Ilmu
Ilmu,
sains, atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan
dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang
pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan
kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.

Ilmu
Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang
bahani (material saja), atau ilmu psikologihanya bisa meramalkan perilaku
manusia jika lingkup pandangannya dibatasi ke dalam segi umum dari perilaku
manusia yang konkret. Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab
pertanyaan tentang berapa jarak matahari dan bumi, atau ilmu psikologi menjawab
apakah seorang pemudi cocok menjadi perawat.
Etimologi
Kata
ilmu dalam bahasa Arab "ilm" yang berarti memahami, mengerti, atau
mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti
memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui
masalah-masalah sosial, dan sebagainya.
Syarat-syarat
ilmu
Berbeda
dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab
sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu.
Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu
alam yang telah ada lebih dahulu.
Metodis
adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya
penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu
untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani
“Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode
tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
Sistematis.
Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus
terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk
suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu
menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang
tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu
yang ketiga.
Universal.
Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum
(tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya
universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial
menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan
ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk
mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks
dan tertentu pula.
Pemodelan,
teori, dan hukum
Istilah
"model", "hipotesis", "teori", dan
"hukum" mengandung arti yang berbeda dalam keilmuan dari pemahaman
umum. Para ilmuwan menggunakan istilah model untuk menjelaskan sesuatu, secara
khusus yang bisa digunakan untuk membuat dugaan yang bisa diuji dengan melakukan
percobaan/eksperimen atau pengamatan.
Suatu
hipotesis adalah dugaan-dugaan yang belum didukung atau dibuktikan oleh
percobaan, dan hukum fisika atau hukum alam adalah generalisasi ilmiah
berdasarkan pengamatan empiris.
Apa
Itu Ilmu Dan Apa Definisi Ilmu
1. Menurut Nazir(1988), Ilmu adalah
pengetahuan yang bersifat umum dan sistematis, pengetahuan dari mana dapat
disimpulkan dalil – dalil tertentu menurut kaidah – kaidah umum.
2. Menurut Shapere (1974), konsepsi ilmu
pada dasarnya mencakup tiga hal yaitu adanya rasionalitas, dapat digeneralisasi
dan dapat disistematisasi.
3. Menurut Schulz (1962),Pengertian ilmu
mencakup logika, adanya interpretasi subjektif dan konsistensi dengan realitas
sosial.
Secara
garis besar, ilmu merupakan suatu kumpulan proses dengan menggunakan suatu
metode ilmiah yang menghasilkan suatu pengetahuan yang sistematis.
Secara
etimologi ilmu berasal dari kata “ilm” (Bahasa Arab), Science (Bahasa inggris)
atau Scientia (Bahasa Latin)yang mengandung kata kerja scire yang berarti tahu
atau mengetahui. Lalu apa perbedaan ilmu dengan pengetahuan? Pengetahuan yang
merupakan padan kata dari knowledge merupakan kumpulan fakta – fakta, sedangkan
ilmu adalah pengetahuan ilmiah/sistematis.
Kumpulan fakta – fakta tersebut merupakan bahan dasar dari suatu ilmu,
sehingga pengetahuan belum dapat dikatakan sebagai ilmu, namun ilmu pasti
merupakan pengetahuan.

Proses
yang dilakukan untuk menghasilkan suatu ilmu bukan merupakan proses pengolahan
semata tetapi merupakan suatu rangkaian aktivitas ilmiah/penelitian terhadap
suatu hal yang dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal dengan istilah
ilmuan(scientist) yang bersifat rasional, kognitif dan teleologis (memiliki
tujuan yang jelas).
Secara
lengkap menurut The Liang Gie Definisi Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia
yang rasional dan kognitif dengan metode berupa aneka prosedur dan tata langkah
sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala –
gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai
kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan ataupun melakukan penerapan
(The Liang Gie, 130).
Suatu
ilmu harus bersifat empiris (hasil dari panca indera/percobaan), sistematis
(memeiliki keterkaitan yang teratur), objektif (bukan hasil prasangka),
analitis dan verifikatif (bertujuan mencari kebenaran ilmiah). Ilmu memiliki
pokok persoalan (objek) dan fokus perhatian. Sebagai contoh ilmu alam. Ilmu
alam memiliki pokok persoalan terkait dengan alam dengan beberapa fokus
perhatian seperti fisika, kimia, biologi, dll.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa ilmu berbeda dengan pengetahuan. Pengetahuan merupakan
kumpulan fakta yang merupakan bahan dari suatu ilmu, sedangkan ilmu adalah
suatu kegiatan penelitian terhadap suatu gejala ataupun kondisi pada suatu
bidang dengan menggunakan berbagai prosedur, cara, alat dan metode ilmiah
lainnya guna menghasilkan suatu kebenaran ilmiah yang bersifat empiris,
sistematis, objektif, analisis dan verifikatif
Karena
itu, bersabda Nabi
صلى الله عليه وسلم :
أشد الناس عذابا يوم القيامة عالم لا ينفعه الله بعلمه
(Asyaddun
naasi 'adzaaban yaumal qiyaamati 'aalimun laa yanfa-'uhullaahu
bi'ilmihi).Artinya :"Manusia yang sangat menderita adzab pada hari
qiamat,ialah orang yang berilmu yang tiada bermanfa'at dengan ilmunya(1).
PRIORITAS
ILMU ATAS AMAL
DI
ANTARA pemberian prioritas yang dibenarkan oleh agama ialah
prioritas
ilmu atas amal. Ilmu itu harus didahulukan atas
amal,
karena ilmu merupakan petunjuk dan pemberi arah amal
yang
akan dilakukan. Dalam hadits Mu'adz disebutkan, "ilmu,
itu
pemimpin, dan amal adalah pengikutnya."
Oleh
sebab itu, Imam Bukhari meletakkan satu bab tentang ilmu
dalam
Jami' Shahih-nya, dengan judul "Ilmu itu Mendahului
Perkataan
dan Perbuatan." Para pemberi syarah atas buku ini
menjelaskan
bahwa ilmu yang dimaksudkan dalam judul itu harus
menjadi
syarat bagi ke-shahih-an perkataan dan perbuatan
seseorang.
Kedua hal itu tidak dianggap shahih kecuali dengan
ilmu;
sehingga ilmu itu didahulukan atas keduanya. Ilmulah
yang
membenarkan niat dan membetulkan perbuatan yang akan
dilakukan.
Mereka mengatakan: "Bukhari ingin mengingatkan
orang
kepada persoalan ini, sehingga mereka tidak salah
mengerti
dengan pernyataan 'ilmu itu tidak bermanfaat kecuali
disertai
dengan amal yang pada gilirannya mereka meremehkan
ilmu
pengetahuan dan enggan mencarinya."
Bukhari
mengemukakan alasan bagi pernyataannya itu dengan
mengemukakan
sebagian ayat al-Qur'an dan hadits Nabi saw:
"Maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan
selain
Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atasdosa orang-orang mu'min,
laki-laki dan perempuan..."
(Muhammad:
19)
Oleh
karena itu, Rasulullah saw pertama-tama memerintahkan
umatnya
untuk menguasai ilmu tauhid, baru kemudian memohonkan
ampunan
yang berupa amal perbuatan. Walaupun perintah di dalam
ayat
itu ditujukan kepada Nabi saw, tetapi ayat ini juga
mencakup
umatnya.
Dalil
yang lainnya ialah ayat berikut ini:
"...
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama..." (Fathir: 28)
Ilmu
pengetahuanlah yang menyebabkan rasa takut kepada Allah,
dan
mendorong manusia kepada amal perbuatan.
Sementara
dalil yang berasal dari hadits ialah sabda
Rasulullah
saw:
"Barangsiapa
dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka dia
akan
diberi-Nya pemahaman tentang agamanya."2
Karena
bila dia memahami ajaran agamanya, dia akan beramal, dan melakukan amalan itu
dengan baik. Dalil
lain yang menunjukkan kebenaran tindakan kita
mendahulukan
ilmu atas amal ialah bahwa ayat yang pertama kali
diturunkan
ialah "Bacalah." Dan membaca ialah kunci ilmu
pengetahuan;
dan setelah itu baru diturunkan ayat yang
berkaitan
dengan kerja; sebagai berikut:
"Hai
orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah
peringatan!
Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah."
(al-Muddatstsir:
1-4)
Sesungguhnya
ilmu pengetahuan mesti didahulukan atas amal
perbuatan,
karena ilmu pengetahuanlah yang mampu membedakan
antara
yang haq dan yang bathil dalam keyakinan umat manusia;
antara
yang benar dan yang salah di dalam perkataan mereka;
antara
perbuatan-perbuatan yang disunatkan dan yang bid'ah
dalam
ibadah; antara yang benar dan yang tidak benar di dalam
melakukan
muamalah; antara tindakan yang halal dan tindakan
yang
haram; antara yang terpuji dan yang hina di dalam akhlak
manusia;
antara ukuran yang diterima dan ukuran yang ditolak;
antara
perbuatan dan perkataan yang bisa diterima dan yang
tidak
dapat diterima.
Oleh
sebab itu, kita seringkali menemukan ulama pendahulu kita
yang
memulai karangan mereka dengan bab tentang ilmu
pengetahuan.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali
ketika
menulis buku Ihya' 'Ulum al-Din; dan Minhaj al-'Abidin.
Begitu
pula yang dilakukan oleh al-Hafizh al-Mundziri dengan
bukunya
at-Targhib wat-Tarhib. Setelah dia menyebutkan
hadits-hadits
tentang niat, keikhlasan, mengikuti petunjuk
al-Qur'an
dan sunnah Nabi saw; baru dia menulis bab tentang
ilmu
pengetahuan.
Fiqh
prioritas yang sedang kita perbincangkan ini dasar dan
porosnya
ialah ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan kita
dapat
mengetahui apa yang mesti didahulukan dan apa yang harus
diakhirkan.
Tanpa ilmu pengetahuan kita akan kehilangan arah,
dan
melakukan tindakan yang tidak karuan.
Benarlah
apa yang pernah diucapkan oleh khalifah Umar bin Abd
al-Aziz,
"Barangsiapa melakukan suatu pekerjaan tanpa ilmu
pengetahuan
tentang itu maka apa yang dia rusak lebih banyak
daripada
apa yang dia perbaiki."3
Keadaan
seperti ini tampak dengan jelas pada sebagian kelompok
kaum
Muslimin, yang tidak kurang kadar ketaqwaan, keikhlasan,
dan
semangatnya; tetapi mereka tidak mempunyai ilmu
pengetahuan,
pemahaman terhadap tujuan ajaran agama, dan hakikat agama itu sendiri.
Seperti
itulah sifat kaum Khawarij yang memerangi Ali bin Abu
Thalib
r.a. yang banyak memiliki keutamaan dan sumbangan
kepada
Islam, serta memiliki kedudukan yang sangat dekat
dengan
Rasulullah saw dari segi nasab, sekaligus menantu
beliau
yang sangat dicintai oleh beliau. Kaum Khawarij
menghalalkan
darahnya dan darah kaum Muslimin yang mendekatkan
diri
mereka kepada Allah SWT.
Mereka,
kaum Khawarij ini, merupakan kelanjutan dari
orang-orang
yang pernah menentang pembagian harta yang pernah
dilakukan
oleh Rasulullah saw, yang berkata kepada beliau
dengan
kasar dan penuh ke*****an: "Berbuat adillah engkau
ini!"
Maka beliau bersabda, "Celaka engkau! Siapa lagi yang
adil,
apabila aku tidak bertindak adil. Kalau aku tidak adil,
maka
engkau akan sia-sia dan merugi. "
Dalam
sebuah riwayat disebutkan, "Sesungguhnya perkataan kasar
yang
disampaikan kepada Rasulullah saw ialah 'Wahai
Rasulullah,
bertaqwalah engkau kepada Allah." Maka Rasulullah
saw
menyergah ucapan itu sambil berkat, "Bukankah aku penghuni
bumi
yang paling bertaqwa kepada Allah?"
Orang
yang mengucapkan perkataan itu sama sekali tidak
memahami
siasat Rasulullah saw untuk menundukkan hati
orang-orang
yang baru masuk Islam, dan pengambilan berbagai
kemaslahatan
besar bagi umatnya, sebagaimana yang telah
disyari'ahkan
oleh Allah SWT dalam kitab suci-Nya. Rasulullah
saw
diberi hak untuk melakukan tindakan terhadap shadaqah yang
diberikan
oleh kaum Muslimin. Lalu bagaimana halnya dengan
harta
pampasan perang?
Ketika
sebagian sahabat memohon izin kepada Rasulullah saw
untuk
membunuh para pembangkang itu, beliau yang mulia
melarangnya;
kemudian memperingatkan mereka tentang munculnya
kelompok
orang seperti itu dengan bersabda:
"Kalian
akan meremehkan (kuantitas) shalat kalian
dibandinglan
dengan shalat yang mereka lakukan,
meremehkan
(kuantitas ) puasa kalian dibandingkan
dengan
puasa yang mereka lakukan; dan kalian akan
meremehkan
(kuantitas) amal kalian dibandingkan dengan
amal
mereka. Mereka membaca al-Qur'an tetapi tidak
lebih
dari kerongkongan mereka. Mereka menyimpang dari
agama
(ad-Din) bagaikan anak panah yang terlepas dari
busurnya."
Makna
ungkapan "fidak lebih dari kerongkongan mereka" ialah
bahwa
hati mereka tidak memahami apa yang mereka baca, dan
akal
mereka tidak diterangi dengan bacaan ayat-ayat itu.
Mereka
sama sekali tidak memanfaatkan apa yang mereka baca
itu,
walaupun mereka banyak mendirikan shalat dan melakukan
puasa.
Di
antara sifat yang ditunjukkan oleh Nabi tentang kelompok
itu
ialah bahwa, "Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala."4
Kesalahan
fatal yang dilakukan oleh mereka bukanlah terletak
pada
perasaan dan niat mereka, tetapi lebih berada pada akal
pikiran
dan pemahaman mereka. Oleh karena itu, mereka
dikatakan
dalam hadits yang lain sebagai:
"Orang-orang
muda yang memilih impian yang *****." 5
Mereka
baru diberi sedikit ilmu pengetahuan, dengan pemahaman
yang
tidak sempurna, tetapi mereka tidak mau memanfaatkan
kitab
Allah padahal mereka membacanya dengan sangat baik,
tetapi
bacaan yang tidak disertai dengan pemahaman. Mungkin
mereka
memahaminya dengan cara yang tidak benar, sehingga
bertentangan
dengan maksud ayat yang diturunkan oleh Allah SWT.
Oleh
karena itu, Imam Hasan al-Bashri memperingatkan orang
yang
tekun beribadah dan beramal, tetapi tidak membentenginya
dengan
ilmu pengetahuan dan pemahaman. Dia mengucapkan
perkataan
yang sangat dalam artinya,
"Orang
yang beramal tetapi tidak disertai dengan ilmu
pengetahuan
tentang itu, bagaikan orang yang
melangkahkan
kaki tetapi tidak meniti jalan yang
benar.
Orang yang melakukan sesuatu tetapi tidak
memiliki
pengetahuan tentang sesuatu itu, maka dia
akan
membuat kerusakan yang lebih banyak daripada
perbaikan
yang dilakukan. Carilah ilmu selama ia tidak
mengganggu
ibadah yang engkau lakukan. Dan
beribadahlah
selama ibadah itu tidak mengganggu
pencarian
ilmu pengetahuan. Karena ada sebagian kaum
Muslimin
yang melakukan ibadah, tetapi mereka
meninggalkan
ilmu pengetahuan, sehingga mereka keluar
dengan
pedang mereka untuk membunuh umat Muhammad saw.
Kalau
mereka mau mencari ilmu pengetahuan, niscaya
mereka
tidak akan melakukan seperti apa yang mereka
lakukan
itu."6
ILMU
MERUPAKAN SYARAT BAGI PROFESI KEPEMIMPINAN
(POLITIK,
MILITER, DAN KEHAKIMAN)
Dari
uraian tersebut dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan
merupakan
syarat bagi semua profesi kepemimpinan, baik dalam
bidang
politik maupun administrasi. Sebagaimana yang dilakukan
oleh
Yusuf as ketika berkata kepada Raja Mesir:
"
... sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang
yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi
kami." Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan
negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang
yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.
(Yusuf:
54-55)
Yusuf
as menunjukkan keahliannya dalam pekerjaan besar yang
ditawarkan
kepadanya, yang mencakup pengurusan keuangan,
ekonomi,
perancangan, pertanian, dan logistik pada waktu itu.
Yang
terkandung di dalam keahlian itu ada dua hal; yakni
penjagaan
(yang lebih tepat dikatakan "kejujuran") dan ilmu
pengetahuan
(yang dimaksudkan di sini ialah pengalaman dan
kemampuan).
Kenyataan itu sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh
salah seorang anak perempuan Nabi besar dalam surah
al-Qashash:
"...
karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu
ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang
kuat
lagi dapat dipercaya." (al-Qashash: 26)
Ia
juga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam dunia militer;
sebagaimana
difirmankan oleh Allah SWT ketika memberikan
alasan
bagi pemilihan Thalut sebagai raja atas bani Israil:
"...
Nabi (mereka) berkata, "Sesungguhnya Allah telah memilihnya
menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu pengetahuan
yang luas dan tubuh yang perkasa..."
(al-Baqarah,
247)
Pedoman
itu juga sepatutnya diberlakukan dalam dunia
kehakiman,
sehingga orang-orang yang hendak diangkat menjadi
hakim
diharuskan memenuhi syarat seperti syarat yang
diberlakukan
bagi orang yang hendak menjadi khalifah. Untuk
menjadi
hakim itu tidak cukup hanya dengan menyandang sebagai
ulama
yang bertaqlid kepada ulama lainnya. Karena pada
dasarnya,
ilmu pengetahuan merupakan kebenaran itu sendiri
dengan
berbagai dalilnya, dan bukan ilmu pengetahuan yang
diberitahukan
oleh Zaid atau Amr. Orang-orang yang bertaqlid
kepada
manusia yang lainnya tanpa ada alasan yang membenarkan
tindakannya,
atau ada alasannya tetapi sangat lemah, maka
orang
itu dianggap tidak mempunyai ilmu pengetahuan.
Keputusan
hukum yang diterima dari orang yang melakukan
taqlid,
adalah sama dengan kekuasaan yang dilakukan oleh orang
yang
tidak mempunyai ilmu pengetahuan, yang sangat penting.
Akan
tetapi ada batasan-batasan tertentu dan minimal bagi ilmu
pengetahuan
yang mesti dikuasai oleh hakim itu. Jika tidak,
maka
dia akan membuat keputusan hukum berdasarkan ke*****an
dan
akan menjadikannya sebagai penghuni neraka.
Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah dari
Rasulullah
saw bersabda,
"Ada
tiga golongan hakim. Dua golongan berada di neraka,
dan satu golongan lagi berada di surga. Yaitu seorang
yang mengetahui kebenaran kemudian dia membuat
keputusan
hukum dengan kebenaran itu, maka dia berada di
surga. Seorang yang memberikan keputusan hukum yang didasarkan
atas ke*****annya, maka dia berada di
neraka.
Kemudian seorang yang mengetahui kebenaran tetapi
dia melakukan kezaliman dalam membuat keputusan hukum,
maka dia berada di neraka."7
PENTINGNYA
ILMU PENGETAHUAN BAGI MUFTI (PEMBERI FATWA)
Persoalan
yang serupa dengan kehakiman ialah pemberian fatwa.
Seseorang
tidak boleh memberikan fatwa kepada manusia kecuali
dia
seorang yang betul-betul ahli dalam bidangnya, dan
memahami
ajaran agamanya. Jika tidak, maka dia akan
mengharamkan
yang halal dan menghalalkan hal-hal yang haram;
menggugurkan
kewajiban, mewajibkan sesuatu yang tidak wajib,
menetapkan
hal-hal yang bid'ah dan membid'ahkan hal-hal yang
disyariahkan;
mengkafirkan orang-orang yang beriman dan
membenarkan
orang-orang kafir. Semua persoalan itu, atau
sebagiannya,
terjadi karena ketiadaan ilmu dan fiqh. Apalagi
bila
hal itu disertai dengan keberanian yang sangat berlebihan
dalam
memberikan fatwa, serta melanggar larangan bagi siapa
yang
mau melakukannya. Hal ini dapat kita lihat pada zaman
kita
sekarang ini, di mana urusan agama telah menjadi barang
santapan
yang empuk bagi siapa saja yang mau menyantapnya;
asal
memiliki kemahiran dalam berpidato, keterampilan menulis;
padahal
al-Qur'an, sunnah Nabi saw, dan generasi terdahulu
umat
ini sangat berhati-hati dalam menjaga hal ini. Tidak ada
orang
yang berani melakukan hal itu kecuali orang-orang yang
benar-benar
mempunyai keahlian di dalam bidangnya, serta
memenuhi
syarat untuk persoalan tersebut. Betapa sulit
sebenarnya
untuk memenuhi syarat-syarat itu.
Sebenarnya
Nabi saw sangat tidak suka kepada orang yang
tergesa-gesa
memberikan fatwa pada zamannya. Ada sebagian
orang
yang memberikan fatwa kepada salah seorang di antara
mereka
yang terluka ketika mereka berjinabat untuk mandi,
tanpa
mempedulikan luka yang dideritanya. Sehingga hal itu
menyebabkan
kematiannya.
Maka Rasulullah saw bersabda,
"Karena
mereka telah membunuhnya, maka semoga Allah
akan
membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila
mereka
tidak tahu. Sebenarnya kalau mereka mau
bertanya,
maka orang itu bisa sembuh. Sebenarnya bagi
orang
seperti itu hanya cukup bertayammum saja..." 8
Lihatlah
bagaimana Rasulullah saw menganggap bahwa fatwa yang
diberikan
oleh mereka sama dengan pembunuhan terhadap orang
tersebut,
sehingga beliau mendoakan mereka, "Semoga Allah juga
membunuh
mereka." Oleh karena itu, fatwa yang keluar dari
ke*****an
dapat membunuh jiwa dan membawa kerusakan. Dan pada
akhirnya,
Ibn al-Qayyim dan ulama yang lainnya sepakat untuk
mengharamkan
pemberian fatwa dalam urusan agama tanpa disertai
dengan
ilmu pengetahuan;
berdasarkan firman Allah SWT:
"...
dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa
yang tidak kamu ketahui." (al-A'raf: 33)
Banyak
sekali hadits, qaul sahabat, dan generasi terdahulu
umat
ini yang melarang pemberian fatwa bagi orang-orang yang
tidak
berilmu pengetahuan.
Ibn
Sirin berkata, "Seorang lelaki yang mati dalam keadaan
*****
itu lebih baik daripada dia mati dalam keadaan berkata
tentang
sesuatu yang dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan
tentang
itu." Abu
Hushain al-Asy'ari berkata, "Sesungguhnya salah seorang di
antara
mereka ada yang memberi fatwa dalam suatu masalah. Jika
hal
ini berlaku pada zaman Umar, maka dia akan mengumpulkan
para
pejuang Perang Badar."
Lalu,
bagaimana bila Umar melihat keberanian orang pada zaman
kita
sekarang ini?
Ibn
Mas'ud dan Ibn 'Abbas berkata, "Barangsiapa memberi fatwa
kepada
orang ramai tentang apa saja yang mereka tanyakan
kepadanya,
maka dia termasuk orang gila."
Abu
Bakar berkata, "kangit mana yang melindungi diriku dan
bumi
mana yang akan menjadi tempat pijakanku, kalau aku
mengatakan
sesuatu yang tidak kuketahui."
Ali
berkata, "Hatiku menjadi sangat tenang --dia
mengucapkannya
sebanyak tiga kali-- bila ada seorang lelaki
yang
ditanya tentang sesuatu yang dia ketahui, tetapi dia
tetap
mengatakan, 'Allah yang Maha Tahu.'"
Ibn
al-Musayyab, tokoh senior tabi'in, apabila dia hendak
memberikan
fatwa dia berkata, "Ya Allah, selamatkan aku, dan
benarkan
apa yang keluar dari diriku."
Semua
ini menunjukkan bahwa kita perlu sangat berhati-hati
dalam
memberikan fatwa. Selain itu, fatwa harus diberikan oleh
orang-orang
yang betul-betul memiliki ilmu pengetahuan,
wawasan
yang luas, wara', yang menjaga diri dari setiap
kemaksiatan,
tidak menuruti hawa nafsunya sendiri atau hawa
nafsu
orang lain.
Atas
dasar uraian tersebut, sangatlah mengherankan bila para
pelajar
ilmu syariah --kebanyakan pelajar yang baru masuk pada
fakultas
ini-- tergesa gesa memberikan fatwa dalam berbagai
persoalan
yang sangat pelik, problema yang sangat penting,
mendahului
para ulama besar, dan bahkan berani menentang para
imam
mazhab besar, para sahabat yang mulia, dengan
menyombongkan
diri seraya mengatakan, "Mereka orang lelaki,
dan
kami pun orang lelaki."
Pertama-tama
yang diperlukan oleh seseorang yang hendak
memberikan
fatwa ialah mengukur kemampuan dirinya sendiri,
kemudian
memahami berbagai tujuan syari'ah, memahami hakikat
dan
kenyataan hidup. Akan tetapi,sangat disayangkan bahwa
mereka
tertutup oleh penghalang yang sangat besar, yaitu
ketertipuan
dengan diri mereka sendiri. Sesungguhnya tiada
daya
dan kekuatan kecuali dari Allah SWT.
PENTINGNYA
ILMU PENGETAHUAN BAGI DA'I DAN GURU (MUROBI)
Jika
ilmu pengetahuan harus dimiliki oleh orang yang bergelut
dalam
dunia kehakiman dan fatwa, maka dia juga diperlukan oleh
dunia
da'wah dan pendidikan.
Allah SWT berfirman:
"Katakanlah:
"Inilah jalan (agama)-ku, aku dan
orang-orang
yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada
Allah
dengan hujjah yang nyata..." (Yusuf: 108)
Setiap
juru da'wah --dari pengikut Nabi saw-- harus melandasi
da'wahnya
dengan hujjah yang nyata. Artinya, da'wah yang
dilakukan
olehnya mesti jelas, berdasarkan kepada
hujjah-hujjah
yang jelas pula. Dia harus mengetahui akan
dibawa
ke mana orang yang dida'wahi olehnya? Siapa yang dia
ajak?
Dan bagaimana cara dia berda'wah?
Oleh
karena itu, mereka berkata tentang orang rabbani: yaitu
orang
yang berilmu, beramal, dan mengajarkan ilmunya;
sebagaimana
diisyaratkan dalam firman Allah SWT:
"...
akan tetapi (dia) berkata, 'Hendaklah kamu
menjadi
orang-orang rabbani (yang sempurna ilmu dan
taqwanya
kepada Allah), karena kamu selalu mengajarkan
al-Kitab
dan disebabkan kamu telah mempelajarinya."
(Ali
'Imran: 79)
Ibn
Abbas memberikan penafsiran atas kata "rabbani" sebagai
para
ahli hikmah sekaligus fuqaha.9
Ada
yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan rabbani ialah
orang
yang mengajar manusia dengan ilmu kecilnya sebelum ilmu itu
menjadi besar.
Yang
dimaksud dengan ilmu kecil ialah ilmu yang sederhana dan
persoalannya
jelas. Sedangkan ilmu besar ialah ilmu yang
pelik-pelik.
Ada pula yang mengatakan bahwa rabbani ialah
orang
yang mengajarkan ilmu-ilmu yang parsial sebelum
ilmu-ilmu
yang universal, atau ilmu-ilmu cabang sebelum
ilmu-ilmu
yang pokok, ilmu-ilmu pengantar sebelum ilmu-ilmu yang
inti.10
Yang
dimaksudkan dengan pernyataan itu ialah bahwa pengajaran
itu
dilakukan secara bertahap, dengan memperhatikan kondisi
dan
kemampuan orang yang diajarnya, sehingga dapat
ditingkatkan
sedikit demi sedikit.
Persoalan
yang perlu diperhatikan oleh orang yang bergerak
dalam
bidang da'wah dan pendidikan ialah bahwa juru da'wah dan
pendidik
itu mesti mengambil jalan yang paling mudah dan bukan
jalan
yang susah; memberikan kabar gembira dan tidak
menakut-nakuti
mereka; sebagaimana disebutkan dalam sebuah
hadits
yang disepakati ke-shahih-annya oleh Bukhari dan
Muslim,
"Permudahlah
dan jangan mempersulit, berilah kabar
gembira
dan jangan membuat mereka lari."11
Al-Hafizh
ketika memberikan penjelasan terhadap hadits ini
mengatakan,
"Yang
dimaksudkan dengan hal ini ialah menarik simpati
hati
orang yang hampir dekat dengan Islam, dan tidak
melakukan
da'wah dengan cara yang keras dan kasar pada
awal
mula kegiatan da'wah itu. Begitu pula hendaknya
kecaman
terhadap orang yang suka melakukan
kemaksiatan.
Kecaman itu hendaknya dilakukan secara
bertahap.
Karena sesungguhnya sesuatu yang pada tahap
awalnya
dapat dilakukan dengan mudah, maka orang akan
bertambah
senang untuk memasukinya dengan hati yang
lapang.
Pada akhirnya, dia akan bertambah baik sedikit
demi
sedikit. Berbeda dengan cara berda'wah yang
dilakukan
dengan keras dan kasar." 12
Yang
dimaksudkan dengan perkataan ,mempermudah, di situ
bukanlah
terbatas pada orang-orang yang hampir dekat hatinya
dengan
Islam, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafizh,
tetapi
ia berlaku lebih umum dan permanen. Misalnya
mempermudah
jalan bagi orang yang hendak melakukan taubat,
atau
kepada setiap orang yang memerlukan keringanan; seperti
orang
yang sakit atau sudah tua usianya, atau orang yang
berada
di dalam keadaan yang mendesak.
Di
antara keharusan yang berlaku di dalam ilmu pengetahuan
ialah
upaya untuk mencari ilmu-ilmu agama sejauh kemampuan
yang
dimiliki oleh seseorang, sesuai dengan kadar kemampuan
otaknya
untuk menerima ilmu pengetahuan tersebut. Dia tidak
boleh
mengucapkan sesuatu yang tidak cocok dengan akal
pikirannya,
sehingga hal itu malah berbalik menjadi fitnah
bagi
dirinya dan juga kepada orang lain. Sehubungan dengan hal
ini
Ali r.a. berkata,
"Berbicaralah kepada manusia sesuai
dengan
kadar pengetahuan mereka. Tinggalkan apa yang tidak
cocok
dengan akal pikiran mereka. Apakah engkau menghendaki
mereka
mengatakan sesuatu yang bohong terhadap Allah dan
rasul-Nya?"
13
Ibn
Mas'ud r.a. berkata, "Engkau tidak layak menyampaikan
sesuatu
yang tidak sesuai dengan kadar kemampuan otak mereka.
Jika
tidak, maka engkau akan menimbulkan fitnah pada sebagian
orang
itu."14.
Catatan
Kaki:
1
Diriwayatkan oleh Ibn 'Abd al-Barr dan lainnya dari Mu'adz,
sebagai
hadits marfu' dan mauquf, tetapi hadits ini lebih
benar
digolongkan kepada hadits mauquf.
2
Baca, Shahih al-Bukhari dan Fath al-Bari, 1:158-162, cet.
Dar
al-Fikr yang disalin dari naskah lama.
3
Baca Jami' Bayan al-'Ilm wa Fadhlih, karangan Ibn 'Abd
al-Barr,
1:27, cet. Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah
4
Lihatlah sifat-sifat mereka dalam buku al-Lu'lu' wa
al-Marjan
fima Ittafaqa 'alaih al-Syaikhani, khususnya
hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh Jabir, Abu Sa'id, Ali,
dan
Sahal bin Hunaif (638-644).
5
Hadits Ali, Ibid.
6
Ucapan ini dikutip oleh Ibn Hazm dalam bukunya, Miftah Dar
al-Sa'adah,
h. 82
7
Diriwayatkan oleh para penulis Sunan Arba'ah dan al-Hakim;
sebagai
mana diriwayatkan oleh Thabrani dan Abu Ya'la, dan
Baihaqi
dari Ibn Umar; seperti yang dimuat di dalam al-Jami'
as-Shaghir.
(4446) dan (4447).
8
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir, dan diriwayatkan
oleh
Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim dari Ibn 'Abbas. Lihat
Shahih
al-Jami' as-Shaghir (4362) dan (4363).
9
Hal ini disebutkan oleh Bukhari ketika memberikan komentar
pada
bab "Ilmu" dalam Shahih-nya. Al-Hafizh berkata dalam
Fath-nya,
"Hadits ini sampai Ibn Abi 'Ashim dengan isnad
hasan.
Dan juga diriwayatkan oleh al-Khathib dengan isnad
hasan
yang berbeda." 1: 161
10
al-Fath, 1: 162
11
Diriwayatkan oleh al-Syaikhani dari Anas, sebagaimana
disebutkan
di dalam al-Lu'lu' wa al-Marjan
12
al-Fath, 1: 163
13
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab al-'Ilm, secara
mauquf
atas Ali r.a. (Lihar al-Fath. 1 225)
14
Diriwayatkan oleh Muslim dalam mukadimah as-Shahih secara
mauquf
atas Ibn Mas'ud. Ibid.
FIQH
PRIORITAS
Sebuah
Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr.
Yusuf Al Qardhawy
Robbani
Press, Jakarta
Cetakan
pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M
Ilmu Agama
Ilmu Agama pembentuk jiwa murni manusia atau hakikat manusia pembangun jiwa agama dengan sifat sifat kemanusiaan yang luhur dan mulia diatas landasan iman hakiki dan takwa kepada ALLAH yang maha kuasa. Di bimbingkan ( diajarkan) oleh para nabi kepada para sahabat serta sekelian penganut dizamannya melalui methode rohani , kemudian dilanjutkan oleh para ulama pewaris yang memperjuangkan tegaknya ilmu , hukum dan agama sampai datangnya hari akhir nanti. Kebersihan didalam menuntut ilmu agama dengan keprihatinan yang tinggi dan benar , nescaya manusia mencapai kembali keadaan fitrahnya seperti kehidupan dialam syurga dahulu menikmati hak hak asasi selengkapnya.
Ajaran agama / syariat agama , undang undang universiti / wahyu tuhan , warisan para nabi / rasul dibukukan menjadi kitab suci dan panduan dengan hadis hadis
Nabi / Rasul Menjadi kitab kitab agama di catat oleh sahabat nabi dan dibukukan oleh para ulama. Pengikut di sampaikan kepada umat , berisikan tuntunan Hidup, Yakni Ajaran Ajaran Mulia tentang kehidupan dunia dan akhirat di jalan ALLAH, keberhasilan menemukan maksud dan tujuan Agama agar manusia cenderung menuntut ilmu agama yang dapat mencapai kembali kehidupan fitrah seperti sediakala.
Teman2
itu mungkin tidak salah sepenuhnya, karena dia memang belum memahami ‘apa itu
berilmu’, baru sekedar baca sana dan dengar sini, Mungkin gurunya baru
mengajarkan sedikit ilmu, atau mungkin juga gurunya memang ‘kurang berilmu’.
Jesteru itu adalah kewajiban kita untuk mengajar dan bukan mengejek, memaki
atau mencemoh. Orang yang ’BERILMU’ tidak membezakan ‘YANG BERILMU’ dengan
‘YANG TIADA BERILMU’. 'ILMU2' hanyalah alat2 bagi insan yang suka kepada
khayalan . Adalah sifat2 ilmu, 'hanyalah sekadar' menghasilkan sangkaan2/ilusi2
semata2
*تعاونوا
على البر واتقوى ولا تتعاونوا على الإثم والعدوان*
Bantu
membantulah diatas kebajikan dan ketaqwaan dan janganlah kamu sekelian saling
membantu diatas kedosaan dan permusuhan.
Kewajiban
kita adalah mengajar dan berlajar , tanpa henti, selagi hayat dikandung jasad,
dengan ‘ilmu yang benar dan hak’, sebagaimana yang kita terima dari para ulama
‘yang hak’. Semoga kita tidak ‘beremosi dan rasa seronok mengetahui sahaja’,
sebaliknya kita menghormati ilmu itu sebagai sesuatu yang harus dipelajari,
untuk mencapai ‘KEBENARAN’.
Bagi
mereka yang masih agak kurang faham tentang masalah alam kubur, mungkin tidak
ada salahnya kalau belajar lebih banyak lagi. Rasanya tidak akan menjadi
kehinaan, kalau lebih banyak membuka kitab, baik kitab tauhid, atau pun tafsir,
untuk lebih mendalami masalah ini. Atau mencari ‘YANG BOLIH MENUNJUK kan’
‘JALAN2’ kepada ‘KEBENARAN HAQIQI’.
Tidak
perlu berbangga diri, juga tidak perlu kita terlalu menonjolkan urusan
kelompok, jamaah, atau identiti yang lain. Sebab kebenaran itu bukan milik
kelompok, bukan milik individu, bukan milik Tabligh, Salafy, mazhab. Tetapi
kebenaran itu mampu diterobosi kalau kita banyak menimba ilmu, banyak belajar
dan banyak membaca. Tentunya belajar kepada ahlinya di bidang ilmu tersebut
sehingga kita capai ‘KEYAQINAN JITU
Tiada ulasan:
Catat Ulasan