Khamis, 27 Mac 2014

Zainuddin Hujatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Ibnu Muhammad al Ghazali



Ambillah detik ini ke hatimuTatkala masa akan berangkatMenungguMu ‘ Ia mencariNya sedang Ia terbang’Dengan seratus suluhan dan pandangan pandangan.
Image result for BISMILLAH





al-Imam al-Ghazali (الإمام الغزالي) merupakan salah satu dari ulama kaum Muslimin yang sangat mumpuni sehingga mendapat gelar dikalangan kaum Muslimin sebagai “HUJJATUL ISLAM (حجةالإسلام)”. Beliau tidak hanya terkenal dikalangan kaum Muslimin bahkan juga dikalangan orang-orang yang diluar Islam. Keilmuannya sangat luas, pengalaman dan keahlianm beliau dibidang Tashawuf dan pendidikan ruhani sudah menjadi ciri-ciri keluasan ilmu beliau. Sementara kitab “IHYA’ ‘ULUMUDDIN (إحياءعلوم الدين)” yang beliau karang telah diakui kehebatan dan keunggulannnya baik oleh sahabat-sahabatnya maupun musuh-musuhnya.

Nama lengkap Imam al-Ghazali (disebutkan dalam Siyar A'lam an-Nubala)a dalah asy-Syaikh, al-Imam, al-Bahr, al-Hujjatul Islam, U'jubatuz Zaman, Zainuddin, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad ath-Thusiy asy-Syafi'i al-Ghazaliy Shahibut Tashanif wad Dakai Mufrid (الشَّيْخُ، الإِمَامُ، البَحْر، حجَّةُ الإِسْلاَم، أُعجوبَة الزَّمَان، زَيْنُ الدّين، أَبُو حَامِد مُحَمَّدُ بنُ مُحَمَّدِ بنِ مُحَمَّدِ بنِ أَحْمَدَ الطُّوْسِيّ، الشَّافِعِيّ، الغَزَّالِي، صَاحِبُ التَّصَانِيْفِ، وَالذَّكَاءِ المُفرِط). Beliau dilahirkan di desa “Ghazalah”, dikawasan “Thus” yaitu sebuah kota yang berada di Khurasan (sebelah utara Iran). Beliau dilahirkan dari keluarga yang miskin tetapi sangat kuat agamanya. Oleh karena orang tua Imam Ghazali wafat saat beliau masih kecil maka beliau menghadapi berbagai macam kesulitan dan ujian. Kesulitan beliau yang dialami diwaktu kecil dalam menuntut ilmu ini sangat memberikan pengalaman bagi beliau di masa depannya.

Pada awalnya Al-Imam Ghazali belajar di desanya kepada seorang Ulama yang sangat alim yaitu Asy-Syekh Ahmad Ar-Radzakaniy rahimahullah ta’alaa, kemudian beliau belajar ke Jurjan dan berguru kepada Asy-Syekh Abu Nashir Al-Isma’iliy rahimahullah ta’alaa. Setelah dari Jurjan, beliau melanjutkan belajar kota Naisabur dan memberikan perhatian khusus untuk belajar kepada Al-Imam Al-Haramain Al-Jurnaniy rahimahullah ta’alaa. Oleh karena kegigihan dan kepandaian Al-Imam Ghazali, maka Al-Imam Al-Jurjaniy pun memberikan gelar sebagai “BAHRUN MUGHDIQ (بحرمغدق)” yaitu “Lautan Luas Yang Tidak Bertepi”.

Ketika al-Imam al-Haramain ( إمام الحرمين) wafat pada tahun 478 H, maka Aal-Imam al-Ghazali rahimahulla ta’alaa pergi ke Ma’askar dan bertemu dengan a-Wazir Nidham al-Muluk yang sangat menaruh perhatian terhadap keilmuan dan Ulama kaum Muslimin. Setelah al-Wazir Nidham Al-Muluk mengetahui keluasan keilmuan al-Imam Hujjatul Islam Al-Ghazali (Bahrun Mughdiq) maka beliau melantiknya sebagai MAHA GURU di “Madarasah An-Nidhamiyah (Perguruan Tinggi an-Nidhamiyah)” Baghdad, sedangkan al-Imam Ghazali waktu itu baru berusia 34 tahun. Itu merupakan salah satu kedudukan yang sangat tinggi dalam dunia Islam pada masa itu dan belum pernah seorang ulama pun yang memegang jabatan tersebut yang masih berusia muda seperi al-Imam Ghazali. Dan dari masa ke masa kedudukan beliau bertambah kuat dan beliau memiliki pengaruh yang sangat besar sehingga penghormatan yang diberikan kepada beliau melebihi penghormatan yang diberikan kepada pihak istana dan pemerintah. Beliau mengajar di perguruan ini kurang lebih 10 tahun. Setelah itu timbul keinginan yang sangat mendesak dalam hati al-Imam Ghazali rahimahullah ta’alaa untuk meninggalkan kedudukan yang sangat tinggi itu, kemudian beliau ber-uzlah dan menyendiri.



Pada tahun 488 H beliau pergi meninggalkan Baghdad dan meninggalkan segala kemewahan, pangkat dan penghormatan untuk selanjutnya beliau mempelajari ilmu Tashawuf dan pensucian jiwa. Pada mulanya beliau pergi ke Damsyiq negeri Syam (Syiria) dan ber-uzlah disana kurang lebih 2 tahun, kemudian pergi menunaikan ibadah Haji ke Mekkah al-Mukarramah, ziarah ke Madinah al-Munawwarah dan ke kota al-Quds (Palestina). Kemudian beliau kembali ke Syiria dan banyak ber-uzlah di Masjid Damsyid (Al-Jami’ Al-Umawiy), disanalah beliau mulai mengarang kitab yang masyhur itu, sampai sekarang ini tempat itu masyhur dengan sebutan “az-Zawwiyah al-Ghazaliyah (الزاويةالغزالية)” yaitu tepatnya berada di sudut belakang sebelah kanan Masjid tersebut.

al-Imam al-Ghazali (الإمام الغزالي) kemudian pulang ke desa asalnya yaitu “Thus” dan menetap disana kurang lebih 6 tahun. Pada tahun 499 H, beliau diminta oleh Fakhrul Muluk putra dari Nidhamul Muluk supaya beliau mengajar di perguruan tinggi an-Nidhamiyah yang ada di Naisabur. Oleh karena Al-Imam Al-Ghazali (الإمام الغزالي) menyadari bahwa beliau bukan hanya di ciptakan untuk membimbing dirinya sendiri tetapi juga untuk membimbing umat, maka beliau bersedia memenuhi panggilan Fakhrul Muluk untuk mengajar di Perguruan Tinggi An-Nidhamiyah Naisabur tersebut.

Pada tahun 500 H, terjadi pembunuhan terhadap Fakhrul Muluk dan terjadi kekacauan di dalam negeri maka al-Imam al-Ghazali (الإمام الغزالي) rahimahullah memilih untuk pulang ke kampong asalnya yaitu Thus, kemudian beliau mendirikan sebuah Madrasah dan Zawiyah berdekatan dengan kediaman beliau. Majlis pengajian Al-Imam Ghazali hingga diberi nama oleh orang-orang dengan julukan “Majlis 300 Sorban Besar”. Sejak saat itu beliau hanya mengajar disitu dan menghabiskan sisa usianya dengan mengajarkan umat, mengarang dan mendidik murid-muridnya yang datang belajar kepada beliau hingga beliau di panggil untuk menghadap Allah subhanahu wa ta’alaa pada tahun 505 H dan jenazahnya di kebumikan di Thabran (Thus).

Diantara kitab-kitab karangan al-Imam al-Ghazali (الإمام الغزالي) adalah Ihya Ulumuddin, Tahafutul Falasifah, Al-Iqtisad fil I’tiqad, Al-Munqiz Minad Dhalal, Jawahiril Quran, Al-Maqsadul Asna fi Ma’an Asamil Husna, Faisahlut Tariqah bainal Islam waz Zindiqah, Al-Qistasul Mustaqim, Al-Mustazhari, Hujatul Haq, Mufsilul Khilaf, Kimiyaus Sa’adah, Kitabul Basitm, Al-Wasit, Al-Wajiz, Khulasatul Mukhtasar, Yaqutut Ta’wil fi Tafsirit Tanzil (40 jilid), Al-Mustasfa, Al-Mankhul, Al-Muntahal fi Ilmil Jidal, Mi’yarul Ulum, Al-Maqasid, Al-Madhanun., Misykatul Anwar, Mahkun Nadhar, Tilbisu Iblis, Nasihatul Muluk, Ad-Durarul Fakhirah, Anisul Wahdah.

Imam Ibnu Jauziy menceritakan dari Al-Imam Ahmad (saudara Imam Ghazali) yang menceritakan peristiwa wafatnya Al-Imam Al-Ghazali (الإمام الغزالي) rahimahullah, Imam Ahmad tersebut berkata, setelah terbit fajar di hari Senin 14 Jumadil Akhir 505 H, saudaraku (Imam Ghazali) berwudlu’, kemudian shalat shubuh, selesai shalat beliau berkata, “Bawakan kemari kain kafanku”, lalu beliau mengambil kain kafannya sambil beliau berkata, “AKU TELAH BERSEDIA DATANG MEMENUHI PANGGILANMU DENGAN KETAATAN DAN KEPATUHAN”, setelah itu beliau berbaring, meluruskan kakinya , menghadap kiblat dan menghembuskan nafas terakhir untuk memenuhi panggilan Rabbnya dengan penuh ketenangan.



Semoga Allah mencurahkan rahmat yang luas kepada beliau dan memberikan keberkahan kepada kita dengan ilmu yang beliau tinggalkan, Amin ya Allah.

::|| Disarikan dari kitab “Hidayatus Salikiyn Fiy Suluk Maslakil Muttaqin” karangan Asy-Syekh Abdush Shamad Al-Falimbaniy rahimahullah ta’alaa, dan buku “SEJARAH DAN KEAGUNGAN MADZHAB SYAFI’I”, karangan KH. Sirajuddin Abbas



Tahafutul Falasifah Karya al-Ghazali


Popularitas Tahafut
Kitab filsafat dalam dunia Islam bahkan Kristen di zaman pertengahan adalah Tahafutut-falasifah (484H) karya Imam al-Gazhali dan Tahafutu't-Tahafutut karya Ibn Rusydi sebagai penangkis kitab Tahafutut-falasifah yang ditulis lebih kurang seratus tahun sesudah kitab Tahafutut-falasifah. Dua kitab tersebut sangat erat kaitannya, sehingga yang satu tidak dapat disebut tanpa lainnya.
Dari segi bahasa, Tahafut berarti keguguran dan kelemahan. Orang mengatakan, tahafata'ts-tsaubu, artinya : kain jatuh dan rusak. Yang dimaksudkan ialah bahwa para filosof telah jatu mati akibat tikaman maut yang diarahkan oleh al-Ghazali terhadap pemikiran mereka. Pada hakikatnya, tikaman itu mamang mematikan, mengenai inti masalah sehingga ilmu filsafat tidak lagi muncul sesudah itu (di dunia Islam), kendatipun adanya upaya mati-matian dari Ibn Rusydi untuk mempertahankannya.

Saat itu Aristoteles yang dikenal dengan guru pertama dipandang sebagai tonggak (hujjah) dalam filsafat, sehingga dikatakan : kebenaran itu adalah perkataannya (Aristoteles). Karena sebab inilah, al-Ghazali memulai kitabnya dengan mengarahkan kritik tajam kepada Aristoteles. Atas kritiknya ia meminta ma'af dengan mengatakan : “Plato adalah teman dan kebenaran adalah teman, tetapi kebenaran adalah lebih meneman.”
Al-Ghazali juga menyerang kebanyakan orang Yunani yang tidak memeluk agama samawi dan karena itu orang Islam menganggap mereka kafir. Dan mengikuti pemikiran mereka juga akan menjadi kafir. Karena al-Ghazali telah mengangkat dirinya untuk memerangi kekufuran maka salah satu sebab kekufuran yang dilihatnya ialah mulai tersiarnya dalam kalangan umat Islam “nama agung yang mereka dengar, seperti: Socrates, Plato, Aritoteles dan sebagainya”.
Sebab al-Ghazali menyerang Aristoteles adalah perkataan Aristoteles bahwa alam ini kadim (tidak bermula). Dan ini adalah masalah pertama dalam dalam Tahafut yang 1/3 halaman kitabnya digunakan untuk membahas masalah ini.
Agama dan Filsafat
Kitab Tahafut melukiskan suatu isi pertentangan antara agama dan filsafat. Pertentangan ini dalam Islam telah muncul dalam berbagai wujud dan bentuk yang berbeda sejak filsafat memasuki kehidupan umat Islam. Agama samawi didasarkan pada wahyu yang diturunkan kepada para nabi dan rasul yang ditugaskan menyampaikn risalah kepada umat manusia. Sendi akidah dalam Islam ada tiga : wujud dan keesaan Allah, mengutus para rasul dan kebangkitan ukhrawi. Tetapi al-Ghazali dalam at-Tahafut hanya menyinggung dua sendi saja, yaitu : yang pertama dan ketiga.
Adapun filsafat maka pegangan dasarnya adalah akal bukan wahyu. Terkadang sds kepercayaan kepada Tuhan dan ada juga yang tidak. Dalam kalangan filosof, ada yang beriman dan ada yang kufur yang hanya percaya kepada apa yang dapat diamati oleh indera serta dikuatkan oleh akal. Perbedaan agama dan filsafat adalah mendasar, baik metoda maupun permasalahan (mudu'). Metoda agama jelas berbeda dengan filsafat. Telah berlaku kebiasaan dalam kalangan umat Islam memperbandingkan dua metoda tersebut dengan mengatakan : mendengar dan akal (as-sam'u wa'l-aql), dinukilkan dan dipikirkan, syari'at dan hikmah dan sebagainya.
Penggabungan dua metoda tersebut telah terjadi sejak filsafat muncul dalam kehidupan umat Islam. Pertentangan antar para filosof tidak pernah berakhir sejak abad kedua sampai dengan abad ketujuh Hijriyah. Pertentangan tersebut mencapai puncaknya di akhir abad kelima dengan munculnya kitab Tahafut al-Falasifah dan merupakan permulaan kemenangan agama dan kehancuran filsafat sehingga akhirnya filsafat menghilang sama sekali dalam kehidupan budaya umat Islam karena keluarnya fatwa yang mengharamkan belajar dan mengajar ilmu tersebut.


Kitab Tahafut
Kitab ini terdiri atas empat mukaddimah, 20 masalah dan khatimah. Mukaddimah pertama ialah bahwa Aristoteles telah merupakan seorang pemuka dalam filsafat, menyimpulkan pemikiran-pemikiran para filosof dan karena itu cukup baik menyanggahnya. Kedua beberapa pemikiran filosof tidak bertentangan dengan agama karena merupakan pendapat tentang fisika seperti pembahasan tentang gerhana matahari dan bulan yang dalam dirinya tidak mengandung celaan dan pujian. Namun ada pemikiran lain yang berkaitan dengan dasar-dasar agama, seperti mengatakan alam ini kadim yang tentunya tidak boleh didiamkan. Ketiga, yang dimaksudkan dengan kitab ini menjelaskan keruntuhan (tahafut) para filosof, yaitu menyanggah pemikiran mereka. Sedangkan penjelasan tentang akidah yang benar disebutkan dalam kitab-kitab lain. Keempat, walaupun para filosof mempergunakan matematika dan logika sebagai metoda berpikir, maka itu tidaklah perlu bagi teologi, walaupun keabsahan matematika tidak dapat diingkari. Adapun logika, maka itu alat berpikir yang dipergunakan oleh para filosof seperti yang dipergunakan oleh insan lainnya. Logika itu bukanlah suatu ilmu yang terasing dalam kalangan umat Islam dan mereka menyebutnya ilmu penalaran (nazar) atau ilmu debat (jadal) atau pengetahuan akal (madarik al-'uqul).
Masalah yang duapuluh macam itu dapat dibagi sebagai berikut :
1. Hubungan Allah dengan alam. Meliputi empat masalah :
a) Kadimnya alam.
b) Keabadian alam dan zaman.
c) Allah Pencipta dan Pembuat Alam.
d) Ketidakmampuan membuktikan adanya Pembuat alam.
2. Keesaan dan ketidakmampuan membuktikan-Nya. (masalah ke-5)
3. Sifat-sifat Ilahi. (masalah ke-6 s/d ke-12)
4. Mengetahui hal-hal yang kecil “juz'iyyat”. (masalah ke-13)
5. Masalah falak dan alam. (masalah ke-14 s/d ke-16)
6. Sebab akibat. (masalah ke-17)
7. Jiwa manusia. (masalah ke-18 dan ke-19)
8. Kebangkitan jasad pada hari akhirat. (masalah ke-20)



Pada bagian khatimah, al-Ghazali mengkafirkan para filosof dalam tiga masalah : kekadiman alam, Allah tidak mengetahui yang kecil-kecil (juz'iyyat) dan pengingkaran kebangkitan dan pengumpulan jasad pada hari kiamat. Keputusan ini dipaparkan tidak lebih dari satu halaman. Dalam masalah-masalah ini katanya adalah “jelas kekufurannya yang tidak satu golongan-pun dari umat Islam menganutnya.”
Adapun masalah-masalah lain yang membahas tentang sifat-sifat Ilahi, akidah tauhid dan kemestian sebab-akibat maka mereka itu lebih dekat kepada pembawa bid'ah. Penutup kitabnya : “Maka barangsiapa yang berpendapat bahwa pembawa bid'ah dari golongan Islam itu kafir maka mereka itu juga kafir dan jika mereka menahan diri dari mengkafirkan mereka itu, maka kekafirannya hanya terbatas pada masalah-masalah ini saja.”
Pemikiran al-Ghazali berubah setelah ia menempuh hidup sufi pada akhir hayatnya. Dalam kitab al-Munqiz ia menulis bahwa apa yang berasal dari Aristoteles itu hanya terbatas dalam tiga bagian : pertama, wajib mengkafirkannya; kedua, wajib membid'ahkannya; ketiga, tidak wajib mengingkarinya sama sekali.



Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd

Al-Ghazali dan Filsafat  
“Sekelompok masyarakat begitu terpesona dengan kehebatan filsafat Yunani. Mereka lebih suka mengikuti pemikiran filsafat ketimbang ajaran Islam. Nama-nama filosof  beken seperti Socrates, Hippocrates, Aristoteles dan lainnya, membuat mereka terkagum-kagum. Padahal, mereka belum memahami betul pemikiran para filosof tersebut,” demikian tulis al-Ghazali (450/1058-505/1111), Sang Bukti Islam (Hujjatul Islam) di halaman awal Tahafutul Falasifah.
Bermaksud  menunjukkan kekeliruan filsafat, al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah (Ketidak-koherensian Para Filosof). Karya yang ditulis sekitar bulan Januari 1095 itu adalah jawaban bagi mereka yang terlalu mengidolakan filsafat.
Namun, al-Ghazali tidak menolak filsafat secara total. Bagi al-Ghazali, pemikiran para filosof ada juga yang tidak bertentangan dengan akidah (la yasdumu mazhabuhum fihi aslan min usuliddin). Pemikiran para filosof tentang gerhana bulan (al-kusuful qamariy), yaitu hilangnya cahaya bulan disebabkan posisi bumi yang berada di antara bulan dan matahari, tidak bertengangan dengan Islam. Saat gerhana, bulan berada dalam bayang-bayang bumi, maka sinar matahari tidak dapat diserap oleh bulan.
Begitu juga dengan pemikiran mereka mengenai gerhana matahari (kusufus syams), tatkala posisi bulan berada di tengah antara bumi dan matahari. Al-Ghazali menegaskan, jika pendapat mereka mengenai hal-hal seperti ini ditolak dengan alasan agama, justru akan melemahkan ajaran Islam.
Jadi, bagi al-Ghazali, filsafat itu ada sesatnya. Namun, ada pula benarnya. Selama tidak bertentangan dengan akidah, maka fisika, logika, matematika, geometri yang merupakan bagian dari ilmu filsafat, bisa diterima. Tapi, jika bertentangan dengan akidah, seperti metafisika, dan unsur-unsur dalam fisika maupun psikologi (saat itu psikologi bagian dari ilmu filsafat), maka bagian dari filsafat tersebut harus ditolak. Al-Ghazali telah meletakkan filsafat pada tempatnya.
Tahafutul Falasifah Dalam karyanya,  Tahafutul Falasifah, al-Ghazali menunjukkan kekeliruan pemikiran para filosof Yunani dan para pengikut mereka seperti al-Farabi (m. 950) dan Ibnu Sina (m. 1037).Tahafutul Falasifah memuat 20 persoalan filosofis. Dari kedua puluh persoalan tersebut, tiga persoalan menyebabkan kekufuran, yaitu: pemikiran para filosof bahwa alam (yang dimaksud dengan alam adalah apa saja ciptaan Allah, termasuk alamul ghaib) adalah tidak bermula; Tuhan mengetahui hal-hal partikular dengan cara yang universal, dan tidak ada kebangkitan fisik di akhirat kelak.
Dari kedua puluh persoalan filosofis, persoalan keazalian alam menyedot sekitar seperlima dari keseluruhan isi buku Tahafutul Falasifah.  Bagaimana Tuhan menciptakan alam? Para filosof (tidak termasuk Plato) beranggapan bahwa alam tidak bermula. Alam ada sejak Tuhan ada. Tuhan ada maka alam ada. Jika Tuhan ada, dan alam tidak ada, maka ketiadaan hadir sebelum adanya alam.
Namun, bagi para filosof, kondisi seperti itu, mustahil bagi akal. Sebabnya, jika alam dari tiada kemudian berubah menjadi ada, maka pasti ada faktor (murajjih) yang menyebabkan perubahan dari ketiadaan menjadi ada. Para filosof menyatakan tidak mungkin jika perubahan tersebut disebabkan oleh Tuhan. Sebab jika perubahan itu terjadi (dari tiada menjadi ada), akan timbul persoalan. Mengapa Tuhan menciptakan alam itu pada saat itu, kenapa tidak sebelumnya?
Bagi para filosof, tidak mungkin untuk mengatakan Tuhan “dulu Dia tidak berkehendak saat alam belum diciptakan” dan “saat alam diciptakan Dia baru berkehendak”. Hal ini, kata mereka,  tidak mungkin terjadi, karena perubahan tidak terjadi pada diri Zat yang Maha Suci.
Agamawan pun mengakui tidak ada perubahan pada diri Zat yang Maha Suci. Oleh sebab itu, tidak bisa tidak, alias sebuah keharusan, alam itu tidak bermula di dalam waktu. Alam ada sejak Allah ada. Namun, para filosof seperti Ibnu Sina mengingatkan, tetap ada perbedaan yang jelas antara eksistensi Allah dan eksistensi alam. Allah “lebih dulu” ada dibanding alam. Namun, makna “lebih dulu” bukan dalam katagori waktu. Tapi, dalam katagori esensi (biz-zat), seperti sebab “lebih dulu” dari akibat, ataupun angka satu “lebih dulu” dari angka dua, atau seperti matahari “lebih dulu” dari sinarnya. Tentu, perumpamaan ini tidak bisa diaplikasikan sepenuhnya kepada Zat yang Maha Suci karena Dia berbeda dengan makhluk-Nya. Namun, seperti itulah kira-kira makna “lebih dulu,” demikian menurut Ibnu Sina. 
Bertentangan dengan pemikiran Ibnu Sina, al-Ghazali, berpendapat tidak ada keharusan logika untuk menyimpulkan alam tidak bermula. Bagi al-Ghazali, tidak mustahil bagi akal untuk berfikir bahwa Tuhan ada dan tidak ada apa pun bersama-Nya. Tuhan mencipta alam dari ketiadaan. Adanya ketiadaan sebelum penciptaan alam bukanlah sesuatu yang mustahil.
Jika para filosof mengajukan pertanyaan: Mengapa Tuhan menciptakan alam dari sebelumnya tiada kemudian menjadi ada? Apa kira-kira faktor yang mendorong, kehendak Sang Pencipta yang dari sebelumnya tidak mencipta kemudian ingin mencipta? Al-Ghazali menjawab: di sinilah inti persoalannya. Kehendak Tuhan tidak bisa dianalogikan dengan kehendak manusia, dari tidak mau (mencipta alam) berubah menjadi mau (mencipta alam).
Kehendak Tuhan tidak mengalami perubahan. Sebabnya, makna kehendak adalah pilihan, bukan perubahan. Tuhan memilih mencipta “saat itu,” dan bukan “sebelum saat itu.” Tuhan Berkehendak mencipta pada “saat itu,” bukan sebelumnya. Jika kira-kira para filosof bertanya: Mengapa Tuhan Berkehendak “saat itu,” bukan sebelumnya? Al-Ghazali menjawab, tidak ada perubahan pada Kehendak Tuhan. Sebabnya, makna Kehendak (Iradah) bukan dari tidak mau menjadi mau. Makna “Kehendak” adalah memilih. Tuhan memilih “saat itu.” Pilihan tersebut tidak mengandung makna perubahan pada Kehendak-Nya. Inilah makna Kehendak, ungkap Imam al-Ghazali.
Tahafutut TahafutSekitar sembilan puluh tahun kemudian — sejak Imam al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah –  Ibnu Rusyd menulis Tahafutut Tahafut (Inkoherensinya Inkoherensi) sekitar tahun 1185. Ibnu Rusyd, Sang Komentator Aristoteles,  mengkritik al-Ghazali paragraf demi  paragraf. Ibnu Rusyd bukan saja menolak pemikiran al-Ghazali. Tapi ia juga menolak pemikiran para filosof seperti al-Farabi dan Ibnu Sina karena mereka telah menyimpang dari pemikiran Aristoteles. Namun, tetap kritikan utama Tahafutut Tahafut diajukan kepada al-Ghazali.
Bagi Ibnu Rusyd, al-Ghazali telah keliru,  karena berpendapat Kehendak Tuhan tetap tidak berubah dengan penciptaan alam. Menurut Ibnu Rusyd, penciptaan alam dari tiada (ex nihilo) menjadi ada, mengindikasikan perubahan pada Tuhan. Padahal, menurut Ibnu Rusyd, Tuhan tidak berubah. Kehendak Tuhan yang abadi tidak mengalami perubahan. Oleh sebab itu, Ibnu Rusyd berpendapat alam itu tidak bermula. Jika alam bermula, maka akan ada perubahan pada-Nya.
Jadi, Ibnu Rusyd menyimpulkan alam adalah azali (qadim). Alam tidak bermula dalam waktu. Alam adalah akibat yang harus dari eksistensi Tuhan. Selain itu, bagi Ibnu Rusyd, penciptaanex nihilo (dari ketiadaan) tidak memiliki dasar pijakan dalam al-Qur’an. Jadi, menurut Ibnu Rusyd, tuduhan kekufuran terhadap para filosof tidak memiliki basis agama.
Al-Ghazali dan Ibnu RusydSetelah meneliti secara mendalam, Marmura dalam disertasinya yang berjudul The Conflict Over The World’s Pre-Eternity in The Tahafuts of al-Ghazali and Ibn Rushd, menyimpulkan bahwa konflik antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd sebenarnya berasal dari konflik premis-premis metafisika yang tidak bisa didamaikan. Kritik al-Ghazali terhadap konsep keazalian alam  berpijak pada asal-usul konsep ini yang berangkat dari konsep Tuhan Aristoteles.
Konsep Tuhan seperti ini bertentangan dengan konsep Tuhan yang ada dalam al-Qur’an. Konsep Tuhan Aristoteles berangkat dari konsep Tuhan yang harus mencipta alam. Tuhan –tidak bisa tidak — harus mencipta alam. Jadi, Tuhan berbuat dengan keharusan. Bukan itu saja, Perbuatan-Nya pun selanjutnya ditentukan dengan benda-benda diluar diri-Nya. Dia tidak bertindak secara langsung ke dalam alam ciptaan-Nya. Namun tindakan-Nya melalui serial sebab-sebab esensial yang berlaku sebagai perantara. Premis-premis seperti ini yang mendorong Aristoteles untuk merumuskan alam ini tidak berpemulaan. Pemikiran metafisis ini yang mempngaruhi pemikiran al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Sementara bagi al-Ghazali dan tentunya mayoritas kaum Muslimin, konsep Tuhan dalam al-Qur’an adalah Maha Kuasa. Dia juga Maha Berkehendak. Dia tidak berbuat dengan keharusan. Tidak ada diluar Diri-Nya yang menentukan perbuatan-Nya. Alam sepenuhnya tergantung kepada-Nya. Eksistensi alam secara total setiap saat bergantung kepada perbuatan-Nya secara langsung. Segala sesuatu di alam ini setiap saat secara langsung berada dalam genggaman-Nya. Dialah yang menyebabkan segala perubahan dan pergerakan. Tidak ada keharusan keterkaitan sebab-akibat di alam ini.
Salah-PahamKritikan Imam al-Ghazali terhadap filsafat terkadang  ditafsirkan keliru. Al-Ghazali, misalnya, dituduh sebagai biang kerok kemunduran sains umat Islam. Prof. al-Ahwany, misalnya,  menilai: “Sayangnya, kaum Muslimin mengikuti al-Ghazali… dan sedikit demi sedikit mengabaikan pelajaran sains. Zaman kebesaran peradaban Islam menjadi buram… Kembali kepada Ibnu Rusyd adalah salah satu insentif untuk kebangkitan kembali saat ini di Timur. Menurut al-Ahwany, Muhammad Abduh, Amir Ali dan ramai tokoh-tokoh Muslim modern setuju dengan trend pemikiran Ibnu Rusyd dibanding al-Ghazali (Ahmad Fouad al-Ahwany, “Ibn Rushd” dalam M. M. Sharif, A History of Muslim Philosophy).
Para Orientalis juga menyuarakan nada yang sama. George Sarton, misalnya, menyatakan pandangan al-Ash’ari dan al-Ghazali merupakan penghambat kemajuan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan (George Sarton: Introduction to the History of Science).
Sebenarnya, tuduhan kepada Imam al-Ghazali terlalu berlebihan. Menurut  al-Ghazali, mempelajari sains adalah fardu kifayah bagi umat Islam. Al-Ghazali telah mengingatkan dalamTahafutul Falasifah, supaya mengkaji sains, sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini.
Waktu telah membuktikan pengaruh al-Ghazali kepada umat lebih besar dibanding pengaruh Ibnu Rusyd. Mayoritas umat Islam baik dalam khilafah Utsmaniyah yang berkuasa sekitar 700 tahun, dinasti Mughal di India-Pakistan selama 300 tahun, termasuk di alam Melayu, lebih banyak yang mengikuti pemikiran imam al-Ghazali dibanding Ibnu Rusyd. 

Setelah wafatnya al-Ghazali (w. 1111), sains tetap berkembang sampai abad ke-16. Observatorium Maragha misalnya dibangun tahun 1259 hingga tahun 1304. Di Samarqand, Observatorium juga dibangun tahun 1420. Observatorium Istanbul dibangun pada tahun 1577. Tentunya, berbagai Observatorium itu bisa dibangun dengan melibatkan berbagai pakar dalam bidang astronomi, matematika dan teknologi. Bahkan kritik terhadap paham Geosentris telah dilakukan para ahli astronomi Muslim di Observatorium Maragha dan Samarqand, jauh sebelum Copernicus.
Kemunduran sains dalam peradaban Islam lebih ditentukan beragam faktor. Sains memerlukan dukungan penguasa, stabilitas politik, kemakmuran ekonomi, dan lingkungan yang kondusif. Pascawafatnya al-Ghazali, suasana kondusif tidak selalu hadir di wilayah kekuasaan Islam. Perang salib yang berkecamuk sekitar 200 tahun sangat menguras energi umat. Cengkraman bangsa Mongol yang merebut Baghdad, Samarqand, Bukhara dan Khawarism serta membantai penduduk kota-kota tersebut dan membumihanguskan infrastrukturnya sangat melemahkan kondisi umat. Munculnya kekuatan Barat dan bermulanya kolonialisasi atas berbagai wilayah Muslim semakin melemahkan kekuatan umat Islam. Sebab-sebab ini memiliki pengaruh yang besar atas kemunduran sains umat Islam.

Penting dicatat pengamatan Etienne Gilson, seorang filosof Kristen. Menurutnya, pengaruh Ibnu Rusyd di Barat telah menyebabkan masyarakat Kristen meninggalkan agamanya. Para pengikut Ibnu Rusyd (Averroisme) meraih kemajuan sains dan teknologi dengan mengorbankan ajaran agamanya. Bagi Averroisme, akal berada di atas Wahyu. Padahal dalam struktur epistemologi Islam, Wahyu adalah sumber epistemologi yang utama. Al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah karena filsafat — ketika itu — telah menggeser wahyu sebagai sumber epistemologi yang utama.  Al-Ghazali berusaha meletakkan filsafat pada tempatnya.Wallahu a’lam. (***)
Pergulatan Intlektual Imam al-Ghazali
Jika kita mau menengok kembali perjalanan sejarah umat manusia, kita akan mendapati banyak sekali pergolakan, pertentangan, dan perebutan (atas nama) “kebenaran”. Kebenaran seolah-olah tidak cukup hanya untuk dipeluk dan diyakini, melainkan harus dipertaruhkan, dikukuhkan, dikontestasikan, dan selanjutnya dijadikan alat kekuasaan.

Sehingga seringkali “atas nama” kebenaran segalanya harus dibayar dengan darah, nyawa, bahkan tidak jarang berakhir dengan perang terbuka. Al-Hallaj, seorang sufi dari Persia, harus rela mati di tiang gantungan hanya untuk mempertahankan doktrin hulul (bersemayamnya lahut di dalamnasut). Syekh Siti Jenar diadili dan dieksekusi mati Wali Songo gara-gara mengajarkan doktrin wihdat al-wujud (manunggaling kaula ing gusti) yang dianggap “sesat” dan “menyesatkan”.

Ini adalah fakta sejarah betapa “kebenaran” bisa tampil dalam berbagai warna dan bentuk. Bergantung pada siapa dan demi kepentingan apa ia (di)hadir(kan). Pada kenyataannya, kebenaran tidaklah bebas dari kepentingan dan kekuasaan. Ia akan selamanya dipertaruhkan dan diperebutkan umat manusia. Pertaruhan dan perebutan itu tidak selamanya terjadi dalam medan terbuka. Terkadang ia muncul dan bergolak dalam ruang batin atau psikologi seseorang.

Salah satunya pernah dialami Imam al-Ghazali. Beliau pernah menderita semacam “gejolak kejiwaan” pada saat beliau mencoba menelusuri “hakikat kebenaran” (hakikah al-umur) dan “kebenaran sejati” (al-ilm al-yaqin). Dalam pencariannya itu al-Ghazali mempelajari, mengkaji dan memverifikasi segenap ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu, seperti ilmu kalam (teologi), fiqh, filsafat, dan tasawuf, berikut cabang-cabangnya.

Pengalaman eksistensial al-Ghazali dalam mencari dan mnyusuri “kebenaran” terekam jelas di dalam kitabnya “al-Munqidz min al-Dhalal”. Dari awal-awal tulisannya itu, kita sudah bisa mencium aroma kegelisahan al-Ghazali. Yang pasti, kata al-Ghazali, kebenaran harus dicari, dan terus dicari sampai dalam waktu yang tak berbatas. Kebenaran sejati tidak tersaji dalam tulisan, ucapan atau pendapat orang. Kebenaran bersifat pribadi (subjektif), sehingga harus didekati secara pribadi pula.

Sekilas tentang al-Ghazali

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali lahir di Thus, salah satu daerah di Khurosan, Iran pada 450 H/1058 M. Sejak kecil ia belajar ilmu fiqh pada Imam Ahmad bin Muhammad al-Radzikani, kemudian pindah ke Jurjan untuk nyantri pada Imam Abi Nasr al-Isma’ily.

Setelah itu, al-Ghazali pindah ke Naisabur, belajar pada Imam Haramain al-Juwaini. Di sini ia mulai mengenal tasawuf dan filsafat. Setelah Juwaini tutup usia pada 477, tujuh tahun berikutnya al-Ghazali pergi ke Irak, mengajar di Madrasah Nidzamiyyah. Di madrasah milik Wazir Nidzam al-Mulk (1018-1018 M) inilah popularitas dan kapasitas keilmuan al-Ghazali mulai diperhitungkan banyak orang. (Ihya, juz 1/3)

Karir intelektual al-Ghazali semakin menunjukkan kematangannya setelah ia banyak menulis tentang fiqh, teologi, filsafat dan tasawuf. Ia tergolong ulama yang sangat produktif. Menurut Ibnu Qadli Syuhbah al-Dimsyiqi, pengarang kitab “Thabaqat al-syafiiyyah”, ada sekitar 60 kitab yang ditulis al-Ghazali. Sementara Imam Zubaidi menyebut ada sekitar 80 kitab dan risalah yang dikarang al-Ghazali.

Ketika usianya mulai beranjak senja, Al-Ghazali pulang ke tanah kelahirannya, sampai beliau wafat pada 505 H/1111 M.

Pintu kegelisahan al-Ghazali

Kitab al-Munqiz min al-Dhalal merekam jelas kegelisahan al-Ghazali selama pengembaraan intelektualnya. Dalam kitab ini, al-Ghazali menceritakan dengan jujur bahwa proses pencarian “kebenaran” tidaklah semudah apa yang dibayangkan orang. Ia butuh pengorbanan, keberanian, kejujuran serta kesungguhan.

Sedari kecil al-Ghazali selalu gelisah dan sering mempertanyakan segala sesuatu. Sampai-sampai ia harus melepaskan segenap belenggu taklid (budaya mem-bebek) dan meremukkan benteng keyakinan (aqidah) yang ia terima sejak kecil. (hal. 25)

Kesadaran seperti ini timbul setelah ia sama sekali tidak melihat perubahan apa-apa pada anak-anak orang Nasrani maupun Yahudi. Mereka akan selamanya tumbuh menjadi Nasrani maupun Yahudi, dan seterusnya. Sebagaimana yang disetir oleh hadits Nabi SAW: “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah (Bapak) yang telah menjadikan ia Yahudi, Nasrani dan Majusi”.

Oleh karena itu, tergerak dalam hati al-Ghazali untuk melakukan lompatan-lompatan dan pilihan-pilihan sendiri; berdasarkan pencarian dan upaya pribadi. Al-Ghazali pernah menceburkan diri menjadi pengikut batiniyyah (salah satu sekte syiah paling ektrem dan radikal), menjadi seorang teolog (mutakallimun), mempelajari segenap ilmu-ilmu filsafat, dan pada akhirnya kepincut dengan tasawuf. (hal. 25)


Epistemologi al-Ghazali

Sebelum kita menelisik lebih jauh isi kitab al-Munqidz min al-Dhalal, alangkah baiknya kita paparkan terlebih dahulu epistemologi al-Ghazali. Ini penting, sebab epistemologi ibarat pintu masuk untuk mengetahui paradigma berpikir (gugusan pemikiran) seseorang. Dengan menyusuri epistemologi seseorang, kita akan lebih mudah membaca alur pikir atau sistematika pemikiran orang dari awal sampai akhir.

Epistemologi berasal dari kata episteme (pengetahuan, ilmu pengetahuan) dan logos (informasi). Secara sederhana epistemologi berarti “teori pengetahuan” atau “pengetahuan tentang pengetahuan”. (Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hal.. 212)

Epistemologi melahirkan beragam metode dan pendekatan. Yang paling masyhur adalah empirisme dan rasionalisme. Selain kedua pendekatan itu, dalam filsafat Islam ditambahkan lagi dengan pendekatan intuitif (irfani). Yang terakhir inilah yang digunakan oleh al-Ghazali. 



Seperti yang dituturkan sendiri oleh al-Ghazali, pada awalnya ia mendasarkan pengetahuannya pada empirisme (hissiyyat). Ia sebetulnya ragu dengan metode ini: apakah dengan bersandarkan pada empirisme ia akan memperoleh keyakinan? Dari sini al-Ghazali mulai melakukan pengujian. (hal. 27)

Pertama-tama ia menguji validitas data-data indrawai (data-data empirikal). Semisal, data yang diterima mata. Mata kita seringkali melihat bintang-bintang di atas langit. Menurut penglihatan kita, bintang-bintang itu terlihat kecil, sekecil uang logam. Tetapi, berdasarkan ilmu geometri, ternyata bintang-bintang itu jauh lebih besar dibanding bumi.

Ternyata, pada faktanya, data-data yang diterima oleh indera sering kali menipu, bertolak belakang dengan fakta sesungguhnya, sebagaimana pada contoh di atas. Dari sini al-Ghazali berpindah pada pendekatan rasionalisme. Menurut penganut rasionalisme, satu-satunya pengetahuan yang absah dan dapat dipercaya adalah pengetahuan yang dihasilkan akal (rasional).

Contohnya, bilangan 10 pasti lebih besar dari bilangan 3. Ada dan tiada tidak mungkin bertemu dalam satu waktu, begitu juga qadim (lampau/kekal) dan hadits (baru) tidak mungkin dilekatkan pada sesuatu dalam waktu bersamaan, dan seterusnya. Ini adalah contoh-contoh pengetahuan yang didapatkan oleh akal. Bukankan pengetahuan rasional lebih diterima daripada pengetahuan empiris?

Namun, penganut empirisme pasti akan menyangkal lagi dan mencoba memberikan keyakinan: berdasarkan alasan apa sehingga kita merasa yakin bahwa akal lebih valid dibanding pengalaman? Bukankan apa-apa yang kita cerap dari indera jauh lebih riil dan nyata dibanding pengetahuan akal yang masih bersifat abstrak?

Empirisme dan rasionalisme selamanya akan berperang dan saling menyalahkan. Keduanya tidak dapat bertemu dan dipertemukan. Nah, pada saat terjadi kebuntuan antara pilihan rasional dan empirikal, al-Ghazali justeru berpaling dari keduanya dan menaruh kepercayaan pada pengetahuan intuitif (mukasyafah). Menurut al-Ghazali, dengan pengetahuan intuitif seseorang akan sampai kepada “kebenaran sejati”.

Untuk meyakinkan bahwa pengetahuan intuitif benar-benar ada al-Ghazali mengilustrasikan dengan pengalaman mimpi. Ketika kita bermimpi, kata al-Ghazali, kita betul-betul merasakan, meyakini, dan mengimajinasikan sebuah kenyataan (kejadian) diluar kenyataan indrawi.

Namun, begitu kita terjaga, pengalaman mimpi itu lenyap begitu saja, tanpa kita jumpai lagi dalam alam sadar. Dengan kata lain, pengalaman-pengalaman bawah sadar /ketidaksadaran itu tidak berkorespondensi (berkesesuaian) dengan akal maupun pengalaman indrawi. Kendatipun demikian, mimpi itu riil dan keberadaannya sulit dibantah.

Ini juga sebetulnya sering dialami oleh kita, baik dalam keadaan sadar sekalipun. Coba bayangkan, apakah Anda yakin bahwa apapun yang Anda lakukan saat ini memiliki landasan rasional maupun empirikal? Semisal, ketika Anda duduk dan membaca, apakah Anda betul-betul sedang duduk dan membaca? Bisa jadi Anda sebetulnya sedang bermimpi, menggigau, atau dalam keadaan terjaga tetapi pikiran Anda melayang kemana-mana sehingga Anda sendiri tidak tahu apa sebetulnya yang Anda kerjakan saat ini?

Berangkat dari pendekatan intuitif inilah al-Ghazali membangun segenap gagasan dan pemikirannya. Sehingga, tak pelak lagi, al-Ghazali membombardir teologi, penganut aliran Batiniyyah, filsafat. Karena kesemuanya bersendikan pada rasionalisme atau empirisme. Nah, di dalam kitabnya ini (al-Munqidz min al-Dhalal) al-Ghazali mengkritik habis-habisan Teologi, Madzhab Ta’limy (aliran Batiniyyah), dan Filsafat.

Teologi (ilmu Tauhid)Al-Ghazali sebetulnya tertarik dengan disiplin ilmu ini. Bahkan ia sendiri sempat menulis buku tentang Teologi. Namun, sebagaimana pengakuan al-Ghazali sendiri, bahwa ia tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari Teologi, kecuali manfaat itu kembali pada teologi itu sendiri. (hal. 35)

Sebab, pada perkembangan selanjutnya, disiplin ilmu Teologi sudah tidak lagi terfokus pada wilayah kajiannya; pembahasannya terlalu melebar kemana-mana; dan mulai melenceng dari tujuan.

Padahal, kata al-Ghazali, tujuan ilmu Teologi adalah menjaga dan membentengi akidah ahlussunah wal jama’ah dari pengaruh ahli bid’ah (hifdzu aqidah ahlussunah wa hirasatuha an tasywisi ahli al-bid’ah). Sebab, Allah SWT melalui lisan rasul sudah menyampaikan akidah yang benar demi kemaslahatan dunia maupun akhirat (agama). Hanya saja, akidah itu kemudian tercemari oleh kehadiran ahli bid’ah. Dalam konteks ini, Teologi muncul untuk memurnikan kembali akidah yang sudah tercemar itu, mengembalikan pada asalnya.

Tetapi, yang terjadi justeru tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dan dicita-citakan. Wacana yang dikembangkan dalam teologi malah bertitik-tolak dari dasar pikiran/asumsi/hipotesis (muqaddimat) lawan. Disamping itu, para Teolog (mutakallimun) lebih banyak berapologi menanggapi tuduhan-tuduhan lawan, ketimbang membicarakan esensi Teologi itu sendiri.

Pada akhirnya para Teolog tidak lagi membela sunnah, malah tenggelam pada pembahasan tentang dzat/substansi (al-jauhar), sifat/aksiden (‘arad), dan sebagainya. Hal ini, kata al-Ghazali, yang menyebabkan teologi melenceng jauh dari tujuan mulianya (ghayah al-quswa). Dengan sangat kecewa al-Ghazali akhirnya tidak begitu suka dengan ilmu ini. “falam yakun al-kalam fi haqqy kaafiyan. Wala lidaai alladzi kuntu asykuuhu syafiyan” (bagiku, ilmu kalam tidak mencukupi. Ia tidak dapat menyembuhkan penyakit keragu-raguanku), kata al-Ghazali.

Filasafat

Al-Ghazali belajar dan mendalami filsafat kurang lebih selama dua tahun. Ia banyak membaca kitab-kitab filsafat yang dikarang filsuf muslim pada waktu itu. Dari hasil bacaannya itu, al-Ghazali menyimpulkan ada tiga madzhab besar dalam filsafat: (1) al-dahriyyun, (2) thabiiyyun, dan (3) ilahiyyun. (hal 37)

Pertama, al-dahriyyun (atheisme). Ia merujuk pada aliran filsafat kuno yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Menurut aliran ini, kehidupan dunia ada dengan sendirinya melalui proses alam. Manusia tercipta dari sperma, begitu juga sebaliknya. Proses alam akan terus berjalan sesuai dengan hukumnya. Dan terus berjalan tanpa mengenal akhir.

Kedua, thabiiyyun (naturalisme). Aliran filsafat yang lebih banyak membahas gejala dan perubahan materi; fenomena alam berikut makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan. Objek penelitiannya lebih banyak dicurahkan untuk memahami struktur tubuh mahkluk hidup. Aliran ini masih percaya terhadap adanya Tuhan.

Mereka berpendapat bahwa kekuatan yang dimiliki manusia dihasilkan oleh struktur tubuhnya, bukan disebabkan sesuatu yang lain yang berada diluar tubuh. Mereka juga menolak adanya dualisme jiwa dan badan. Jiwa tidak lain dari materi (badan) itu sendiri. sehingga, ketika seseorang mati, maka jiwanya juga ikut mati. Mereka tidak mempercayai adanya dunia adikodrati, seperti surga, neraka, kiamat, hisab, dll.

Dan ketiga, ilahiyyun (metafisika). Socrates, Plato, dan Aristoteles adalah sederetaan filsuf yang masuk dalam kelompok ini. Plato adalah Murid Socrates, sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Aristoteles dikenal sebagai pencetus ilmu mantiq (logika), banyak memberikan ulasan, komentar, dan penyempurnaan terhadap pelbagai disiplin ilmu. Aristoteles juga banyak mengkritik madzhab-madzhab filsafat sebelumnya, seperti dahriyyun dan thabiyyun.

Secara garis besar, kajian filsafat meliputi: matematika (riyadliyyah), logika (mantiqiyyah), ilmu alam (thabiiyyah), metafisika (ilahiyyah), politik (siyasiyyah), dan etika (khalqiyyah).

Pada prinsipnya, al-Ghazali tidak begitu antipati terhadap filsafat. Sebab, menurutnya, filsafat sama sekali tidak memiliki relasi dengan agama. Al-Ghazali termasuk pendukung sekularisasi ilmu. Hanya saja, kata al-Ghazali, tidak sedikit paham/ajaran filsafat yang dapat menimbulkan efek membahayakan (afat al-adzimah) bagi keimanan, dan bahkan bertentangan dengan ajaran agama.

Sebagaimana madzhab dahriyyun yang mengingkari adanya Tuhan dan thabiiyyun yang tidak mempercayai keberadaan “dunia lain”. Begitu juga ajaran ilahiyyun yang di transfer dari Ibnu Sina dan al-Farabi yang mengatakan bahwa jasad tidak akan menerima nikmat maupun siksaan. Yang mendapatkan balasan di akherat kelak hanyalah ruh. Mereka juga mengatakan bahwa alam bersifat qadim dan abadi.

Madzhab al-ta’limiy
Pada masa al-Ghazali hidup, madzhab ta’limiyyah atau aliran batiniyyah (underground) sedang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ta’limiyyah adalah salah satu aliran/sekte syiah ismailiyyah. Aliran ini berpendapat bahwa “setiap orang butuh pengajaran (al-ta’lim) dan bimbingan mu’allim (guru) yang ma’shum, suci; terlindungi dari dosa” (al-hajat ila al-ta’lim wa al-mua’allim. La yashluhu kullu mu’allim bal la budda min mu’allim al-ma’shum)”. (hal. 59)

Menurut sekte ini, keberadaan mu’allim ma’shum mutlak diperlukan. Sebab, tanpa melalui kehadiran mereka, seseorang tidak mungkin akan sampai pada “kebenaran”. Muallim ma’shum yang dimaksudkan mereka adalah para imam (pemimpin) mereka.

Ajaran seperti ini mendapat kritik keras dari al-Ghazali. Menurutnya, tidak seorang pun di dunia ini yang patut dikatakan ma’shum kecuali Nabi Muhammad SAW. Setiap orang bebas melakukan ijtihad dalam mengambil keputusan hukum (istinbath al-ahkam), tidak harus menunggu wangsit dari imam ma’shum, tegas al-Ghazali.

Kita bisa belajar dari Mu’adz bin Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman. Mu’adz melakukan ijtihad sendiri ketika menemukan persoalan-persoalan yang hukumnya tidak ditemukan di dalam nash (hadits maupun al-Qur’an). Lebih lanjut, al-Ghazali mengatakan: “keterbatasan nash tidak akan bisa mengikuti realitas yang terus mengalami perubahan (fainna al-nushus al-mutanahiyah la tastau’ibu al-waqai’ al-ghaira al-mutanahiyyah)”.

Akhir pendakian al-Ghazali
Setelah al-Ghazali merasa kecewa dengan ilmu-ilmu di atas, kemudian beliau berpaling pada tasawuf (mistisisme). Untuk mengetahui hakikat tasawuf yang sesungguhnya, al-Ghazali belajar dan membaca kitab-kitab yang dikarang ulama-ulama tasawuf terkemuka pada waktu itu. Beliau membaca “Kut al-Qulub” milik Abi Thalib al-Makki, “Mutafarrikat al-Ma’tsurah” karya al-Junaidi, kitab-kitab karya al-Syibli, Abu Yazid al-Bustami, Harits al-Muhasibi dan masih banyak lagi. (hal. 68)

Lagi-lagi al-Ghazali harus menelan kekecewaan. Ternyata kitab-kitab yang ia baca hanya menyuguhkan wacana tentang tasawuf. Menurut al-Ghazali, inti tasawuf bukan pada teorinya (ilmu/wacana) melainkan pada aplikasinya (amaliyyah). Substansi tasawuf terletak pada pengamalan (al-ahwal) dan rasa (al-dzauq).

Dari sini al-Ghazali terangsang untuk mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf, mengasingkan diri (uzlah) dari satu tempat ke tempat lain, menyepi (khalwah) dan mengunci diri selama sehari penuh di menara masjid Dimsyik, tafakkur (kontempelasi) di puncak Bait al-Muqaddas, melakukan ibadah Haji, dan ziarah ke makam Rasulullah SAW. Sampai akhirnya beliau merasa bahwa dahaga intlektualnya betul-betul hilang berkat mukasyafah dan dzauq. Sungguh, sebuah pergulatan intelektual yang sangat menakjubkan! Wallahu a’lam bi sawab
Karangan-karangan kitab Imam Ghazali di antaranya:

l. Ihya Ulumuddin.
2. Tahafutul Falasifah.
3. Al Iqthisad fil I'tiqad.
4. Al Munqidz Minad Dhalal.
5. Jawahiril Quriin
6. Mizanul 'Amal.
7. Al Maqshadul Asna fi Ma'an asamil Husna.
8. Faisahlut Thariqah bainal Islam waz Zindiqah.
9. Al Qisthasui Mustaqim.
10. Al Mustazhari.
11. Hujatul Haq.
12. Mufshilul Khilaf.
13. Kimiyaus Sa'adah.
14. Kitabul Basith.
15. Al Wasith.
16. Al Wajiz.
17. Khulasatul Mukhtasar.
l8. Yaqutut Ta'wil fi Tafsirit Tanzil (40 jilid).
19. Al Mushtashfa.
20. At Mankhul.
21. Al Muntahal fi llmil Jidat.
22. Mi'yarul Ulum
23. Al Maqashid.
24. Al Madhanun.
25. Misykatul Anwar.
26. Mahkun Nadhar.
27. Tilbisu lblis.
28. Nashihatul Muluk.
29. Ad Durarul Fakhirah
30. Anisul Wahdah.
31. Al Qurbah llallah.
32. Akhlaqul Abraar.
33. Bidayatul Hidayah.
34. Al Arba'in fi Usuluddin.
35. Adz Zari'yah.
36. Al Mabaadi rval Khayaat.
37. Talbisu lblis.
38. Nashihatul Muluk.
39. Syifa'ul 'Alim.
40. Iljamut 'Awam.
41. Al Intishar.
42. Al'Ulumuddiniyah.
43. Ar Risalatul Qudsiyah.
44. Itsbatun Nadhar.
45. Al Ma'khadl.
46. Al Qaulul Jamiil.
47. Al Amaali.


Tiada ulasan:

Catat Ulasan