Istilah-istilah asas ilmu hadith
1. Ilmu Mustholah Hadith : Ilmu tentang asas-asas dan kaedah-kaedah yang digunakan untuk mengetahui seadaan sanad dan matan hadith sama ada diterima atau ditolak.
2. Perkara yang menjadi perbahasan ilmu mustolah hadith : Perkara yang dijadikan perbahasan dalam ilmu mustolah hadith adalah sanad dan matan hadith, sama ada diterima atau ditolak.
3. Manfaat ilmu mustolah hadith : Dapat mengetahui hadith sahih dan hadith-hadith yang lemah.
4. Hadith
a. Menurut bahasa : Al-jadid(baru)
b. Menurut istilah : Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi S.A.W, samada perkataan, perbuatan, taqrir(diamnya) mahupun sifatnya.
5. Khabar
a. Menurut bahasa : An-Naba’(berita)
b. Menurut istilah : Terdapat tiga pendapat :
1. Maksud yang sama dengan hadith : Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi S.A.W, samada perkataan, perbuatan, taqrir(diamnya) mahupun sifatnya.
2. Maksud yang berbeza dengan hadith : Hadith berasal dari Nabi S.A.W, manakala khabar adalah selain daripada Nabi S.A.W.
3, Maksud yang lebih umum daripada hadith : Hadith berasal daripada Nabi S.A.W sedangkan khabar adalah sesuatu yang berasal daripada Nabi S.A.W mahupun selain daripada Nabi S.A.W.
6. Athar
a. Menurut bahasa : Sisa daripada sesuatu
b. Menurut istilah : Terdapat dua pendapat :
1. Maksud yang sama dengan hadith : Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi S.A.W, samada perkataan, perbuatan, taqrir(diamnya) mahupun sifatnya.
2. Maksud yang berbeza dengan hadith : Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in, samada perkataan mahupun perbuatan.
7. Perawi Hadis : Perawi hadith ialah orang yang menerima dan menyampaikan hadis daripada Rasulullah S.A.W.
8. Sanad
a. Menurut bahasa : al-Mu’tamad(tempat bersandar). Disebut seperti itu kerana hadith disandarkan kepada sanad.
b. Menurut istilah : Rangkaian para perawi hadith yang bersambung dengan matan.
8.. Isnad : Terdapat dua maksud :
a. Mengembalikan hadith kepada yang mengatakannya(perawi), sebagai sandaran.
b. Urutan para perawi hadith yang bersambung dengan matan(teks hadith). Dengan makna ini, maka mas\ksud isnad adalah sama dengan sanad.
9. Matan
b. Menurut istilah : Perkataan terakhir dari sanad(teks hadith)
10. Musnad
a. Menurut bahasa : Menyandarkan kepada sesuatu
b. Menurut istilah : Setiap kitab yang di dalamnya mengandungi kumpulan hadith yang diriwayatkan oleh para sahabat menurut syarat tertentu.
11. Musnid : Orang yang meriwayatkan hadith dengan sanadnya, samada orang itu mengetahui ataupun tidak mengetahui hadith yang diriwayatkannya.
12. Muhaddith : Orang yang menceburi bidang hadith, samaada dari segi riwayah dan mahupun dirayah, mengetahui banyak riwayat hadith dan keadaan para perawi hadith.
13. Al-Hafiz : Terdapat dua pendapat ;
a. Menurut ulama hadith, maksu hafiz sama dengan muhaddith.
b. Ada yang berpendapat martabat hafiz lebih tinggi daripada muhaddith kerana sorang hafiz lebih banyak mengetahui setiap perkara berkenaan hadith samada dari segi sanad dan matan hadith.
14. Hakim : Orang yang mengetahui seluruh hadith-hadith sehingga tidak ada perkara yang tidak diketahuinya melaikan amat sedikit.
Dipetik daripada kitab Taisir Mustholah Hadith(terjemahan) karya Dr Mahmud Thahan, Pustaka Thariqul Izzah, 2010, mukasurat 13-15 dengan sedikit perubahan.
Definisi-Definisi Penting Dalam Ilmu Mustholah Hadits
Ilmu musthalah hadits: Ilmu tentang pokok-pokok dan kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengetahui kondisi sanad dan matan hadits, dari sisi diterima atau ditolak.
Objek pembahasan ilmu musthalah: yang menjadi objek pembahasannya adalah sanad dan matan, dari sisi diterima atau ditolak. Manfaat ilmu musthalah: Bisa membedakan hadits yang shahih dari hadits yang lemah.
Hadits:
- Menurut bahasa: Al-Jadid (baru), bentuk jamaknya adalah ahaadits, bertentangan dengan qiyas.
- Menurut istilah: Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (diamnya) maupun sifatnya.
- Menurut bahasa: an-naba (berita), bentuk jamaknya adalah akhbaar.
- Menurut istilah: terdapat tiga pendapat, yaitu,
- Sinonim dari hadits, dengan kata lain memiliki satu arti.
- Berbeda dengan hadits. Hadits itu berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan khabar adalah selain dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Atsar:
Menurut bahasa: Sisa dari sesuatu (jejak).
Menurut istilah terdapat dua pendapat,
Menurut bahasa: Sisa dari sesuatu (jejak).
Menurut istilah terdapat dua pendapat,
- Sinonim dari hadits, dengan kata lain memiliki satu arti.
- Berbeda dengan hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Isnad
Memiliki dua arti:
Memiliki dua arti:
- Mengembalikan hadits kepada yang mengatakannya sebagai sandaran
- Urutan para perawi hadits yang kemudian berlanjut pada matan (teks hadits). Dengan makna seperti ini, berarti sinonim dari sanad.
Sanad
- Menurut bahasa: al-mu’tamad (tempat bersandar). Disebut seperti itu karena hadits disandarkan atau menyandarkan kepadanya.
- Menurut istilah, urutan para perawi hadits yang kemudian berlanjut pada matan.
Matan
- Menurut bahasa, tanah yang keras dan naik ke atas
- Menurut istilah, perkataan terakhir dari sanad.
Musnad
- Menurut bahasa: merupakan isim maf’ul dari asnada yang berarti menyandarkan atau menasabkan kepadanya.
- Menurut istilah, memiliki tiga macam arti:
- Setiap kitab yang di dalamnya mengandung kumpulan apa yang diriwayatkan oleh para sahabat, menurut ketentuan tertentu.
- Hadits marfu’ yang sanadnya bersambung.
- Jika yang dimaksudkannya adalah sanad, berarti itu adalah mashdar mim.
Musnid adalah orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya, baik orang itu mengerti ataupun tidak mengerti dan hanya menyampaikan riwayat saja.
Muhaddits adalah orang yang bergelut dalam ilmu hadits, baik dari sisi riwayat maupun dirayah, mengetahui banyak riwayat dan kondisi para perawinya.
- Menurut pakar hadits artinya sama dengan muhaddits
- Ada yang berpendapat bahwa al-Hafidh itu martabatnya lebih tinggi dari al-muhaddits karena ia lebih banyak mengetahui setiap tingkatan (thabaqat) para perawi hadits dibandingkan ketidaktahuannya.
Hakim adalah orang yang pengetahuannya mencakup seluruh hadits-hadits sehingga tidak ada perkara yang tidak diketahuinya melainkan amat sedikit. Hal itu menurut sebagian ahli ilmu hadits.
Sifat-sifat hadits yang diterima:
- Sanadnya harus muttasil (bersambung), artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
- Perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina.
- Betul-betul hafal.
- Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
- Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.
Hadits Hasan: Hadits yang sanadnya bersambung perawi adil, yang hafalannya kurang sedikit disbanding dengan perawi-perawi hadits shahih. Tidak bertentangan dengan perawi-perawi yang lebih dapat dipercaya, dan tidak memiliki cacat yang membuat hadits tersebut tidak diterima.
Hukum hadits hasan: seperti hadits shahih, dapat dibuat pedoman dan dijalankan, namun bila diantara hadits shahih dan hadits hasan bertentangan, maka didahulukan adalah hadits shahih.
Hadits Dhoif: Hadits yang tidak memiliki sifat-sifat hadits-hadits shahih dan sifat-sifat hadits hasan.
Hukum hadits dhoif: Tidak boleh dijadikan pedoman dalam masalah akidah dan hukum-hukum agama. Boleh dijalankan dalam masalah-masalah yang dianggap baik, anjuran, peringatan dengan syarat-syarat tertentu.
Hukum hadits dhoif: Tidak boleh dijadikan pedoman dalam masalah akidah dan hukum-hukum agama. Boleh dijalankan dalam masalah-masalah yang dianggap baik, anjuran, peringatan dengan syarat-syarat tertentu.
Hadits Marfu’: Perkataan, perbuatan, pemutusan, atau pengakuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik sanadnya bersambung atau tidak. Contoh hadits marfu’: hadits muttasil, musnad, mursal, dll.
Hukum hadits marfu’: kadang-kadang shahih, hasan, dan dhaif.
Muttasil (mausul): Hadits yang sanadnya bersambung dari perawi mendengar dari perawi sampai pada Nabi atau hanya sahabat-sahabat saja. Hadits mauquf dan munqathi’ kadang-kadang termasul hadits muttasil.
Mauquf: Perkataan atau perbuatan sahabat, sanadnya bersambung atau tidak. Contoh: hadits munqathi’. Hadits marfu dan mursal tidak termasuk hadits mauquf.
Munqathi’: Hadits yang salah satu dari perawi tidak disebut, dengan syarat perawi yang tidak disebut itu bukan sahabat. Contoh: hadits marfu’, mursal, dan mauquf. Hadits munqathi’ termasuk hadits dhoif.
Mursal: Apabila ada tabi’in berkata, “Nabi bersabda…….tanpa menyebutkan perawi dari sahabat, maka hadits tersebut termsuk mursal. Contoh: hadits munqathi’ dan hadits mu’dlal. Hukumnya sama seperti hadits dhoif.
Gharib: Hadits yang diriwayatkan oleh satu perawi dan perawi lain tidak meriwayatkan hadits tersebut. Hukumnya kadang-kadang shahih, hasan namun kebanyakan hukumnya dhoif.
Masyhur: Hadits yang diriwayatkan oleh tiga perawi keatas, walaupun dalam satu tingkat perawi (perawinya sama-sama sahabat). Hukumya shahih, hasan atau dhoif.
Mutawatir: Hadits yang diriwayatkan oleh perawi banyak dari perawi banyak.
Mubham: Hadits yang dalam sanadnya atau matannya ada orang yang tidak disebut. Hukumnya, jika perawinya yang tidak diketahui, hukumnya dhoif.
Syadz: Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dapat dipercaya, matan atau sanadnya bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih dipercaya. Lawan syadz adalah mahfud (yang terjaga). Hukumnya dhoif dan ditolak.
Mudraj: Idraj (sisipan) ada dua:
- Lafadh hadits yang disisipi,
- Sanad hadits yang disisipi. Lafadh hadits yang disisipi: sebagian perawi menambah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa diberi tahu atau diberi tanda. Hukumnya shahih, atau dhoif.
Maqlub: Mengganti sesuatu dengan yang lain dalam hadits, ada kalanya kalimat hadits dibalik, dan lain-lain. Hukumnya harus dikembalikan pada asalnya.
Mudhtarib: Hadits yang diriwayatkan oleh perawi, kemudian ditempat lain dia meriwayatkan hadits tersebut dengan arti yang berbeda. Hukumnya dhoif.
Ma’lul: Hadits kalau dilihat dhohirnya baik, namun setelah diteliti oleh ahli hadits, ternyata ada hal yang membuat hadits tersebut tidak bisa dikatakan shahih. Hukumnya dhoif.
Matruk: Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang sudah disepakati oleh para ulama bahwa dia dhoif. Adakalanya dia bohong, keliru, atau fasik. Hukumnya tidak dianggap, juga tidak boleh dibuat pedoman atau dibuat syahid.
Maudhu’: Hadits buatan perawi, lalu disandarkan kepada rasul, sahabat, atau tabi’in. Hukumnya tidak boleh diriwayatkan atau diajarkan kecuali ada tujuan agar orang yang mendengar atau yang membacanya berhati-hati.
Munkar: Seperti hadits syadz, hadits munkar tidak boleh diterima, apabila perawinya bertentangan dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.
Syahid: Arti hadits yang cocok dengan arti hadits lain, hanya saja sahabat yang meriwayatkannya berlainan.
La ba’sa bihi: Perawi tidak memiliki cacat. Ibnu Mu’in berkata, “perawi tersebut dapat dipercaya.”
Shaduuq: Ibnu Abi Hatim berkata, “Ia dapat dipercaya.”
Sahabat: Orang yang bertemu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan beriman kepadanya sampai mati.
Tabi’in: Orang yang bertemu dengan sahabat dan mati dalam keadaan muslim.
Tujuh Imam: Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah.
Enam Imam: Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah.
Lima Imam: Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah.
Empat Imam: Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah.
Tiga Imam: Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i.
Muttafaq ‘alaih: Bukhari dan Muslim.
Sumber:
1. Ilmu Hadits Praktis, Dr. Mahmud Thahan: Pustaka Thariqul Izzah
1. Ilmu Hadits Praktis, Dr. Mahmud Thahan: Pustaka Thariqul Izzah
2. Terjemah Bulughul Maram, Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani: Mutiara Ilmu
KEDUDUKAN SUNNAH NABI MUHAMMAD SAW
QS. An-Nahl [16] : 44
بِٱلْبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,
QS. An-Nahl [16] : 64
وَمَآ أَنزَلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ إِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ ٱلَّذِى ٱخْتَلَفُوا۟ فِيهِ ۙ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
QS. An-Najm [53] : 3
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
QS. An-Najm [53] : 4
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌ يُوحَىٰ
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
- Mustholah hadits adalah ilmu yang menjadi alat untuk mengetahui kondisi seorang periwayat dan hadits yang diriwayatkan dari sisi diterima atau ditolak.
- Faedahnya adalah untuk mengetahui riwayat-riwayat yang diterima atau ditolak dari seorang periwayat dan hadits yang diriwayatkan.
Al Hadits, Al Khobar, Al Atsar, Al Hadits Qudsi
Al Hadits (الحديث)*:
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam baik perbuatan, perkataan, persetujuan atau sifat .
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam baik perbuatan, perkataan, persetujuan atau sifat .
* Ini adalah pengertian hadtis secara istilah. Adapun pengertian secara bahasa bermakna “yang baru”.
** Ada 2 sifat : sifat jasmani dan sifat akhlak
** Ada 2 sifat : sifat jasmani dan sifat akhlak
Semakna dengan hadits, maka definisinya sama dengan definisi al hadits. Ada yang berpendapat bahwa khobar adalah segala yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam atau kepada selainnya, berdasarkan definisi ini maka khobar itu lebih umum dan lebih luas dari pada hadits.
Al Atsar (الأثر):
Segala yang disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in, tapi terkadang juga digunakan untuk hadits yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berkait misal dikatakan atsar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Segala yang disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in, tapi terkadang juga digunakan untuk hadits yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berkait misal dikatakan atsar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits Qudsi (الحديث القدسي):
Hadits yang diriwayatkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Ta’ala, juga dinamai jugahadits Rabbani dan hadits Ilahi. Misalnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan dari Rabb Ta’ala, Dia berkata,
Hadits yang diriwayatkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Ta’ala, juga dinamai jugahadits Rabbani dan hadits Ilahi. Misalnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan dari Rabb Ta’ala, Dia berkata,
“Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku, dan aku bersamanya ketika mengingat-Ku, jika dia meningat-Ku dalam dirinya: maka aku mengingatnya dalam diri-Ku, Jika dia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang maka Aku mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik dari sekumpulan orang tersebut.” *
Urutan Hadits Qudsi itu terletak antara Al Qur’an dan Hadits Nabi.
- Al Qur’an Al Karim: Dinisbatkan kepada Allah Ta’ala baik lafadz maupun maknanya.
- Hadits Nabi: Dinisbatkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam : lafadz dan maknanya.
- Hadits Qudsi: Dinisbatkan kepada Allah Ta’ala maknanya tanpa lafadznya.
Maka, membaca hadits Qudsi tidak dinilai sebagi ibadah, tidak boleh dibaca dalam sholat, tidak terwujud dengannya tantangan* dan tidak dinukil secara mutawattir seperti Al Qur’an bahkan di dalamnya ada yang shohih, dho’if dan maudhu’.
Pembagian Khobar Berdasarkan Jalan Periwayatannya
Khobar terbagi menjadi dua berdasarkan jumlah jalan penukilannya sampai kita, yaitu mutawatir dan ahad.
Muttawatir
- Pengertian
- Macam-macamnya dan contohnya
- Faedahnya
1. Mutawattir (المتواتر):
Hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang secara ‘adat mereka mustahil bersepakat untuk berdusta dan mereka sandarkan pada sesuatu yang bisa diindra.
Hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang secara ‘adat mereka mustahil bersepakat untuk berdusta dan mereka sandarkan pada sesuatu yang bisa diindra.
2. Mutawattir terbagi menjadi dua:
Muttawattir lafadz dan maknanya dan muttawattir maknanya saja.
Muttawattir lafadz dan maknanya (المتواتر لفظا و معنى) adalah hadits yang disepakati oleh para rowi lafadz dan maknanya. Misalnya sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
Muttawattir lafadz dan maknanya dan muttawattir maknanya saja.
Muttawattir lafadz dan maknanya (المتواتر لفظا و معنى) adalah hadits yang disepakati oleh para rowi lafadz dan maknanya. Misalnya sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
من كذب عليّ معتمدا، فليتبوأ مقعده من النار
Hadits ini diriwayatkan lebih dari 60 orang sahabat diantaranya 10 orang yang dijamin masuk surga dan dari mereka terdapat banyak orang yang meriwayatkan hadits tersebut.
Muttawattir makna (المتواتر معنى) adalah hadits yang disepakati maknanya walaupun lafadznya beda-beda. Semuanya bermuara pada satu poin yang sama. Misalnya hadits tentang syafaat dan hadits tentang mengusap kedua khuf. Terdapat syair yang berbunyi:
مما تواتر حديث من كذب و من بنى للّه بيتا زاحتسب
و رؤية شفاعة والحوض ومسح خفين و هذي بعض
و رؤية شفاعة والحوض ومسح خفين و هذي بعض
dan barangsiapa membangun masjid dengan ikhlas
Juga hadits tentang syafaat melihat Allah diakherat, telaga
dan mengusap sepatu. Inipun baru sebagian.
c. Faedah dari dua jenis muttawattir ini:
- Ilmu, yaitu memastikan benarnya penisbatan hadits ini kepada yang dinukil darinya.
- Berkewajiban mengamalkan kandungan hadits dengan mempercayainya jika berupa khobar dan menerapkannya jika berupa tuntutan.
Ringkasan Sejarah Munculnya Ilmu Mustholah Hadith dan Perkembangannya
Sesiapa yang melakukan kajian secara mendalam akan mendapati bahawa dasar-dasar dan asas-asas penting bagi ilmu riwayat dan penyampaian berita dijumpai dalam al-Quran dan as-Sunnah. Dalam al-Quran dijumpai firman Allah S.W.T :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu orang fasik yang membawa berita, maka periksalah dengan teliti.” (Surah al-Hujarat ayat 6)
Sedangkan dalam as-Sunnah, Rasulullah S.A.W bersabda :
“Semoga Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar dari kami suatu berita, lalu ia sampaikan berita itu sebagaimana yang ia telah dengar. Dan mungkin orang yang menerima berita itu lebih faham daripada orang yang mendengarnya.” (Hadith riwayat at-Termizi)
Dalam riwayat yang lain dikatakan :
“Dan mungkin orang yang membawa berita itu lebih faham daripada orang yang menerima berita itu. Dan mungkin pula orang yang membawa berita itu kurang memahami sebagaimana orang yang menerima berita itu.” (Hadith riwayat Ahmad, Abu Daud, at-Termizi dan Ibnu Majah)
Dalam melaksanakan perintah Allah S.W.T dan Rasulullah S.A.W tersebut, para sahabat telah menetapkan ketetapan-ketetapan tertentu dalam menyampaikan dan menerima berita, terutamanya jika mereka meragukan kejujuran pembawa berita tersebut. Berdasarkan hal tersebut, nampaklah kepentingan isnad dalam menerima atau menolak sesuatu berita. Di dalam pendahuuluan kita Sahih Muslim, dipetik kata-kata Ibnu Sirin :
“Pada awalnya mereka(para sahabat) tidak pernah menanyakan tentang isnad, namun setelah terjadinya peristiwa fitnah, maka mereka berkata : “Sebutkan kepada kami orang-orang yang meriwayatkan hadith kepadamu.” Apabila orang-orang yang meriwayatkan hadith tersebut merupakan ahli sunnah, maka mereka akan mengambil hadithnya. Jika orang-orang yang meriwayatkan hadith tersebut merupakan ahli bidaah, makan mereka tidak akan mengambil hadithnya.”
Berdasarkan hal ini, maka sesuatu berita tidak boleh diterima kecuali setelah diketahui sanadnya. Oleh sebab itu, muncullah ilmu jarh wa ta’dil(ilmu menilai perawi hadith) ilmu mengenai ucapan perawi hadith, ilmu mengenai cara mengetahui bersambung(muttasil) atau terputusnya(munqati’) sanad dan ilmu mengenai kecacatan yang tersembunyi dalam hadith(illal).
Kemudian para ulama dalam bidang itu semakin banyak, sehinggah muncul pelbagai perbahasan di dalam cabang ilmu yang berkaitan dengan hadith, baik dari segi kedhabitannya, cara menerima dan menyampaikan hadith, ilmu tentang hadith nasakh dan mansukh, ilmu tentang hadith gharib dan lain-lain. Semua itu masih disampaikan oleh ulama secara lisan.
Lalu, masalah itu semakin berkembang dan lama kelamaan ilmu hadith ini mula ditulis dan dibukukan, akan tetapi masih berselerak di berbagai tempat di dalam buku-buku lain yang bercampur dengan ilmu-ilmu yang lain seperti usul fiqh, fiqh dan ilmu hadith. Contohnya kitab ar-Risalah dan al-Umm karya Imam asy-Syafi’e.
Akhirnya, ilmu ini semakin matang, mencapai puncaknya dan memiliki istilah yang tersendiri yang terpisah dari ilmu-ilmu yang lain. Ini terjadi pada abad ke-empat hijrah. Para ulama menyusun ilmu mustholah hadith dalam kitab yang tersendiri. Orang yang pertama yang menyusun kitab dalam bidang ini adalah Qadhi abu Muhammad Hasan bin Abdul Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi(wafat 360H), iaitu kitab al-Muhadith al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa’i.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan