Cinta adalah ciptaan Tuhan, semua dan tiap butir pasir di dalamnya. Cintailah setiap daun, setiap sinar terang Tuhan. cintailah binatang, cintailah tanaman, cintailah semuanya. Apabila mencintai semua, kau akan melihat misteri ilahi dalam setiap makhluk. Begitu melihatnya, kau akan mula memahaminya lebih baik setiap hari. Dan kau akhirnya akan dapat mencintai seluruh dunia dengan kasih sayang meliputi segala-galanya........
Asy Syu'ara:227 ﴿kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.
KONSEP TASAWUF CINTA DAN PSIKOLOGI CINTA DALAM PUISI SUFI
Definisi Cinta dan Puisi
Pengertian Cinta dari Sudut Pandang
Psikologis dan Tasawuf
Cinta, satu kata yang memiliki ribuan makna. Manusia memiliki ketertarikan
sendiri dalam merasakan, menggambarkan dan memaknai arti kata ini. Banyak
ilmuwan tertarik dan berupaya membahas secara mendalam akan makna yang
terkandung dibalik kata cinta dari berbagai aspek kajian keilmuwan, sosial,
sendiri dalam merasakan, menggambarkan dan memaknai arti kata ini. Banyak
ilmuwan tertarik dan berupaya membahas secara mendalam akan makna yang
terkandung dibalik kata cinta dari berbagai aspek kajian keilmuwan, sosial,
kesehatan, ilmu agama bahkan ilmu alam. Begitu pula dengan para psikologi dan
ilmuwan psikologi. Mereka melakukan berbagai penelitian, membentuk konsep
konsep untuk menjelaskan akan arti cinta dari sudut pandang psikologis.
Akar makna cinta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai
Dasar Cinta
MeNciNtai bUkAn kErNa TeRpAksA, bErAmAL BuKaN kErNa uPaH dAn GaNjArAn.. SeBeNaR-bEnAr CiNtA aGuNg, kEiKhLaSaN tIdAk mEnDoRoNg HaTi uNtUk dEbU-DeBu DuNiA.
Sufi ialah manusia yang paling tentram jiwanya sebab mereka selalu bersama Allah SWT. “mereka
adalah makhluk yang paling berharga desah nafasnya, paling bercahaya jiwanya, paling tidak
membutuhkan kekayaan, dan paling baik kehidupannya. Mereka adalah makhluk yang selalu bersedih
atas sesuatu yang oleh manusia biasa disedihkan. Yang dicari oleh sufiialah ‘sesuatu’ yang
ditinggalkan oleh manusia biasa dan mereka lari terbirit-birit dari sesuatu yang dicari oleh manusia
biasa, yaitu orang-orang yang lalai dan suka menipu. Para sufi merasakan keakraban ketika manusia
merasa risau, sebab keakraban mereka adalah bersama Allah.(Dr. Amin An-Najar, Psikoterapi Sufistik,
PT Mizan Publika, Jakarta, 2004, hlm 5)
Akar makna cinta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai
suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat, ingin sekali, berharap sekali, atau
khawatir. Sementara itu, dalam Kamus Psikologi terjemahan dari The Penguin
Dictinory of Psikology, cinta merupakan perasaan khusus yang menyangkut
kesenangan terhadap atau melekat pada objek; cinta bernuansa emosional jika muncul
dalam pikiran. Dan dapat membangkitkan keseluruhan emosi primer sesuai dengan
emosi dimana objek itu berada.22
Penggunaan istilah cinta dalam masyarakat Indonesia dan Malaysia lebih
dipengaruhi perkataan love dalam bahasa Inggris. Love digunakan dalam semua
amalan dan arti untuk eros, philia, agape dan storge. Namun demikian perkataaan
perkataan yang lebih sesuai masih di temui bahasa serantau dan di jelaskan
seperti berikut:
a) Cinta yang lebih cenderung kepada romantis, asmara dan hawa nafsu, eros
b) Sayang yang lebih cenderung kepada teman-teman dan keluarga, philia
c) Kasih yang lebih cenderung kepada keluarga dan Tuhan, agape
d) Semangat nusa yang lebih cenderung kepada patriotisme, nasionalisme dan
narsisme, storge
Diantara banyaknya jumlah ilmuwan psikologi yang membahas mengenai
cinta, penulis mencoba mengambil beberapa definisi untuk menjelaskan definisi
cinta.
Ashley Montagu, seorang Psikolog Amerika memandang cinta sebagai sebuah
perasaan memperhatikan, menyayangi, dan menyukai yang mendalam. Biasanya, rasa
cinta disertai dengan rasa rindu dan hasrat terhadap objek yang dicintai. Elain dan
William Walsten lebih menekankan suatu keterlibatan individu yang mendalam saat
mendefinisikan cinta. Keterlibatan diasosiasikan dengan timbulnya rangsangan
fisiologis yang kuat dan diiringi dengan perasaan mendambakan pasangan dan
keinginan untuk memuaskannya.23
Menurut Robert Sternberg, cinta adalah sebuah kisah yang ditulis oleh setiap
orang. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat dan perasaan seseorang
terhadap suatu hubungan. Menurutnya, kisah tersebut telah ada pada manusia dan
proses pembentukkannya terbentuk melalui pengalaman, cerita dan sebagainya. Kisah
ini pula yang akan membentuk bagaimana seseorang bersikap dan bertindak dalam
suatu pola hubungan. Scott Peck yang sepanjang karirnya dalam psikologi berusaha
menghasilkan karya dan menjelajahi definisi cinta dan kejahatan menggambarkan
cinta sebagai kombinasi dari “perhatian akan perkembangan spiritual orang lain“
serta narcisisme biasa.24
Berbeda dengan psikolog dan ilmuwan psikologi lainnya, Erich Fromm
menekankan cinta sebenarnya pada cinta yang dewasa. Cinta yang dewasa adalah
penyatuan didalam kondisi tetap memelihara integritas seseorang, individualitas
seseorang. Cinta adalah kekuatan aktif dalam diri manusia, kekuatan yang
meruntuhkan tembok yang memisahkan manusia dari sesamanya, yang menyatukan
dirinya dengan yang lain ; cinta membuat dirinya mengatasi perasaan isolasi dan
keterpisahan, namun tetap memungkinkan dirinya menjadi dirinya sendiri,
mempertahankan integritasnya.25
Cinta adalah perasaan simpati yang melibatkan emosi yang mendalam.
Menurut Erich Fromm, ada empat syarat untuk mewujudkan cinta kasih, yaitu:
Perasaan, Pengenalan, Tanggung jawab, Perhatian, Saling menghormati. Erich
Fromm dalam buku larisnya (the art of loving) menyatakan bahwa ke empat gejala:
Care, Responsibility, Respect, Knowledge (CRRK), muncul semua secara seimbang
dalam pribadi yang mencintai. Omong kosong jika seseorang mengatakan mencintai
anak tetapi tak pernah mengasuh dan tak ada tanggungjawab pada si anak. Sementara
tanggungjawab dan pengasuhan tanpa rasa hormat sesungguhnya & tanpa rasa ingin
mengenal lebih dalam akan menjerumuskan para orang tua, guru, rohaniwan dll pada
sikap otoriter.26
Erich Fromm memandang manusia sebagai makhluk yang sadar akan dirinya,
mempunyai kesadaran tentang dirinya, sesama, masa lalu, kemungkinan masa
depannya dan kesadaran akan eksistensinya sebagai sesuatu yang terpisah. Sadar akan
keterpisahan ini merupakan faktor utama munculnya kegelisahan, kecemasan dan
dapat menjadi pintu gerbang menuju gangguan kejiwaan. Karenanya, dalam buku
The Art Of Loving, Fromm menjelaskan bahwa kebutuhan manusia yang paling
dalam adalah kebutuhan untuk mengatasi keterpisahannya dan meninggalkan penjara
kesendiriannya. Kegagalan untuk mengatasi keterpisahan ini yang akan menyebabkan
gangguan kejiwaan.
Banyak cara dilakukan untuk mengatasi keterpisahan pada tiap individu.
Fromm mengungkapkan idenya mengenai cinta sebagai jawaban dari masalah
eksistensi manusia. Dalam cinta, terdapat jawaban utuh yang terletak pada
pencapaian penyatuan antar pribadi dan peleburan dengan pribadi lain. Hasrat akan
peleburan antar pribadi ini yang paling kuat pengaruhnya dalam diri manusia. Inilah
kerinduan mendasar, kekuatan yang menjaga rasa manusia, keluarga dan masyarakat
untuk selalu bersama.27
Pandangan yang populer memandang dosa jika kita mencintai diri sendiri
karena bersifat egois. Walaupun demikian, jika mencintai orang lain sebagai manusia
adalah kemuliaan, bagaimana mungkin mencintai diri sendiri sebagai manusia adalah
bukan kemuliaan? Fromm menyatakan bahwa mencintai diri sendiri adalah bukan
alternatif. Mereka yang mampu mencintai orang lain juga akan mempunyai
kemampuan mencintai diri sendiri. Pembenaran pada kehidupan seseorang,
kebahagian, pertumbuhan, kebebasan tertanam pada kemampuan seseorang untuk
mencintai. Contohnya kepedulian, penghargaan, dan pengetahuan. Jika seorang
individu mampu mencintai secara produktif, berarti ia mencintai dirinya sendiri juga;
namun ia hanya mampu mencintai orang lain, maka ia tidak bisa mencintai sama
sekali. Bagi Fromm, mencintai diri sendiri dan egoisme adalah hal yang berlawanan,
bukan identik. Leo Bscaglia menunjukkan versi populer dari cinta. Ia menyatakan:
Cinta yang sempurna adalah jika seseorang memberikan segalanya dan tidak
mengharapkan apa-apa. Jika seseorang mengharapkan apa-apa dan tidak meminta
apa, ia akan pernah merasa dicampakka atau dikecewakan.28
Sedangkan dalam dunia tasawuf kata mahabah berarti cinta kepada Allah Swt.
Tasawuf mendefinisikan mahabah sebagai kepatuhan kepada Allah dan menjauhi
larangan-Nya; menyerahkan diri kepada seluruh Yang dikasihi; mengosongkan hari
dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi. Al-Junaid menganggap mahabah
sebagai suatu kecenderungan hati, maksudnya hari seseorang cenderung kepada Allah
Swt. dan kepada segala sesuatu yang datang dari-Nya tanpa usaha.
Menurut Al-Ghazali, cinta kepada Allah merupakan puncak dari segala
maqam mistik. Setelah maqam cinta, tidak ada lagi maqam lain yang menandinginya.
Kalaupun ada, maqam itu hanya menjadi salah satu buah cinta saja seperti kerinduan
(syawq), keintiman spritual (uns), rida dan maqam lain yang sejenis. Sebelum cinta
juga tidak ada maqam lain. Kalaupun ada, pasti akan menjadi salah satu pengantarnya
saja, seperti tobat, sabar, zuhud, dan yang lain.
Perkataan dalam konteks ini dimaksudkan sebagai hubb atau mahabah dalam
bahasa Arab. Al- Qusyairi mengumpulkan beberapa pendapat tentang cinta (hub atau
mahabah) itu sebagai berikut.
1. Cinta ( hub atau mahabah) yang berasal dari kalimat habba-hubbab-hibbun,
yang berarti waddahu, mempunyai makna kasih atau mengasihi;
2. Hubb berakar dari kata habb al-maa, adalah air bah;
3. Cinta dinamakan mahabah sebab ia kepedulian yang paling besar dari cita
hati;
4. Cinta juga sering dianggap berasal dari kata habb (biji-bijian) yang
merupakan jama’ dari habbat, dan habbat al-qalb adalah sesuatu yang
menjadi penopangnya. Dengan demikian, cinta dinamai hubb sebab ia
tersimpan di dalam kalbu;
5. Ada yang menyebut bahwa kata hubb berasal dari kata hibbah, yang berarti
biji-bijian dari padang pasir. Cinta dinamai hub dimaksudkan sebagai lubuk
kehidupan, sebagaimana hubb sebagai benih tumbuh-tumbuhan;
6. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa cinta berasal dari kata hibb, yakni
tempat yang didalamnya ada air, dan manakala ia penuh, maka tidak ada lagi
tempat bagi yang lainnya. Demikian pula dengan hati saat dilupai oleh cinta,
tak ada tempat lagi dihatinya sebagai selain bagi kekasih.
Cinta (mahabah) memiliki kedudukan yang penting sebab perjalanan tasawuf
dimulai dari menegakkan ketauhidan di dalam diri, yakni dengan menjalani
kehidupan asketik (zuhud). Dari zuhud inilah yang mengakibatkan tumbuhnya cinta,
dan cinta inilah kehidupan tasawuf dengan ikhlas.29 Karena cinta adalah inti, esensi
dari sufisme. Tujuannya adalah kesatuan antara sang pecinta dengan Tuhan yang
Dicintai. Cinta dari Tuhan untuk manusia dan cinta balasan dari manusia kepada
Tuhan telah menjadi landasan dari agama. Hal ini secara terus-menerus telah
ditampilkan oleh para nabi, dan secara tegas diekpresikan dalam berbagai kitab suci.30
Memang sangatlah banyak pendapat mengenai cinta, namun pada dasarnya
cinta merupakan sesuatu hal yang bersifat rohani untuk menuju kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Dalam perjalananya orang-orang yang menempuh jalan cinta penuh
dengan berbagai pengalaman batin yang sifatnya rasa ketidakmampuan (muhasabah)
serta kerinduan Pada-Nya. Maka dalam kerinduan atau kegelisahan seorang
penempuh jalan cinta—para sufi—akan menuangkannya dalam bentuk sajak-sajak
puisi. Hal ini sejalan apa yang dialami oleh Rabi’ah al-Adawiyyah sehingga
pengalaman spiritualnya dalam mengagungkan keindahan Tuhan terangkum dalam
kitabnya Nafahat al-Uns. Sumbangan terbesar bagi ilmu tasawuf terletak dalam
keberhasilannya memberi corak mistisisme sejati pada tasawuf (Schimmel 1981, 38).
Dengan gagasan-gagasannya menjadikan tasawuf tidak lagi hanya sebagai gerakan
zuhud yang bersahaja. Berkat keberhasilannya tasawuf menjelma menjadi gerakan
keruhanian yang memiliki prespektif sangat luas. Dengan menekankan pada
pentingnya bahasa cinta dalam kehidupan ahli tasawuf Rabi’ah membuka jalan yang
lebar bagi perkembangan awal puisi sufistik.31 Saking besar dan tulusnya cinta
Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak
ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah. Tak ada ruang lagi di
kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya
telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan
dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap
seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.32
Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi,
prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi tema menarik
di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan
seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih “manusiawi”.
Pada perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah selalu menjadi tema yang
mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi pun banyak yang membahas lebih
mendalam tentang tema ini dalam karya-karya mereka, seperti al-Hujwairi dengan
Kasyf al mahjub, ath- thursi dengan Al-luma, Al-Qusyairi dengan Ar- Risalah Al-
Qusyairiyyah, Al-ghazali dengan ihya Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-futuhat al-
makkiyah dan lain-lain
Menurut Rumi, hanya cinta yang dapat membawa seorang pelaku sufi (saalik)
berhasil dalam perjalanan mereka mencapai Diri Yang Tinggi sebab cinta merupakan
cara unggul mencapai pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu.33 Hal ini berarti
bahwa hanya cinta yang dapat membawa mausia menyakini relaitas terdalam dan
tertinggi dari segala sesuatu.
Maka dari itulah mengapa pentingnya sebuah cinta, semua hal akan menjadi
mudah yang akan memperlurus jalan hidup kepada Tuhan. Dan cinta disini lebih pada
asahan ruhani atau bisa dikatakan cinta ruhani ialah cinta yang mistikal. Tujuan cinta
mistikal ialah mewujudkan kesatuan hakiki diantara pecinta, kekasih dan cinta. Cinta
mistikal mengatasi sifat kemanusian, membimbing jiwa seseorang menghampiri
Tuhan dan menyebabkan terbitnya perasaan bersatu dengan-Nya, serta merupakan
perwujudan dari cinta ilahi. Tujuan lain dari cinta mistikal ialah mengenal hakikat
cinta (makrifat). Hakekat cinta sama dengan Wujud Tuhan itu sendiri. Menurut Ibn
‘Arabi dasar dan sebab dari cinta ialah keindahan. kerena keindahan pula yang dapat
membawa kita dekat kepada Yang Maha Indah. Yang Maha Indah disebut pula
sebagai Yang Maha Sempurna (kamal). Sebagaimana manusia mencintai disebabkan
keindahan-Nya, adalah manifestasi dari keindahan yang dicintai-Nya. Keindahan
Tuhan adalah sumber dari semua keindahan, baik keindahan ruhani maupun
intelektual. Walaupun demikian keindahan Tuhan bebas dari segala rupa dan bentuk.
Oleh karena itu yang dimaksud Ibn ‘Arabi dengan Wujud bukanlah wujud yang
mengambil rupa dan bentuk nyata, melainkan penampakan tuhan malalui
sifat-sifatNya yang kewujudannya hanya dapat diselami dengan penglihatan batin, yaitu cinta
(‘isyq).34
Cinta haruslah murni tanpa emebel-embel yang sudah di ungkapkan oleh
Fromm di depan. Sangat banyak godaan di dunia yang dapat menjauhkan seorang
dari Yang Dicintai. Godaan-godaan ini harus diatasi, karena tidak ada hati yang
memiliki dua cinta, hanya ada satu cinta,. Pencinta sejati tidak akan beralih karena
perbedaan fisik; mereka dinilai dari berdasarkan kesabaran mereka. Segalanya ingin
menunggu seseorang yang ingin menunggu Tuhan. Menunggu merupakan hal yangg
indah bagi pecinta.35
Pengertian Puisi
Puisi merupakan bentuk sastra yang paling padat dan terkonsentrasi.
Kepadatan komposisi tersebut ditandai dengan pemakaian sedikit kata, namun
mengungkapkan lebih banyak hal. Sebab itu puisi dapat sebagai berikut:
“Puisi dapat didefenisikan sebagai sejenis bahasa yang mengatakan lebih banyak
dan lebih intensif daripada apa yang dikatakan oleh bahasa harian.36”
Puisi adalah pengekspresian pemikiran yang membangkitkan perasaan yang
merangsang imajinasi pancaindra dalam susunan yang berirama. Perngertian puisi di
atas mencakup arti cukup luas karena menafsirkan puisi sebagai hasil penjaringan
penglaman yang dapat atau dialami oleh seseorang. Dan menyusunnya secara
sistematis sebagai makna satu dan yang lainnya.
Dari pengertian di atas juga diartikan bahwa puisi merupakan karya seni yang
erat hubungannya dengan bahasa dan jiwa. Tersusun dengan kata-kata yang baik
sebagai hasil curahan lewat media tulis yang bersifat imajinatif oleh pengarangnya
untuk menyoroti aspek kehidupan yang dialaminya.
Atas dasar itulah penulis mengemukakan bahwa puisi pada hakikatnya adalah
curahan perasaan si penciptanya sehingga keberadaan suatu puisi tidak terlepas dari
keberadaan pikiran, perasaan, dan lingkungan si penciptannya.
Jika seseorang menyelami sebuah puisi, berarti ia berusaha mencari siapa dan
bagaimana keberadaan penciptanya atau penyairnya. Oleh sebab itu,
mendeklamasikan puisi tidak lain dari mengepresikan makna sesuai dengan cita rasa
penyairnya.
Ditinjau dari pendekatan intuisi, puisi merupakan hasil karya yang
mengandung pancaran kebenaran dan dapat diterima secara universal. Karenanya,
karya puisi sangat dekat dengan lingkungannya, mudah diketahui bahkan sudah
diketahui dan bukan sebaliknya menimbulkan keanehan atau bahkan kekaburan.
Penjelmaan kembali suatu peristiwa yang tercurah lewat karya tulis puisi
merupakan proses imajinasi yang matang yang berhasil lahir dengan energik dan
alami.Untuk memberikan batasan pada puisi sangatlah sukar dilakukan secara pasti.
Puisi mempunyai rangkaian unsur-unsur yang apabila salah satunya hilang atau
terlepas, maka akan mengurangi makna universal yang terkandung dalam sebuah
puisi.37
Jadi secara psikologi sebuah karya sastra merupakan sebuah penuangan yang
disengaja atas sesuatu peristiwa masa lalu ataupun sebuah harapan. Dorongan kuat
yang di akibatkan oleh sesuatu motivasi penulisan baik yang memperindah peristiwa
dan harapan tersebut atau bahkan hanya sekedar mengenang peristiwa masa lalu
dengan bentuk tertulis. Tentunya memiliki sebuah alasan yang real semisal sebagai
media untuk mengoreksi diri serta membentuk konsep diri yang lebih baik.38
Namun dalam kacamata tasawuf Puisi merupakan ungkapan-ungkapan puitis
dijadikan media ekpresi dari perjalan spiritualitas, bahkan menjadi bagian dari ritus
peribadatan. Kerena memiliki beberapa keuntungan sebagaimana mistisisme, puisi
memang terutama bertalian dengan pengalaman batin manusi yang terdalam.seperti
halnya puisi, pengalaman mistik itu sangat personal, unik sekaligus universal.
Bahkan, dapat dinyatakan bahwa pengalaman mistik itu selalu megandung kualitas
puitis atau estetik yang dalam juga memiliki kualitas mistik.39 Oleh sebab itu, melalui
puisi yang berasil, kepersonal, keunikan, dan keuniversalan dapat terpelihara dengan
baik.40
Sehingga sisi psikologi masa lalu tidak bisa akan terlepas, seperti halnya
kematangan umur maupun lingkungan. Semisal para sufi mendapatkan pengalaman
sprituaklnya sekitar umur 30 keatas. Karena unsur keyakinan terhadap ajaran agama
dan unsur perlaksaan ajaran agama sudah terealisasi dengan berbagai godaan-
godaan Semisal pola fikir kesadaran diri, penalaran, dan imajinasi. telah merusak
merobek keharmonisan manusia sebagai layaknya karena manusia bisa menjadi
menyimpang dan menjadi aneh. Ia merupakan bagian dari alam, yang tunduk pada
hukum alam yang fisikal dan mekanistik yang tidak bisa diubah. Akan tetapi, ia
menhatasi rest of nature. Ia merupakan perangkat bagian dari being, keberadaan
ruang dan waktu yang lebih besar dalam satu sistem jagad raya. Dengan penalaran
yang semakin membutakan manusia karena sebuah eksistensi yang belum juga
terpecahkan.42 Sehingga pada titik tertentu manusia akan menggunakan daya fikirnya
yang mengalami keterbatasan. Hal semcam inilah yang membuat manusia kembali
pencarian terhadap diluar kempua dirinya—Tuhan.
Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang
kemudian menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu
al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi
kontemporer masih banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi
(38 Anggadewi Moesono, Psikoanalisa dan sastra, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya,
Jakarta, 2003
39 ….Pengalaman relegius demikian—pinjam pengertian Ludwig Wittgentein—dalam kenyataannya
tak pernah bisa ditunjuk secara langsung sebab bukan pengalaman indrawi. Sementara itu, bahasa
mempunyai keterbatasan hanya dapat mengungkapkan apa yang menjadi realitas indrawi. Karenanya,
ada realitas yang dapat disentuh dengan bahasa, dan ada yang tidak (the unutterable). Meskipun begitu,
ada yang disebut bahasa relegius, yang punya logika tersendiri, seperti pernah di unggkapakan Peter L.
Berger. Bahasa relegius bersifat analogi, sebagain sama dan sebagain berbeda dengan bahasa dan
situasi manusia sehari-hari.
Disamping itu, pengalaman relegius menurut Ludwig Wittgenstein bersifat konatif, yakni
pengalaman yang dialami secara langsung antara subjek dan objek, berlangsung dalamtaraf tak sadar,
dan karenanya berlangsung tanpa bahasa. Tetapi, saat subjek membahasakan pengalaman relegiusnya,
maka aspek konatif itu masuk ke aspek reflektif, yakni pengalaman relegius yang telah terabtraksikan
ke pola indrawi. Perpindahan ini dalam bahsa relegius berlangsung dengan jalan analogi.
40 Abdul Wachid B.S, Tafsir Terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri Gandrung Cinta,..hal. 61
41 M. Nur Ghufron & Rini Risnawati S, Teori-TeoriPsikologi, Ar-Ruzz media, Yogyakarta, 2010, hal.
167 )
. Tingkatan Cinta
Terdapat dua jenis cinta menurut Formm, cinta penyatuan simbiosis dan cinta
yang dewasa. Penjelasannya yaitu :
1. Penyatuan Simbiosis, yaitu memiliki pola hubungan antara pasif dan aktif
dimana keduanya tidak dapat hidup tanpa yang lain. Bentuk pasif dari
penyatuan simbiosis disebut sebagai ketertundukan (submission), dalam istilah
klinis disebut sebagai Masokhisme. Pribadi yang Masokhisme keluar dari
perasaan isolasi dan keterpisahan yang tak tertahankan dengan menjadikan
dirinya bagian dan bingkisan pribadi lain yang mengatur, menuntun dan
melindungi dirinya. Bentuk aktif dari penyatuan simbiosis disebut sebagai
dominasi (domination), dalam klinis disebut sebagai sadisme. Pribadi yang
sadistis ingin keluar dari kesendiriannya dengan membuat pribadi lain menjadi
bagian dan bingkisan dirinya.
2. Cinta yang dewasa, adalah penyatuan didalam kondisi tetap memelihara
integritas seseorang, individualitas seseorang. Cinta adalah kekuatan aktif dalam
diri manusia, kekuatan yang meruntuhkan tembok yang memisahkan manusia
dari sesamanya, yang menyatukan dirinya dengan yang lain.
Dalam mengatasi keterpisahan pada manusia, hanya cinta yang dewasa yang
dapat dijadikan jawaban terbaik. Karakter aktif dari cinta yang dewasa ditunjukkan
dengan hasrat untuk memberi daripada menerima. Arti kata memberi disini yaitu
perwujudan paling nyata dari potensi diri. Dalam setiap tindakan memberi, individu
akan merasakan kekuatan, kekayaan, dan kekuasaan atas dirinya sehingga memberi
akan lebih membahagiakan daripada menerima. Sehingga manusia tidak akan
memberi untuk menerima. Tetapi dalam batasan memberi yang sesungguhnya.
Memberi yang sesungguhnya akan membuat orang lain menjadi pemberi.
Dalam kaitannya dengan cinta, penjelasan makna memberi ini berarti : cinta
adalah kekuatan yang melahirkan cinta. Pemikiran ini diungkapkan oleh Marx “
anggaplah manusia sebagai manusia, dan hubungannya dengan dunia sebagai
hubungan manusia, dan anda dapat bertukar cinta hanya dengan cinta, kepercayaan
dengan kepercayaan, dan seterusnya.
Selain tindakan memberi, karakter aktif dari cinta terlihat jelas dalam kenyataan
bahwa cinta selalu mengimplikasikan unsur-unsur dasar tertentu. Unsur-unsur dasar
dari cinta yaitu Perhatian (Care), Tanggungjawab (Responsibility), Rasa Hormat
(Respect) dan Pengetahuan (Knowledge). Fromm menjabarkannya sebagai berikut :
3. Perhatian (Care)
Cinta adalah perhatian aktif pada kehidupan dan pertumbuhan dari apa yang
kita cintai. Implikasi dari cinta yang berupa perhatian terlihat jelas dari perhatian
tulus seorang ibu kepada anaknya.
4. Tanggungjawab (Responsibility)
Tanggungjawab dalam arti sesungguhnya adalah suatu tindakan yang
sepenuhnya bersifat sukarela. Bertanggungjawab berarti mampu dan siap
menganggapi.
5. Rasa Hormat (Respect)
Rasa hormat bukan merupakan perasaan takut dan terpesona. Bila menelusuri
dari akar kata (Respicere = melihat), rasa hormat merupakan kemampuan untuk
melihat seseorang sebagaimana adanya, menyadari individualitasnya yang unik. Rasa
hormat berarti kepedulian bahwa seseorang perlu tumbuh dan berkembang
sebagaimana adanya. Dalam lagu prancis kuno dikatakan “l’amour est l’enfant de la
liberte“ atau cinta adalah anak kebebasan, sama sekali bukan dominasi.
6. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan yang menjadi satu aspek dari cinta adalah pengetahuan yang tidak
bersifat eksternal, tetapi menembus hingga ke intinya.
Perhatian, tanggungjawab, rasa hormat dan pengetahuan mempunyai
keterkaitan satu sama lain. Semuanya merupakan sindrom sikap yang terdapat dalam
pribadi yang dewasa, yaitu dalam pribadi yang mengembangkan potensi dirinya
secara produktif
Berbeda dengan Fromm yang menekankan mengenai sebab, akibat dan aspek-
aspek yang menimbulkan cinta dalam penjelasan teori cintanya, Sternberg lebih
menekankan pada penjelasan mengenai komponen pembentuk cinta dan beragam
jenis cinta yang dihasilkan dari kombinasi tiap komponen.
Teori mengenai komponen cinta disebut pula sebagai teori segitiga cinta.
Segitiga cinta mengandung 3 komponen sebagai berikut:
a). Keintiman (Intimacy)
Keintiman adalah elemen emosi, yang didalamnya terdapat kehangatan,
kepercayaan (trust) dan keinginan untuk membina hubungan.
b). Gairah (Passion)
Gairah adalah elemen motivasional yang disadari oleh dorongan dari dalam
diri yang bersifat seksual.
c). Komitmen
Komitmen adalah elemen kognitif, berupa keputusan untuk secara sinambung
dan tetap menjalankan suatu kehidupan bersama. (Tambunan, 2001).
Kombinasi dari ketiga komponen cinta ini dapat membentuk 8 pola hubungan
cinta sebagai berikut :
a). Liking (Suka)
Seseorang yang hanya mengalami komponen keintiman saja, tanpa adanya gairah dan
komitmen
b). Infatuated (tergila-gila)
Cinta ini muncul karena adanya hasrat / gairah tanpa disertai keintiman dan
komitmen.
c).Empty Love.
Cinta ini berasal dari adanya komitmen pada individu tanpa adanya hasrat dan
keintiman.
d).Romantic Love
Cinta ini muncul dari kombinasi antara keintiman dan hasrat tapi tanpa disertai oleh
komitmen.
e).Companionate Love
Cinta ini muncul dari kombinasi antara keintiman dan komitmen. Biasanya cinta ini
muncul dalam persahabatan yang mana tidak melibatkan hasrat.
f)Fatuous Love
Cinta ini muncul dari kombinasi hasrat dan komitmen tanpa adanya keintiman.
g).Non Love
Ketiga komponen cinta tidak ada pada pola cinta ini. Pola ini biasanya muncul dalam
hubungan dengan sekitar yang tidak menetap.
h).Consummate Love
Cinta ini muncul dari kombinasi ketiga komponen cinta (keintiman, hasrat dan
komitmen). Cinta ini disebut juga sebagai cinta yang utuh. (Popsy, 2007)
Penjelasan mengenai definisi dan teori-teori cinta diatas dapat memberi
sumbangan penting dalam memahami cinta sebagai suatu kekuatan positif dalam diri
setiap individu. Secara klinis, cinta dapat berperan baik dalam preverensi maupun
intervensi suatu penyakit mental. Sesuai penjelasan Erich Fromm, cinta yang dewasa
dapat menjadi jawaban atas eksistensi menusia yang berupa keterpisahan. Dengan
cinta, keterpisahan dan kesendirian akan teratasi sehingga menjadi suatu pencegahan
(preverensi) dari munculnya suatu kegelisahan bahkan gangguan kejiwaan.
Sesuai dengan penjelasan Abraham Maslow mengenai teori motivasi, cinta
merupakan salah satu tingkatan dari hierarki kebutuhan pada manusia. Kebutuhan
cinta merupakan fase sementara dalam pertumbuhan manusia dan merupakan
penggerak ke fase-fase selanjutnya. Berbagai penelitian dilakukan dalam usaha
mencari keterkaitan antara perasaan cinta dengan kesehatan pada fisik dan psikis
seseorang. Jurnal Neuroendrocrinology Letters Vol. 26 tahun 2005 (WordPress,
2008) menerbitkan tulisan ilmiah yang tegas menyatakan bahwa cinta baik untuk
kesehatan fisik dan mental. Keterlekatan sosial yang ditimbulkan oleh perasaan cinta
dapat mengobati dan mencegah penyakit depresi bahkan autisme. Lebih jauh, dalam
jurnal itu disebutkan bahwa Cinta membantu individu dalam menghadapi kesulitan
hidup dan membantu sistem kekebalan tubuh untuk memperbaiki dan menjaga
kesehatan tubuh.
Penelitian di Yale University terhadap 119 pria dan 40 wanita yang menjalani
pemeriksaan pembuluh darah koroner juga membuktikan akan adanya pengaruh
positif cinta terhadap kesehatan individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kelompok yang merasa paling dicintai dan didukung oleh pasangannya memiliki
lebih sedikit penyumbatan di arteri jantung daripada kelompok lainnya.
Namun menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan
tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi
tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu
(syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu,
tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan
atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-
lain. Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta
merupakan maqam ilahi.
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan
termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu
keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut.
Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian,
Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun
disifati sebagai yang mencintai Tuhan.
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan
terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cinta seperti ini
muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini
adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang
mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini
timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan,
kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya
tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya
kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari
penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an cinta Tuhan tanpa sebab
(illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari
hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang
bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut
Abu Ya’qub as-Susi, cirinya ialah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai.
Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya
sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.
Dasar Cinta
Dalam kebudayaan modern berkembang pemahaman bahwa bersikap egois
(mementingka diri sendiri) adalah sebuah sikap yang harus dihindari. Berfikir egois
adalah sebuah dosa. Sebaliknya, mencintai orang lain adalah tindakan mulia. Tentu
saja, pengertian ini menjadi kontradiktif dalam praktik kehidupan masyarakat
modern, yang lebih didominasi pemahaman perlunya mementingkan diri sendiri; dan
kendali imperatif ini juga berarti melakukan yang terbaik untuk kebaikan umum.
Eksistensi dari tipe yang terakhir tidak dipengaruhi eksistensi tipe pertama, yang
secar terus menerus menyakinkan kita bahwa egoism adalah dosa besar dan mencintai
orang lain adalah kebajikan. Mementingkan diri sendiri, yang sering digunakan dalam
terminologi ini, diartikan sama dengan mencintai diri sendiri.
Karena ajaran cinta memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran
maupun Sunah Nabi SAW. Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta
khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur
kebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan
orientalis. Semisal tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 165 ;
artinya “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan
tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika
seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat
siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa
Allah amat berat siksaan-Nya ( Dan dalam hadist
disebutkan sebagai berikut;
Artinya “tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan
merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai
daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena
Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke
neraka.”
Sedangkan secara filosofis cinta Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis
ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang
pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang
mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya. Yang pertama cinta tidak
akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak). Manusia
hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah,
benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu
keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui
dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan
kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya,
sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia
akan dibenci oleh manusia. Kedua cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan
dan pengetahuan. Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan
seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk
dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh
dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai
tersebut. Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui
pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang.
Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui
pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh
lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam
konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud. Ketiga manusia tentu mencintai
dirinya. Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan
eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa
menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa
dijadikan sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yang dihasilkan
oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik
belaka yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama
pun diharapkan bisa menjadi berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas
pluralistik yang ada di tengah di masyarakat.
Meski demikian, ajaran cinta dalam Alquran sendiri, juga menghendaki
keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara emosional dan rasional. Dari
term-term cinta yang ditampilkan Alquran justru bersifat dinamis dan menghendaki
aktualisasi riil dalam realitas sosial. Cinta dalam Alquran hampir selalu ditempatkan
dalam konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan sosial.
Hakikat dan Faktor Penyebab Cinta
Membahas cinta itu tidak terlepas dari hakikat, syarat, dan faktor penyebab
cinta. Maka, berikut penjelasan mengenai hakikat cinta:Prinsip pertama cinta
mengenal terlebih dulu objek yang menjadi sasaran cinta itu, sebelum
mendeskripsikan cinta. Sebab, kenyataannya manusia hanya mencintai apa yang ia
kenal. Cinta itu sendiri juga tidak pernah dialami benda-benda mati. Cinta hanya dialami benda-benda hidup yang sudah terlebih dulu mengenal objek yang
dicintainya.
Ada tiga jenis objek yang dikenal manusia. Pertama, objek yang sesuai dan
seirama dengan naluri kemanusiaannya, yang bisa menimbulkan perasaan puas dan
nikmat. Kedua, objek yang bertentangan dan berlawanan dengan naluri
kemanusiaannya, yang menimbulkan perasaan pedih dan sakit. Ketiga, objek yang
tidak menimbulkan pengaruh apa-apa terhadap naluri kemanusiaannya. Tidak
menikmatkan juga tidak menyakitkan.
Jika objek itu menimbulkan kesan kenikmatan dan kepuasan, pasti akan
dicintai. Jika objek itu menimbulkan kesan yang menyakitkan, pasti akan dibenci.
Dan, jika objek itu tidak menimbulkan kesan apa-apa, pasti tidak akan dicintai atau
dibenci.
Jika demikian, manusia baru akan mencintai sesuatu yang nikmat kalau ia
sudah merasakan nikmatnya sesuatu itu. Yang dimaksud cinta di sini adalah rasa
yang secara naluriah cenderung atau suka terhadap sesuatu tertentu. Sementara itu,
yang dimaksud benci adalah rasa yang secara naluriah membuat berpaling dari
sesuatu tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan, cinta adalah suatu ungkapan
akan kecenderungan hati terhadap segala sesuatu yang menimbulkan kenikmatan dan
kepuasan. Jika kecenderungan itu menguat dan bertambah besar, maka itu yang
dinamakan dengan ‘isyq (cinta yang memabukkan). Bila demikian dengan cinta,
maka benci adalah suatu ungkapan akan keberpalingan hati dari sesuatu yang
menyakitkan dan membosankan. Jika kecenderungan negatif ini menguat, makan itu
yang dinamakan dengan maqt (kebencian yang memuncak).
Prinsip kedua cinta adalah mengenal ragam cinta. Karena cinta muncul setelah
terlebih dulu mengenal dan mengetahui, itu berarti cinta memiliki banyak ragam,
sesuai dengan objek yang dikenal dan diketahuinya serta indra yang ada. Setiap indra
mengenal hanya satu jenis objek. Masing-masing hanya merasa nikmat terhadap
objek tertentu saja Nikmat yang dirasakan indra penglihat adalah memandang dan mengetahui
objek yang indah serta gambar atau lukisan yang bagus, elok, dan mengesakan.
Nikmat yang dirasakan indra pendengar adalah mendengarkan simfoni yang indah
dan menggetarkan. Nikmat yang dirasakan indra pencium adalah mencium aroma
yang harum. Nikmat yang dirasakan indra perasa dalah mencicipi makanan yang
enak-enak. Nikmat yang dirasakan indra peraba adalah sentuhan-sentuhan halus dan
lembut.
Karena masing-masing objek yang dikenal pancaindra itu menimbulkan
kenikmatan tersendiri, ia pun dicintai oleh indra itu. Artinya, naluri sehat kita
menyukainya. Oleh karena itu, Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga hal yang aku
cintai dari dunia ini: parfum, wanita, dan kenikmatan dalam salat.” Dalam hadis ini
parfum disebut sebagai sesuatu yang beliau cintai. Padahal seperti diketahui, parfum
hanya dirasakan oleh indra pencium, bukan indra penglihat atau pendengar. Wanita
juga disebut sebagai sesuatu yang beliau cintai. Padahal kita ketahui, yang merasakan
nikmatnya wanita hanyalah indra penglihat dan peraba, bukan indra pencium, perasa,
dan pendengar. Demikian pula salat disebut sebagai sesuatu yang paling beliau cintai.
Padahal kita ketahui, yang merasakan nikmatnya salat itu bukan indra yang lima,
tetapi indra keenam yang disebut dengan hati. Oleh karenanya, hanya orang yang
mempunyai hati yang bisa merasakan betapa nikmatnya salat.
Indra yang lima dimiliki baik oleh manusia maupun binatang. Apabila cinta
hanya sebatas apa yang dikenali pancaindra, maka timbul pertanyaan. “Mungkinkah
Allah Swt. dicintai, sementara Dia tidak dapat dikenali lewat pancaindra dan tidak
dapat digambarkan dalam khayal?” Lebih lanjut, jika hanya mengandalkan
pancaindra, maka pertanyaanya, “Apa ciri khas manusia sebagai makhluk?” Manusia
itu istimewa karena dilengkapi dengan fasilitas istimewa berupa indra keenam berupa
akal, nur, hati, atau apa pun istilahnya.
Dengan demikian, pandangan mata batin jauh lebih kuat dibandingkan
pandangan mata lahir. Hati memiliki kemampuan mengetahui yang jauh lebih besar
dibandingkan mata. Keindahan rohani yang diperoleh dengan kekuatan akal jauh lebih mengesankan dibandingkan keindahan gambar atau lukisan yang ditangkap
indra penglihat. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa kenikmatan yang dirasakan
hati—setelah ia mengetahui berbagai nilai keagungan dan ketuhanan yang tidak
mampu dicapai oleh pancaindra—jauh lebih sempurna dan lebih memuncak. Tak
heran bila kecenderungan naluri dan akal sehat kepada yang demikian itu pasti lebih
kuat. Dan, cinta tidak dapat diartikan lain kecuali sebagai kecenderungan atau
kesenangan terhadap sesuatu yang diketahui bisa memberikan kenikmatan.
Prinsip ketiga adalah mengenali untuk siapa cinta itu diberikan. Seperti diketahui,
manusia jelas mencintai dirinya sendiri. Jika ia mencintai orang lain, itu pun demi
dirinya sendiri. Bisakah tergambar dalam pikiran kita, manusia mencintai orang lain
demi orang lain, bukan demi dirinya sendiri? Saya yakin masalah ini akan sulit
dipahami oleh orang yang kualitas pemikirannya masih dangkal. Bahkan, bagi orang
yang demikian, sungguh tidak masuk akal membayangkan seseorang mencintai orang
lain demi orang lain itu. Tidak ada timbal balik apa pun terhadap orang yang
mencinta itu kecuali semata-mata karena dia mengenal orang lain yang dicintainya
itu. Tidak ada yang berhak untuk dicintai kecuali Dia. Dia itu Allah Swt.
Cinta, Puisi Dan Pengalaman Mistik
Kegiatan perpusian yang masih berbentuk syair yang bersifat transendental
serta puji-pujian sudah sejak lama dalam kancah Islam pada saat zaman rasullah
SAW sendiri, meskipun bukan penyair, tidak pernah diajari bersyair, dan memang
menurut Allah tidak layak bersyair (QS. 36:39), namun dalam kehidupannya sangat
akrab dengan syair-bersyair; karena pada masa itu syair memang tidak dipisahkan
dari kehidupan orang Arab. Para penentang Nabi SAW menggunakan Syair untuk
menyerangnya dan menyerang kaum mukminin. Dan penyair mukminin, seperti
Hisaan ibn Tsaabit, Ka’b ibn malik, dan Abdullah ibn Rawahah, diizinkan Rasullah
SAW untuk melawannya dengan bersyair pula. Rasullah SAW mendengarkan orang bersyair dan memuji syair yang baik; bahkan pernah rasul secara spontan
menghadiahkan burdah, sejenis pakain hangat yang dipakainya kepada Ka’b ibn
Zuhair, begitu penyair keenaman ini selesai membaca syair-syair Banat Su’ad-nya
yang terkenal itu.
Sebuah karya sastra yang tergolong sufistik (selanjutnya disebut sastra sufi)
tidak lain adalah karya sastra yang mempersoalkan prinsip keesaan Tuhan (prinsip
Tauhid), prinsip ke-Ada-an Tuhan, prinsip fana-baka, prinsip penetrasi Tuhan dan
kehendak bebas manusia, serta derivasi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
tersebut. Artinya, sastra sufi merupakan sastra transendental karena pengalaman
mistik yang diungkapkan memang merupakan pengalaman yang berkaitan dengan
kenyataan transendental. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa sastra sufi mengabaikan
dimensi sosial kehidupan. Sebagai sastra transendental ia mengutamakan makna
bukan bentuk, mementingkan yang spiritual bukan yang empiris, yang di dalam
bukan yang di permukaan . Pengutamaan makna di atas bentuk, yang spiritual di
atas yang empiris dalam karya-karya transendental ini searah dengan tujuan tasawuf
itu sendiri. Dengan mengetahui makna tasawuf, walaupun secara ringkas dan terbatas,
maka sesungguhnya kita telah mengetahui sastra sufi sebab kandungan sastra sufi
tiada lain ialah tasawuf.
Dalam sastra relegius, disamping sastra sufistik, ada juga istilah sastra
profertik dan sastra sufi namun memiliki beda pengertian dengan sastra sufistik.
Sastra profetik adalah sastra yang merujuk pada pemahaman dan penafsiran kitab suci
atas realitas dan memiliki epitemologi strukturalisme transendental. Ini berarti,
seluruh karya sastra yang bersumber dari kitab suci entah Al-Quran, Injil, taurat dan
kitab-kitab suci yang lain dapat dikatakan sastra profetik. Satra sufi merujuk pada
karya sastra yang diciptkan oleh orang sufi, sedangkan sastra sufistik merujuk pada
teks sastra yang megandung ajaran kesufian. Sastra sufistik maupun sastra sufi
kadang juga bersumber pada Al-Quran. Dengan kata lain, sastra sufistik dan sastra
sufi pada saat tertentu merupakan sastra profetik. Dari beberapa penjabaran diatas
kata kunci puisi yang bersifat sufistik ialah jalan kerohanian yang berasaskan tauhid.
Keberangkatan puisi sufistik memang terlahir dari kondisi seorang salik
dalam menempuh jalan spiritual. Sebab pengalaman spiritual—mistik—akan
menumbuhkan jiwa muhasabah untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Secara
psikologi seseorang yang dihadapakan sebuah pengalaman spiritual selalu berusaha
patuh terhadap ajaran-ajaran agamanya, selalu mempelajari pengetahuan agama,
menjalankan ritual agama, doktrin-doktrin agamanya, selanjutnya merasakan
pengalaman-pengalaman spiritualnya. Sehingga hal tersebut mampu
melaksanakannya dalam tataran perilaku mauapun sikap.
Dalam penuangan pengalaman spiritual—berbentuk puisi—seorang sufi
tidaklah bermain pada kata-kata namun lebih pada sebuah makna. Tidak terjebak
pada pola kata serta keindahan kata, karena pengalaman spiritual dalam jalan cinta
merupakan sebuah keindahan tersendiri. Penggunaan bahasa sederhana serta kata
yang memiliki kekuatan makna personal dan emosional yang dikandungnya atau bisa
disebut makna konotatif.
Kata bermakna yang dimiliki oleh seseorang—saalik atau yang lain—
didasarkan pada pengalaman masa lalu. Ketika seseorang berfikir tentang warna biru,
maka akan berfikir tentang benda-benda yang dilihat dan dikatakan sebagai biru.
Sesungguhnya, tidak melihat sebuah benda apapun, biru atau tidak, karena segala
yang dilihat merupakan refleksi dari pantulan cahaya. Tidak ada dua orang yang
mendekati makna yang sama untuk sebuah kata, karena tidak ada dua orang yang
memiliki pengalaman yang sama. Semisal, apakah anda pernah mencintai? Makna
cinta didasarkan pada pengalaman anda akan cinta. Seseorang bisa membaca setiap
buku yang menulis tentang cinta, tetapi tetap tidak ada yang akan tahu apa cinta itu sampai ia benar-benar mengalaminya. Masalah sesunggunya tidak bisa diekpresikan
dalam kata-kata secara tepat. Kata-kata tidak bisa mengandung segala hal yang
abstrak secara akurat, segala sesuatu yang benar maknanya.
Dalam perkembangannya perpuisian sufistik lebih menuju pada
“cinta” yang dipromotori pertama kali sejak zaman Rabi’ah al-Adawiyyah pada abad
ke-8 sampai Muhammad Abduh pada abad ke-20. Cinta merupakan gabungan dari
berbagai unsur perasaan dan keadaan jiwa seperti uns (kehampiran), syawq
(kerinduan), mahabbah (kecenderungan hati) dan lain-lain. Walaupun sebagian sufi
menganggap cinta lebih tinggi dari ma’rifat, sebagian yang lain memandang bahwa
peringkat cinta berada di bawah ma’rifat, dan yang lain menganggap bahwa peringkat
cinta dan ma’rifat sama. Menurut Imam al-Ghozali, cinta tidak mungkin ada tanpa
ma’rifat, sebab orang hanya dapat mencintai apabila seseorang itu mengenal atau
mengetahui sesutau yang dicintainya. Sedangkan Ibn sina memandang bahwa wujud
tertinggi dari cinta ialah persatuan mistik dengan merujuk kepada hadis, yang
maksudnya “Dia mencintai-KU dan Aku mencintainya” (“asyiqu wa ashiqtuhu).
Walaupun al-Quran tidak memakai kata isyq tetapi mahabbah, namun Rumi
berpendapat bahwa dua istilah itu tidak berlawanan. Menurut Rumi “isyq ialah
mahabbah yang tidak terbilang banyaknya.” Pendapat Rumi akan dapat dipahami
apabila dirujuk kapada pendapatnya bahwa isyq merupakan cara yang unggul dalam
mencapai pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu, sebab cinta membawa
seseorang jauh ke balik keraguan dan kenyataan. Ini berarti bahwa hanya cinta yang
dapat membawa kita menyakini realitas terdalam dan tertinggi segala sesuatu.
Disinilah pentingnya meneliti puisi sufistik sebab puisi menjadi media ekpresi
terpenting bagi sufi dalam menyampaikan pengalaman cinta ilahiyahnya. Pengalaman
penyatuan dengan ilahiyah menjadi tujuan utama dari ritual hidup para sufi, dan puisi
menjadi bagian ritus itu. Kenikmatan pertemuan antara sufi dan Allah itu tidak dapat dilukiskan
dengan kata-kata biasa, karenanya para sufi menggunakan ungkapan-ungkapan tamsil
dan metafora agar mabuk kepada Allah itu bisa diungkapkan. Karena pengalaman
cinta yang paling maksimal yang pernah dialami manusia adalah penyatuan antara
laki-laki dan perempuan dalam bercinta, maka pencitraan cinta erotik itu dijadikan
perbandingan untuk m,enggambarkan nikmatnya bercinta dengan Allah.63 Hal ini
semcam ini dibantah oleh Freud bahwasanya manusia mengindoktrinasi untuk
mempercayai ilusi serta rasa ketergantungan pada sesuatu yang abtrak dan tidak
rasional. Namun alasan psikologis yang Freudian ungkapkan terhadap
kecenderungan manusia itu, tentu saja dalam pemikiran sufisme tidaklah cukup
berhenti disitu. Akan tetapi, pencitraan cinta erotik sepasang kekasih itu lebih
didasarkan pada alasan memuliakan wanita sebagai ciptaan Allah, yang lebih
merepresentasikan kesempurnaan sebagai tanda keindahan Allah dibandingkan
ciptaan-Nya yang lain. Dengan demikian, sesunggugnya puisi sufi sebagaimana
tasawuf itu sendiri, yang menggambarkan hubungan keindahan Yang MahaSatu
dengan keindahan objek yang bermacam-macam di alam syahadah. Dengan
demikina pula, puisi sufi merupakan bentuk dari penyaksian (syahadah) dan
perenungan (musyahadah) akan keesaan Tuhan, tujuannya ialah menimbulkan
pencerahan kesadaran terhadap pengetahuan (makrifat) tentang diri dan Tuhan
sehingga sampai kepda Cinta Illahiah.
MeNciNtai bUkAn kErNa TeRpAksA, bErAmAL BuKaN kErNa uPaH dAn GaNjArAn.. SeBeNaR-bEnAr CiNtA aGuNg, kEiKhLaSaN tIdAk mEnDoRoNg HaTi uNtUk dEbU-DeBu DuNiA.
Sufi ialah manusia yang paling tentram jiwanya sebab mereka selalu bersama Allah SWT. “mereka
adalah makhluk yang paling berharga desah nafasnya, paling bercahaya jiwanya, paling tidak
membutuhkan kekayaan, dan paling baik kehidupannya. Mereka adalah makhluk yang selalu bersedih
atas sesuatu yang oleh manusia biasa disedihkan. Yang dicari oleh sufiialah ‘sesuatu’ yang
ditinggalkan oleh manusia biasa dan mereka lari terbirit-birit dari sesuatu yang dicari oleh manusia
biasa, yaitu orang-orang yang lalai dan suka menipu. Para sufi merasakan keakraban ketika manusia
merasa risau, sebab keakraban mereka adalah bersama Allah.(Dr. Amin An-Najar, Psikoterapi Sufistik,
PT Mizan Publika, Jakarta, 2004, hlm 5)
sy amat suka rujukam ini, sangat bermakna.
BalasPadam