HADITS
PALSU DAN SEJARAH MUNCULNYA
Kemunculan
Hadits palsu dimulai bersamaan dengan terjadinya konflik intern dalam kubu umat
Islam. Orang-orang yang terlibat dalam pertikaian konflik politik dalam kubu
umat Islam itulah yang menjadi dalang dari kemunculan hadits-hadits palsu.
Pertikaian tersebut bermula semenjak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan, yang
mengakibatkan kondisi kesatuan umat Islam menjadi kacau. Di kala itu, beberapa
golongan yang merasa paling berhak menjadi penguasa yang menggantikan khalifah
ketiga tersebut saling bertikai satu sama lain. Kondisi tersebut juga
dimanfaatkan oleh para Yahudi yang berusaha menyusup untuk menperunyam keadaan.
Puncak dari munculnya hadits palsu yaitu ketika terjadi konflik antara Ali bin
Abi Thalib dengan Muawiyyah bin Abi Sufyan. Salah satu pihak saling memperkuat
diri dengan menciptakan hadits palsu yang isinya seakan-akan mendukung pihak
tersebut dan menjatuhkan pihak yang lain.
Pemicu
munculnya hadits-hadits palsu tidak sebatas karena konflik politik saja,
melainkan ada faktor-faktor lain. Namun para ulama’ ahli hadits tidak tinggal
diam atas munculnya peristiwa ini. Beberapa upaya dilakukan untuk mencegah
hadits-hadits tersebt menyebarluas dan mengembalikan ajaran agama Islam ke arah
yang sesungguhnya tanpa adanya unsur-unsur dusta dan ambisi belaka.
A. Pengertian Hadits Palsu
Hadits
Palsu atau yang biasa dikenal dengan sebutan Hadits Maudhu’ memiliki beberapa
pengertian. Secara etimologi, Hadits Maudhu’ memiliki arti : Menggugurkan,
meninggalkan, mengada-ada atau membuat-buat. Secara terminologi, menurut ulama’
ahli hadits, hadits Maudhu’ berarti “sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah
SAW secara mengada-ada atau dusta, padahal beliau sama sekali tidak sabdakan,
kerjakan, dan taqrir-kan.
Para
pencipta hadits palsu menggunakan istilah-istilah atau ungkapan para ahli
hikmah, agar memiliki makna yang berkesan indah. Selain itu jua menggunakan
ungkapan para tabi’in, ulama’, kisah-kisah israilliyat atau mereka mengarang
sendiri untuk mengungkapkan suatu permasalahan layaknya sebuah hadits
sebenarnya. Betapa pun indahnya kata-kata yang dirangkai oleh pengarang hadits
palsu, tetap aja hadits palsu merupakan hadits yang kualitasnya paling buruk.
Hadits
palsu memang menimbulkan banyak dampak yang buruk bagi agama. Selain merusak
ajaran-ajarn agama Islam, juga meracuni keyakinan dan pola pikir orang-orang
yang mempercayainya. Maka dari itu maka ulama’-ulama’ hadits mengharamkan
periwayatan hadits palsu atau Maudhu’ kecuali dalam rangka pembelajaran untuk
dapat mengetahui contoh-contoh hadits maudhu’ tanpa ada tujuan untuk
mempercayainya apalagi mengikutinya.
B. Faktor Pemicu Timbunya Hadits Palsu
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan munculnya hadits-hadits palsu / Maudhu’,
antara lain :
· Fanatisme terhadap salah satu golongan
politik
Munculnya
kaum-kaum fanatik pembela golongan-golongan politik merjadi awal mula penyebab
munculnya hadits-hadits palsu. Perpecahan umat Islam menjadikan tumbuhnya
golongan-golongan fanatik buta yang saking fanatiknya hingga berani membuat
hadits-hadits palsu yang isinya mendukung tokoh-tokoh pada golongan tersebut
dan menjatuhkan golongan-golongan yang lain. Ada beberapa contoh hadits palsu
yang berisi sanjungan terhadap dua tokoh yang saling bertentangan yaitu :
“Ali
sebaik-baik manusia, barang siapa meragukannya maka dia kafir”
“Sosok
yang berkarakter jujur ada tiga : aku, Jibril, dan Muawiyyah”
Kaum
Rafidhah Syi’ah yang merupakan pendukung sayyidina Ali merupakan golongan yang
banyak memalsukan hadits. Al-Kholili dalam kitab Irsyad mengatakan bahwa kaum
Rafidhi talah memalsukan lebih dari 13.000 hadits yang isinya sanjungan
terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib dan kecaman terhadap dua Khalifah pertama
yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab radhiallaahu’anhuma.
· Untuk merusak agama Islam
Dilakukan
oleh kau zindik, yaitu kaum yang tidak memiliki agama/kepercayaan (atheis) yang
berkedok Islam dan menyimpan kedengkian dan kebencian yang mendalam kepada umat
Islam. Pada mulanya mereka ingin merusak ajaran agama Islam melalui Al-Qur’an,
namun karena tidak ada yang dapat menandingi keotentikan isi dari Al-Qur’an,
mereka gagal dan beralih ke pembuatan hadits palsu. Pada masa pemerntahan
al-Mahdi al-Abbasi, terdapat seorang kafir zindik yang mengaku telah memalsukan
lebih dari 14.000 hadits dan isinya sangat bertentangan dengan ajaran Islam
karena telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.
Salah
satu contoh hadits palsu yang mereka buat yaitu :
“Aku
adalah nabi terakhir dan tidak ada nabi setelahku, kecuali jika Allah
menghendaki.”
“Saya
melihat Tuhanku di Arafah pada hari Arafah, Dia berada di atas onta dengan
membawa dua sarung.”
· Mencari muka kepada para pembesar
Cara
ini dilakukan oleh para ahlu hikayah (tukang cerita) yang ingin mendapatkan
kedudukan yang dekat dengan para penguasa dan pembesar ataupun untuk
mendapatkan materi atau harta dengan menciptakan hadits palsu. Seperti contoh
pada masa pemerintahan al-Mahdi al Abbasi pada dinasti Abbasiyah, ketika itu
datang seorang ahlu hikayah bernama Ghiyats bin Ibrahim ketika al-Mahdi sedang
bermain adu merpati. Kemudian al-Mahdi bertanya kepadanya, “coba jelaskan
tentang hadits yang kau ketahui dari rasulullah”. Ghiyats kemudian menjawab,
“Rasulullah SAW bersabda : Tidak boleh seseorang melakukan lomba dan aduan
kecuali pada ketangkasan memanah, menunggang kuda, dan onta.” hadits berhenti di sini, namun Ghiyats
menambahkan, “atau yang bersayap”.
Mendengar pernyataan
tersebut al-Mahdi memberi imbalan kepada Ghiyats. Setelah ia pergi al-Mahdi
berkata, “ ketahuilah bahwa dia itu seorang pendusta.” Kemudian al-Mahdi
memotong merpatinya dan tidak pernah bermain adu merpati lagi.
· Bertujuan untuk targhib wa Tarhib
Berbeda
dengan faktor-faktor lain sebelumnya, targhib wa tarhib bermula dari tujuan
yang baik, namun tidak disertai dengan pemahaman yang baik pula. Mereka yang
menciptakan hadits palsu ini merupakan sekelompok orang yang menisbatkan
dirinya sebagai seorang sufi. Hadits palsu yang mereka buat bertujuan untuk
mengajak orang berbuat kebaikan atau kembali ke jalan yang lurus. Memang apa
yang mereka lakukan merupakan tindakan yang baik, namun tanpa disadari mereka
telah melakukan dusta besar pula yang mengatasnamakan Rasulullah SAW. seperti
contoh pada hadits berikut :
“barang
siapa mengucapkan Laa Ilaha illallah maka Allah akan menciptakan baginya -pada
setiap kalimat- seekor burung yang paruhnya terbuat dari emas dan bulunya dari
permata dan.... ”
Selain
hadits di atas, termasuk pula hadits-hadits tentang fadhilah membaca
surat-surat tertentu dalam Al-Qur’an. Hadits-hadits tersebut sebenarnya
tujuannya baik, yaitu untuk memotivasi umat Islam untuk selalu berdzikir kepada
Allah dan istiqomah dalam membaca Al-Qur’an. Namun bagaiman pun juga hadits
palsu tetap saja palsu. Kita harus tetap berhati-hati agar tidak terjerumus
untuk meyakininya.
C. Indikasi Hadits Palsu
Tanda-tanda
kepalsuan sebuah hadits dapat dilihat dari 2 sisi, yaitu : Aspek Perowi dan
Aspek Redaksi Hadits yang diriwayatkan.
· Aspek Perowi
Tanda-tanda
hadits palsu jika dilihat dari aspek ini kebanyakan diketahui melalui pengakuan
pemalsunya sendiri. Seperti pengakuan Abdul Karim bin Auja’ ketika hendak
dipenggal kepalanya. Ada pula pengakuan dari ibn Abdu Robbi al-Farisi yang
memalsukan hadits tentang fadhilah Al-Qur’an. Beliau mengatakan bahwa
hadits-hadits tentang keutamaan membaa Al-Qur’an dibuat agar orang–orang Islam
mau kembali membaca dan mengkaji Al-Qur’an ditengah kesibukannya mengkaji ilmu
fiqih Abi Hanifah.
Palsunya
hadits juga dapat diindikasikan dari ungkapan para perowi yang secara tidak
langsung mengungkapkan sebuah pengakuan. Misal seorang perowi hadits mengatakan
telah mendengar hadits dari seseorang padahal keduanya tidak hidup pada zaman
yang sama, dan itu telah membuktikan bahwa perowi tersebut dusta.
· Aspek Redaksi
Perbedaan
redaksi antara hadits nabi dengn hadits palsu (maudhu’) telah dipelajari para
ulama’ hadits untuk menjaga kemurnian hadits agar tidak terkontaminasi dengan
hadits-hadits palsu. Ada beberapa tanda kepalsuan sebuah hadits dilihat dari
matannya, antara lain :
a. Maknanya rancu, tidak masuk akal jika
Rasulullah SAW yang mengatakan seperti itu. Seperti hadits palsu yang berbunyi
“seandainya beras itu orang, niscaya dia sosok yang bijak, tidak dimakan oleh
orang kecuali akan mengenyangkan.” Redaksi hadits tersebut dianggap tidak
mencerminkan kedalaman makna yang biasa diungkapkan pada hadits nabawi.
b. Bertentangan dengan nash Al-Qur’an atau
hadits shahih serta Ijma’. Seperti contoh hadits maudhu’ yang dibuat oleh
penyembah berhala, “seandainya seseorang berbaik sangka terhadap batu niscaya
batu itu akan memberikan manfaat baginya.” Pertentangannya dengan ajaran Islam,
bahwa batu tidak akan bisa memberikan manfaat dengan sendirinya. Atau hadits
maudhu’, “anak yang lahir dari hubungan zina tidak akan masuk surga tujuh
keturunan.” Hadits ini bertentangan dengan ajaran Islam bahwa seseorang tidak
akan mewarisi dosa dari orang lain.
c. Bertentangan dengan akal sehat. Seperti
hadits maudhu’, “pakailah cincin akik, karena bercincin akik dapat
menghindarkan dar kefakiran.” Tentu hal tersebut tidak dapat diterima oleh
akal, karena fakir tidaknya seseorang tidak ada hubungannya dengan menggunakan
cincin akik.
d. Bertentangan dengan ilmu kesehatan. Ada
beberapa hadits maudhu’ yang menjelaskan tentang khasiat dari makanan tertentu.
Seperti contoh, “terong obat segala penyakit”. Padahal hingga saat ini belum
ada yang dapat membuktikan tentang pernyataan tersebut.
e. Berisi tentang pahala yang besar atas
perbuatan yang sederhana. Seperti contoh hadits maudhu’ tentang pahala puasa
sunnah, “barang siapa berpuasa sunnah sehari maka ia akan diberi pahala seperti
melakukan seribu kali haji, seribu umroh, dan mendapat pahala nabi Ayyub.”
Meskipun puasa sunnah memang mendapatkan pahala, namun tidak seperti yang
dikatan tersebut, apalagi hingga menandingi pahala seorang Nabi.
f. Tentang sanksi yang berat atas
kesalahan yang kecil. Seperti contoh hadits maudhu’, “barang siapa makan bawang
pada malam jum’at maka ia akan dilempar ke neraka hingga kedalaman tujuh puluh
tahun peralanan.”
g. Berisi tentang permasalahan besar namun
tidak diriwayatkan kecuali oleh seorang saja. Hadits madhu’ ini berupa dukungan
kepada seorang tokoh pada golongan tertentu yang terjadi ketika pergolakan
politik dalam kubu umat Islam. Seperti contoh, “Ali adalah orang yang ku
wasiati (untuk memimpin).” Padahal tidak ada sahabat yang memilih pemimpinnya
berdasarkan sebuah hadits yang menyebutkan nama seorang secara jelas. Mereka
menentukan pemimpin berdasarkan sebuah musyawarah mufakat.
D. Referensi Hadits-Hadits Palsu
Demi
menjaga keaslian hadits-hadits Nabawi dari campuraduknya dengan hadits maudhu’,
dilakukan beberapa upaya dari para ulama’ hadits. Salah satunya yaitu
menghimpun hadits-hadits Maudhu’ tersebut menjadi sebuah kitab. Adapun
karya-karya ulama’ hadits yang berisi tentang hadits Maudhu’ antara lain :
· Kitab Al-Maudhu’at, karya Imam al-Hafidz abi al-Farj
Abdurrahman ibn al-Jauziy. Merupakan buku pertama dan terpopuler yang membahas
tentang hadits palsu. Namun, karya ini juga menuai banyak kritik akibat banyak
hadits yang belum terbukti kepalsuannya, juga karena beliau juga memasukkan
hadits hasan bahkan hadits shahih ke dalam buku ini.
· Kitab Al-La ali’ al-Mashnu’ah
fi al-Hadits al-Maudhu’ah,
karya al-Hafidz Jalaluddin ash-Shuyuti. Merupakan revisi dari karya al-Jauziy
sebelumnya.
· Kitab Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Hadits al-Syani’ah
al-Maudhu’ah, karya al-Hafidz abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Iraq al-Kanani.
Kitab ini juga merupakan revisi dari kitab al-Jauziy. Dalam kitab ini, merevisi
tiga hal dalam kitab sebelumnya, yaitu : hanya meletakkan hadits Maudhu’ yang
disepakati oleh para ulama’ hadits kemaudhu’annya, meletakkan secara khusus
hadits-hadits Maudhu’ yang belum disepakati kemaudhu’annya, serta menambahkan
hadits-hadits Maudhu’ yang belum ada pada kitab sebelumnya. Selain itu, dalam
kitab ini juga mencantumkan nama perowi yang menjadi pemalsu hadits.
E. Usaha para Ulama dalam Memberantas Hadits
Maudhu’
Keberadaan
para ulama’ hadits sangat berperan penting dalam menjaga keotentikan sebuah
hadits nabawi. Ada beberapa usaha yang beliau rangkai untuk menjaga kemurnian
dan keaslian hadits-hadits nabi dari sentuhan orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Di antara usaha-usahanya yaitu :
· Mangharuskan perowi untuk mencantumkan
sanad dalam periwayatan hadits. Hal semacam ini, memang belum dilakukan hingga
terjadinya konflik politik dalam kubu umat Islam. Hal ini dilakukan agar
periwayatan hadits lebih terjaga dan terkendali, hingga tidak semua orang dapat
meriwayatkan hadits secara sembarangan.
· Penglasifikasian hadits dalam sebuah
buku tersendiri, agar tidak tercampur dengan hadits-hadits maudhu’.
· Membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui
kepalsuan sebuah hadits. Kaidah-kaidah tersebut tersusun dalam sebuah disiplin
ilmu al-Jarh wa Ta’dil.
· Adanya klasifikasi hadits berdasarkan
kualitas maupun kuantitas sanadnya, serta kriteria yang digunakan untuk
menentukan hal tersebut. Juga dilakukannya kodifikasi hadits dengan harapan
dapat menjaga kemurnian hadits di kala banyaknya penghafal hadits yang wafat.
· Di samping itu, perlu juga upaya dari
umat Islam secara keseluruhan. Paling tidak upaya yang dapat dilakukan yaitu
menghindai penyebarluasan hadit-hadits palsu dan memeplajari secara mendalam
tentang ilmu-ilmu hadits, agar tidak terjerumus untuk meyakini sebuah hadits
maudhu’.
REFERENSI
Smeer, Zeid B. 2008. ULUMUL HADIS
Pengantar Studi Hadis Praktis. UIN-Malang Press: Malang.
Pettalongi, M Noor Sulaiman. 2008.
Antogi Ilmu Hadits. Gaung Persada Press: Jakarta.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Pengantar
Ilmu Hadits. PT Bina Ilmu: Surabaya.
Koho, A Yazid Qasim. 1977. Himpunan
Hadits-Hadits Lemah dan Palsu. PT Bina Ilmu: Surabaya.
-http://arsitekhijrah.blogspot.my/2012/03/hadits-palsu-dan-sejarah-munculnya.html
Irwa Al-Ghalil - ebooks downloads
Taisir Mustolahul-Hadis- ebooks downloads
Tiada ulasan:
Catat Ulasan