dapat menerima hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal. Dengan demikian antara nabi dan filsuf tidak sejajar tingkatannya, karena setiap nabi adalah filsuf sementara tidak semua filsuf itu nabi.[24] Karena adanya unsur pilihan. Kembali menurut Al-Farabi bahwa karena nabi dan filsuf sama-sama dapat berhubungan dengan Akal, maka antara wahyu dan filsafat tidak terdapat pertentangan.[25]

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Demikianlah pembahasan mengenai Ibnu Farabi atau Al-Farabi dalam setiap tokoh sudah menjadi hal yang lumrah bahwa manusia memiliki kekurangan dan kelebihan. Terkadang bertindak atau berperilaku benar dan juga salah. Dalam berfikir juga demikian salah dan benar memang tidak aneh lagi jika menimpa seseorang. Karena manusia memang tidak terlepas dari salah dan lupa. Apalagi dalam masalah filsafat. Lebih tidak aneh lagi kalau seorang Filosuf berfikir salah, atau nyeleneh. Untuk itu dalam pemikiran Ibnu Farabi ini tentunya berlaku hukum tersebut yaitu ada yang salah dan ada pula yang benar. maka alangkah indahnya apa yang dikatakan Syeikh Bin Baz ketika ditanya bagaimana pandangan  beliau terhadap Dr. Sayyid Qutb, maka Syeikh Bin Baz menjawab dengan kata-kata beliau yang indah; “Setiap manusia tidak akan terlepas dari benar dan salah. Maka yang benar dari beliau (Sayyid Qutb) maka ambilah, jika itu salah maka tinggalkanlah”.

                                               DAFTAR PUSTAKA

Ø  Aceh, Abu Bakar, “Sejarah Filsafat Islam”, Sala: CV. Ramadhani, Cet. II,  1982.
Ø  Dahlan, Abdul Aziz Pemikiran Filsafat dalam Islam, Padang: IAIN IB PRESS, 2000,
Ø  Drajat, Amroeni “Filsafat Islam Buat Yang Pingin Tahu,”, Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006
Ø  Hanafi, Ahmad, “Pengantar Filsafat Islam,” Bulan Bintang, Jakarta: cet.VI , 1996
Ø  Jamia’ah Arraniry,Proyek pembinaan Perguruan Tinggi Agama Iain ,“Filsafat Islam” 
Ø  Nasution, Hasyimsyah, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. III,  2002.
Ø  Nasution,Harun, “Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam”, Jakarta: Pt Bulan Bintang, Cet. X, 1999

[1] . Hasyimsyah Nasution, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, Cet. III,  Hal. 32
[2] . Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Iain Jamia’ah Arraniry, “Filsafat Islam” ,Hal. 35
[3] . “Ibid”., Hal. 35
[4] . Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet. VI, Hal. 82
[5] . Hasyimsyah Nasution. “Op. Cit”., Hal. 33
[6] . Iain Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”., Hal. 42
[7] . “Ibid”., Hal. 42-43
[8] . Abu Bakar Aceh, “Sejarah Filsafat Islam”, Sala: CV. Ramadhani, 1982. Cet 2. Hal 51
[9] . Iain Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”.,Hal. 45S
[10] . Ahmad Hanafi, “Op. Cit”., Hal.90
[11] . Amroeni Drajat, “Filsafat Islam Buat Yang Pingin Tahu,”, Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006, Hal. 32
[12] . Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 36
[13] . Ahmad Hanafi, “Op. Cit”., Hal. 91
[14] . Ia Mengambil Teori Plotinus Yang Mengatakan Bahwa ‘’Dari Yang Satu (Tuhan) Hanya Satu Saja Yang Melimpah’’. Berdasarkan Itu Maka Masalahnya Adalah Alam Ini Dijadikan Secara Tidak Langsung, Karena Sukar Difahami Jika Alam Yang Beraneka Ini Dijadikan Langsung Karena Dapat Menyentuh Keesaan Tuhan. Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”., Hal. 52
[15].  Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 37
[16] . Abdul Aziz Dahlan, “Pemikiran Filsafat Dalam Islam”, Padang: Iain Ib Press, 2000, Cet. II, Hal. 65S
[17] . Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Pt. Bulan Bintang, 1999, Cet X, Hal. 26
[18] . Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 41
[19] . Ahmad Hanafi, “Op. Cit”., Hal. 97.  Lihat Pula H.M. Rasyidi Dkk, “Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat,” Jakarta: Pt.Bulan Bintang., 1988, Cet. I, Hal. 120
[20] . Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 43
[21] . “Ibid”., Hal. 44
[22] . Abdul Aziz Dahlan, “Op. Cit”., Hal. 73
[23] . “Ibid”., Hal. 74
[24] . Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 44
[25] . “Ibid”., Hal. 44

3. KARIER AL FARABI

Antara 910 dan 920, al Farabi kembali ke Baghdad untuk mengajar dan menulis, reputasinya sedemikian rupa sehingga dia mampu mencapai ahli ilmu mantiq (logika), ia kemudian mendapat sebutan sebagai al-Mu’allim al-Tsani (guru kedua). Maksudnya ia adalah orang yang pertama kali memasukkan ilmu logika ke dalam kebudayaan Arab, dan dialah filosof muslim pertama yang berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif . Keahlian ini rupanya sama yang dialami oleh Aristoteles sebagai Guru pertama. Ia (Aristoteles) orang pertama yang menemukan ilmu logika.
Murid-murid al-Farabi sendiri yang disebutkan namanya hanyalah
teolog sekaligus filosof Jacobite15 Yahya ibn ‘Adi (w.975) dan saudara
Yahya yaitu Ibrahim. Yahya sendiri menjadi guru logika terkemuka:

__________________________ 
15 Rescher, Nicholas, Studies in the History of Arabic Logic, Pittsburgh, 1963, h.15.
“sebenarnya separo jumlah ahli logika Arab pada abad kesepuluh adalah muridnya.”16
Pada tahun 942 M situasi di ibu kota dengan cepat semakin buruk karena adanya pemberontakan yang dipimpin seorang mantan kolektor pajak al Baridi, kelaparan dan wabah merajalela. Khallifah al Muttaqi
sendiri meninggalkan Baghdad untuk berlindung di istana pangeran Hamdaniyyh, Hasan (yang kemudian mendapat sebutan kehormatan Nashr al Daulah) di Mosul. Saudara Nashir, Ali bertemu khalifah di Tarkit. Ali memberi khalifah makanan dan uang agar khalifah dapat sampai ke Mosul. Kedua saudara Hamdaniyyah ini kemudian kembali bersama khalifah ke Baghdad untuk mengatasi pemberontakan. Sebagai rasa terima kasih khalifah menganugerahi Ali gelar Saif al Daulah.
Farabi sendiri merasa akan lebih baik pergi ke Suriah. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah dan al Qifti, al Farabi pergi ke Suriah pada tahun 942 M. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah di Damaskus, al Farabi bekerja di siang hari sebagai tukang kebun dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat dengan memakai lampu jaga. Al Farabi terkenal sangat shaleh dan zuhud.
Al Farabi tidak begitu memperhatikan hal-hal dunia. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah, al Farabi membawa manuskripnya yang berjudul Al Madinah Al Fadhilah, manuskripnya ini mulai ditulisnya di Bahdad ke
__________________________ 
16 Galston, Miriam, Politic and Exellence: The Politic Philosophy of al-Farabi, Printon:
1990, h.15, catatan 15.
Damaskus. Di Damaskus inilah manuskripnya tersebut diselesaikan pada tahun 942/3 M.
Sekitar masa inilah al Farabi setidak-tidaknya melakukan suatu perjalanan ke Mesir (Ibn Usaibi’ah menyebutkan tanggalnya yaitu 338 H, setahun sebelum al Farabi wafat) yang pada saat itu diperintah oleh Ikhsyidiyyah. Ikhsyidiyyah ini semula dibentuk oleh opsir-opsir tentara Farghanah di Asia Tengah. Menurut Ibn Khallikan di Mesir inilah al Farabi menyelesaikan Siyasah Al Madaniyyah yang dimulai ditulisnya di Baghdad.
Setelah meninggalkan Mesir al Farabi bergabung dengan lingkungan cemerlang filosof, penyair, dan sebagainya yang berada disekitar pangeran Hamdaniyyah yang bernama Saif Al Daulah. Menurut Ibn Abi Usaibi’ah disinilah al Farabi mendapatkan gaji kecil yaitu empat dirham perak sehari.
Al Farabi wafat di Damaskus pada tahun 950 M, usianya pada saat itu sekitar 80 tahun.

4. KARYA-KARYA AL FARABI
Karya al Farabi tersebar di setiap cabang ilmu pengetahuan yang dikenal dunia pada abad pertengahan, dengan pengecualian khusus pada ilmu kedokteran.
Karya al Farabi bila dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih kalah jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek berbentuk risalah dan sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam pembicaraannya.
Sebagian karangan al Farabi masih diketemukan dibeberapa perpustakaan, sehingga di dunia Islam dapat mengenang dan mengabadikan namanya. Ciri khas tertentu yang ada pada pada karangannya adalah bukan saja mengarang kitab besar atau makalah-makalah namun jug memberi ulasan-ulasan dan penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al Fraudismy dan Plotinus.
Selama di Baghdad waktunya dihabiskan untuk mengajar dan menulis. Hasil karyanya diantara buku tentang ilmu logika, ilmu fisika, ilmu jiwa,, metafisika, kimia, ilmu politik, music dll. Tapi kebanyakan karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab telah hilang dari peredaran. Sekarang yang masih tersisa diperkirakan hanya sekitar 30 buah.
Karya-karya nyata dari al Farabi adalah :
1. Al Jami’u Baina Ra’yai Al Hakimain Al Falatoni Al Hahiy wa Aristhotails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles)
2. Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan)
3. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan)
4. Fususu Al Taram (hakikat kebenaran)
5. Arroo’u Ahli Al MAdinah Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan)
6. As Syiyasyah (ilmu politik)
7. Fi Ma’ani Al Aqli
8. Ihsho’u Al Ulum (kumpulan-kumpulan ilmu/statistik ilmu)
9. At Tangibu ala As Sa’adah
10. Ishbatu Al Mufaraqaat
11. Al Ta’liqat
12. Agrad al Kitab ma Ba’da Tabi’ah (intisari buku Metafisika)
13. ‘Uyun al Masa’il (pokok-pokok persoalan)
Ilmu tersebut yang mendapat perhatian besar oleh al Farabi adalah ilmu fiqih dan ilmu kalam. Sedangkan ilmu mantiq membahas delapan bagian yaitu :
1. Al Maqulaati Al Asyr (kategori)
2. Al Ibarat (ibarat)
3. Al Qiyas (analogi)
4. Al Burhan (argumentasi)
5. Al Mawadi Al Jadaliyah (the topics)
6. Al Hikmatu Mumawahan (sofistika)
7. Al Hithobah (ilmu pidato)
8. Al Syi’ir (Puisi)
5. FILSAFAT AL FARABI

Filsafat al Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aritoteles dan Neo Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak aliran Syiah Imamiyah. Al Farabi berkeyakinan penuh bahwa antara agama dan filsafat tidak terdapat pertentangan karena sama-sama membawa kepada kebenaran. Namun demikian, ia tetap berhati-hati atau bahkan khawatir kalau-kalau filsafat itu membuat iman seseorang menjadi rusak, dan oleh Karena itu ia berpendapat seyogianya disamping dirumuskan dengan bahasa yang samar-samar, filsafat juga hendaknya jangan sampai bocor ke tangan orang awam.
Filsafat al-Farabi, antara lain akan diuraikan di bawah ini.
a. Filsafat Emanasi/Pancaran
Pemikiran filsafat al Farabi yang terkenal adalah penjelasannya
tentang emanasi (al Faidh), yaitu teori yang mengajarkan tentang proses urut-urutan kejadian suatu wujud yang mungkin (alam makhluk) dari zat yang wajib al wujud (Tuhan). Menurutnya, Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Segala sesuatu, menurut al Farabi, keluar (memancar) dari Tuhan karena Tuhan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Ilmu Nya menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahuiNya.
Bagaimana cara emanasi itu terjadi? Al Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu benar-benar Esa sama sekali, karena itu, yang keluar dari padaNya juga tentu harus satu wujud saja. Kalau yang keluar dari zat Tuhan itu terbilang, maka berarti zat Tuhan itupun berbilang pula. Menurut al Farabi dasar adanya emanasi ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal yang timbul dari Tuhan, terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan.
Dalam alam manusia sendiri, apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya.
Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama(الوجودالأوُل) dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua (الوجوداالثانى) yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut akal pertama, First Intelligence (العقل الأوُل) yang tidak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga (الوجودالثالث)disebut Akal kedua, Second Intellegence (العقل الثانى).
Wujud Kedua atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbullah Langit Pertama (السماءالأولى) , First Heaven.
Wujud Ketiga/Akal Kedua
· Tuhan = Wujud Keempat/Akal Ketiga
· Dirinya = الكواكبالثابتة (bintang-bintang)
Wujud Keempat/Akal Ketiga
· Tuhan = Wujud Kelima/Akal Keempat
· Dirinya = كرةالزهل (Saturnus)
Wujud Kelima/Akal Keempat
· Tuhan = Wujud Keenam/Akal Kelima
· Dirinya = كرةالمشتوى (Jupiter)
Wujud Keenam/Akal Kelima
· Tuhan = Wujud Ketujuh/Akal Keenam
· Dirinya = كرةالمريخ (Mars)
Wujud Ketujuh/Akal Keenam
· Tuhan = Wujud Kedelapan/Akal Ketujuh
· Dirinya = كرةالشمس (Matahari)
Wujud Kedelapan/Akal Ketujuh
· Tuhan = Wujud Kesembilan/Akal Kedelapan
· Dirinya = كرةالزهرة (Venus)
Wujud Kesembilan/Akal Kedelapan
· Tuhan = Wujud Kesepuluh/Akal Kesembilan
· Dirinya = كرةالعطارد (Mercury)
Wujud Kesepuluh/Akal Kesembilan
· Tuhan = Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh
· Dirinya = كرةااقمر (Bulan)
Pada pemikiran Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akaal-akal. Tetapi dari akal kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api,udara, air dan tanah.
Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari Akal Kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya, yaitu :
1. Gerak (المحركة, motion)
§ Makan (الغاذية, nutrition)
§ Memelihara (المربية, preservation)
§ Berkembang (المولدة, reproduction)
2. Mengetahui (المدركة, cognition)
§ Merasa (الحاسة , sensation)
§ Imajinasi (المتخيلة , imagination)
3. Berpikir ( , intelection)
§ Akal praktis (العقل العملي , practical intellect)
§ Akal teoritis (العقل النظري , theoritical intllect)
b. Filsafat Kenabian
Selain filsafat emanasi, al Farabi juga terkenal dengan filsafat
kenabian dan filsafat politik kenegaraannya. Dalam hal filsafat
kenabian, al Farabi disebut sebagai filusuf pertama yang membahas
soal kenabian secara lengkap. Al Farabi berkesimpulan bahwa para nabi / rasul maupun para filusuf sama-sama dapat berkomunikasi dengan akal Fa’al, yakni akan ke sepuluh (malaikat. Perbedaannya, komunikasi nabi/rasul dengan akal kesepuluh terjadi melalui perantaraan imajinasi (al mutakhayyilah) yang sangat kuat, sedangkan para filusuf berkomunikasi dengan akal kesepuluh malalui akal Musfad, yaitu akal yang mempunyai kesanggupan dalam menangkap inspirasi dari akal kesepuluh yang ada diluar diri manusia.

Dalam hal filsafat kenegaraan, al Farabi membedakan menjadi lima macam :
1. Negara utama (al-madinah al-fadilah), yaitu Negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Menurut Negara terbaik adalah Negara yang dipimpin oleh rasul dan kemudian oleh para filusuf;
2. Negara orang-orang bodoh (al-madinah al-jahiliyah) yaitu Negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan;
3. Negara orang-orang fasiq (al-madinah al fasiqah), yakni Negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, Tuhan dan akal (Fa’alal-madinah al-fadilah), tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negeri yang bodoh; seperti penduduk utama.
4. Negara yang berubah-ubah (al-madinah al-mutabaddilah), ialah negara yang penduduknya semula mempunyai pikiran dan pendapat seperti yang dimiliki Negara utama, tetapi kemudian mengalami kerusakan;
5. Negara sesat (al-madinah ad-dallah), yaitu Negara yang penduduknya mempunyai konsepsi pemikiran tentang Tuhan dan akal Fa’al, tetapi kepala negaranya beranggapan bahwa dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatnnya.
Mengenai etika kenegaraan, al Farabi mengemukakan suatu ide
bahwa dalam tiap keadaan ada unsur-unsur pertentangan. Hal ini dalam alam, yang kuat berarti lebih sempurna dari yang lemah. Dalam politik kenegaraan orang harus mengambil teladan dari naluri-naluri hewani itu. Sebab keadilan itu baru bisa dilaksanakan bila kita dalam kemenangan.
Dalam hal ini al Farabi memberi contoh tentang jual-beli atau perjanjian yang dibuat oleh manusia. Hal itu terjadi sebenarnya karena adanya faktor kelemahan secara individual pada masing-masing anggota yang bersangkutan. Akan tetapi, bila salah seorang yang mengadakan perjanjian itu menjadi lebih kuat, maka dia akan mengubah maksud perjanjian yang telah dibuatnya menurut interpretasi kemauannya sendiri.
Etika kenegaraan al Farabi ini ternyata sangat sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi dalam perkembangan sejarah Negara-negara sejak dahulu kala hingga dewasa ini.
Demikian sekilas soal al Farabi, semoga kita juga menjadi umat Islam yang bisa berpikir kritis dan cerdas. Semoga kita juga senantiasa berpandangan positif tentang filsafat karena sebenarnya para filosof adalah orang-orang bijak yang hidup sederhana dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencari kebenaran dan menebarkan cinta kasih pada sesama. Wallahua’lam bisshowaab……..


KESIMPULAN
1. Al Farabi adalah seorang filosof Muslim dalam arti yang sebenarnya. Ia telah menciptakan sistem filsafat yang relatip lengkap, dan telah memainkan peranan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat di dunia Islam. Ia menjadi anutan/guru dari filosof-filosof Islam sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
2. Al Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, justru sama-sama membawa kebenaran. Hal ini terbukti dengan karangannya yang berjudul Al Jami’Baina Ra’yani Al Hakimain dengan maksud mempertemukan pikiran-pikiran Plato dengan Aristoteles.
3. Al Farabi juga mempertemukan hasil-hasil pemikiran filsafat dengan wahyu dengan bersenjatakan ta’wil (interpretasi batin).
4. Al Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seoranng wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran Masysyai (Perpaterik) filosof-keilmuan.
5. Al Farabi merupakan orang pertama yang memberikan uraian sistematik terhadap hierarki wujud dalam kerangka hierarki intelegensi dan jiwa serta pemancaran (faidh)-nya dari Tuhan sehingga ia mendapat gelar Al Mu’allim Al Tsani
6. Al Farabi membagi wujud menjadi tiga jenis berdasarkan jumlah sebabnya. Pertama, wujud keberadaanya sama sekali tidak memiliki sebab, al Farabi menyebut ini sebagai wujud pertama atau sebab pertama yang merupakan prinsip tertinggi eksistensinya setiap wujud lainnya. Tentang prinsip tertinggi ini hanya terbatas pada pengetahuan tentang hal itu dan bukan prinsip-prinsip wujudnya. Kedua, wujud yang memiliki keempat sebab Aristotelian: material, formal, efisiensi dan final. Jenis kedua ini mengacu kepada genus-genus benda terindra, termasuk benda langit. Ketiga,wujud yang sepenuhnya immaterial – yang lain daripada wujud benda di dalam atau menempati benda-benda. Atas dasar tiga skema klasifikasi wujud di atas, maka pembahasan makalah ini mengecil pada basis ontologis yang khas Faribian


Al-Farabi dipandang sebagai filosof Islam pertama yang berhasil menyusun sistematika konsepsi filsafat secara meyakinkan. Posisinya mirip dengan Plotinus (204 – 270 M) yang menjadi peletak filsafat pertama di dunia Barat. Jika orang Arab menyebut Plotinus sebagai Syaikh al-Yūnānī (guru besar dari Yunani), maka mereka menyebut al-Farabi sebagai al-Mu’allim al-Tsānī (guru kedua) di mana “guru pertama”-nya disandang oleh Aristoteles. Julukan “guru kedua” diberikan pada al-Farabi karena dialah filosof muslim pertama yang berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif antara pemikiran filsafat Aristoteles dan gurunya, Plato. Melalui karya al-Farabi berjudul al-Ibānah ‘an Ghardh Aristhū fī Kitāb Mā Ba’da al-Thabī’ah (Penjelasan Maksud Pemikiran Aristoteles tentang Metafisika). Karya al-Ibānah inilah yang membantu para filosof sesudahnya dalam memahami pemikiran filsafat Yunani. Konon Ibnu Sina (filosof besar sesudah al-Farabi) sudah membaca 40 kali buku metafisika karya Aristoteles, bahkan dia menghafalnya, tetapi diakui bahwa dirinya belum mengerti juga. Namun setelah membaca kitab al-Ibānah karya al-Farabi yang khusus menjelaskan maksud dari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku mulai paham pemikiran metafisik-nya Aristoteles.
Setelah melakukan petualangan cukup lama di Baghdad, sekitar 20 tahun, al-Farabi pergi ke Damaskus ketika berumur 75 tahun (sekitar tahun 945 M). Di ibukota Suriah inilah, al-Farabi berkenalan dengan Sultan Saif ad-Daulah, penguasa Dinasti Hamdan di Aleppo, wilayah Suriah bagian utara yang dikenal sebagai negeri industri. Sultan memberi al-Farabi jabatan sebagai ulama istana dengan banyak fasilitas kerajaan yang mewah. Namun fasilitas mewah itu ditolaknya dan hanya mau mengambil sekitar 4 dirham saja per hari sekedar untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari secara sederhana. Di negeri Aleppo ini, al-Farabi banyak berkenalan dengan para ahli di berbagai disiplin ilmu pengetahun: sastrawan, penyair, ahli fikih, kalam, dan lainnya. Sisa dari gaji yang diterima dari kerajaan, digunakan al-Farabi untuk kepentingan sosial dan dibagi-bagikan pada kaum fakir miskin di sekitar Aleppo dan Damaskus. Pada tahun 950 M, al-Farabi meninggal dunia di Damaskus pada usia 80 tahun.
Sekilas tentang Pemikiran Filsafatnya.
Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujūd (disebut alam) dari pancaran Wājib al-Wujūd (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran. Al-Farabi memberi 3 istilah yang disandarkan padaTuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal); al-‘Āqil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).
Sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut:
1. Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I → al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
2. Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II → al-Kawākib (bintang-bintang).
3. Wujud III itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III → Saturnus.
4. Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV → Jupiter.
5. Wujud V itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V → Mars.
6. Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI → Matahari.
7. Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal VII → Venus.
8. Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII → Mercury.
9. Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX → Bulan.
10. Wujud X itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-‘aql al-fa’āl (akal aktif) yang biasanya disebut Jibril yang berperan sebagai wāhib al-suwar (pemberi bentuk, form).
Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori: 1) esensinya tidak berfisik (baik yang tidak menempati fisik [yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet] maupun yang menempati fisik [yaitu jiwa, bentuk, dan materi]). 2) esensinya berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api, udara, air, dan tanah).
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi.
Jiwa manusia, menurut al-Farabi, memiliki 3 daya: 1) daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghādiyah, nutrition), memelihara (murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah, reproduction); 2) daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa: merasa (hāssah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination); dan 3) daya berpikir (al-quwwah al-nāthiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amalī) dan akal teoretis (‘aql nazharī). Dan al-‘aql al-nazharī terbagi pada 3 tingkatan: 1) al-‘aql al-hayūlānī (akal potensial, material intellect) yang mempunyai “potensi berpikir” dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk (māhiyah) dari materinya; 2) al-‘aql bi al-fi’l (akal aktual, actual intellect) yang dapat melepaskan arti-arti (māhiyah) dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual), bukan lagi dalam bentuk potensial; 3) al-‘aql al-mustafād (akal pemerolehan, acquired intellect) yang sudah mampu menangkap bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada materinya karena keberadaannya (pure form) tidak pernah menempati materi. Al-‘aql al-mustafād bisa berkomunikasi dengan akal ke-10 (Jibril) dan mampu menangkap pengetahuan yang dipancarkan oleh “akal aktif” (‘aql fa’āl). Dan ‘aql fa’āl menjadi mediasi yang bisa mengangkat akal potensial naik menjadi akal aktual, juga bisa mengangkat akal aktual naik menjadi akal mustafad. Hubungan antara ‘aql fa’āl dan ‘aql mustafād ibarat mata dan matahari.
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah di bidang sosial-politik. Karyanya yang terkenal adalah berjudul Ārā` Ahl al-Madīnah al-Fādhilah (Opini Penduduk tentang Negara Utama). Menurut al-Farabi, politik diperlukan sebagai mediasi yang bisa mengantarkan manusia hidup bahagia di dunia dan akhirat. Untuk mencapai kesempurnaan, manusia tidak bisa hidup sendiri, melainkan harus bekerjasama. Hubungan kerjasama setiap individu inilah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya masyarakat. Menurut al-Farabi, seorang pemimpin harus memiliki karakter umum, seperti: 1) kecerdasan; 2) ingatan yang kuat; 3) murah hati; 4) sederhana; 5) cinta keadilan; 6) cinta kejujuran; 7) tegar, berani; dan fasih bicara.
Di samping karakter umum, al-Farabi juga berpendapat bahwa seorang penguasa (pemimpin negara) harus memiliki daya profetik (kenabian) yang sampai pada tingkatan ‘aql mustafād agar mampu menangkap sinat pengetahuan yang dipancarkan oleh akal ke-10 (jibril). Oleh karena itu, ketika seorang pemimpin yang mencapai tingkatan itu sulit ditemukan atau tidak ada (yaitu seorang nabi), maka bisa diganti oleh seorang filosof, karena dia juga mampu sampai pada tingkatan ‘aql mustafād. Namun jika kriteria filosof juga belum ditemukan, maka negara bisa dipimpin secara kolektif dalam bentuk semacam presidium. Di antara orang-orang yang memiliki karakter pemimpin itu, kemudian dipilih satu orang yang memiliki kearifan tertinggi, lalu yang lain dipilih berdasarkan keahlian pengetahuan yang spesifik dan berbeda-beda, seperti: ahli pemerintahan, ahli strategi perang, ahli ekonomi, ahli bicara (orator) dan komunikasi (komunikator), dan sebagainya. Lawan dari al-madīnah al-fādhilah (negara utama) adalah al-madīnah al-fāsidah (negara korup/rusak) yang ditandai dengan ciri-ciri: kebodohan (jahl), kebobrokan (fisq), gonjang-ganjing (tabaddul), dan sesat/rugi (khusr).
Pemikiran al-Farabi yang lain lagi adalah soal teori kenabian yang sekaligus ditujukan untuk merespon pendapat Ibnu al-Rāwandi (w. ± 910 M ) yang lebih tegas penolakannya terhadap kenabian, dan al-Razi (w. 925 M) yang kritik dan penolakannya pada kenabian masih kontroversi dan diragukan (baca kembali tulisan saya tentang teori kenabian menurut al-Razi). Menurut al-Farabi, nabi dan filosof sama-sama mampu berkomunikasi dengan ‘aql fa’āl (akal ke-10) yang tidak lain adalah Jibril, karena keduanya sampai pada tingkat ‘aql mustafād. Hanya keduanya memiliki perbedaan: nabi mampu berkomunikasi dengan akal ke-10 tanpa melalui latihan khusus karena mendapat limpahan dari Tuhan berupa kekuatan atau daya suci (quwwah qudsiyyah) yang di dalamnya ada daya imaginasi luar biasa, berupa al-hads (semacam insight khusus). Sementara filosof harus melalui latihan yang serius dan cukup lama. Dengan demikian, nabi lebih tinggi tingkatannya daripada filosof. Dan bisa juga dikatakan bahwa setiap nabi pasti seorang filosof, tetapi setiap filosof belum tentu seorang nabi.
Demikian sekilas soal al-Farabi, semoga kita juga menjadi umat Islam yang bisa berpikir kritis dan cerdas. Semoga kita juga senantiasa berpandangan positif tentang filsafat karena sebenarnya para filosof adalah orang-orang bijak yang hidup sederhana dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencari kebenaran dan menebarkan cinta-kasih pada sesama. Semoga…!!!